Selasa, 17 September 2024

Ekspansi Kredit di Riau

Perekonomian suatu wilayah tentunya tidak hanya didorong oleh pemerintah saja. Agar perekonomian tumbuh dan bergerak semakin membaik peran dari berbagai institusi sangat menentukan. Salah satu di antaranya adalah perbankan. Di Indonesia peran kredit perbankan dalam perekonomiannya ternyata masih sangat kecil. Kredit perbankan belum optimal mendorong pertumbuhan ekonomi jika dilihat dari perbandingan atau rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dewasa ini rasionya baru pada kisaran 31 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 115 persen, Vietnam 111,6 persen, dan Thailand sebesar 131,9 persen.
Riau sendiri peranannya lebih tinggi dari Indonesia yakni sebesar 35,27 persen. Apalagi jika dimasukkan alokasi kredit dari perbankan yang ada di luar Riau namun dimanfaatkan di Riau rasionya menjadi lebih tinggi yakni 53,69 persen. Total kredit berdasarkan lokasi bank di Riau sampai Triwulan II Tahun 2019 mencapai Rp66,991 triliun sedangkan menurut lokasi proyek sebesar Rp101,996 triliun. Artinya terdapat kredit sebesar Rp35,01 triliun atau 32,36 persen yang dananya berasal dari luar Riau. Baik untuk investasi, modal kerja maupun untuk kepentingan konsumsi. Rerata pertumbuhan kredit di Riau mencapai 7,5 persen.
Proporsi penyaluran kredit terbesar di Riau adalah untuk keperluan investasi yakni mencapai Rp37,52 triliun atau 36,79 persen. Hanya saja penyaluran dari perbankan yang berlokasi di Riau cuma sebesar Rp16,85 triliun atau sekitar 44,91 persen dari total kredit investasi yang tercurah ke Riau. Artinya, perbankan yang beroperasi di Riau belum begitu optimal mendorong kebutuhan pendanaan investasi yang berkembang di Riau. Proporsinya pun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi kredit untuk modal kerja dan untuk konsumsi. Bank yang beroperasi di Riau lebih banyak mengalokasikan kredit untuk kepentingan konsumsi yakni sebesar Rp 29,34 triliun atau 43,8 persen dari total kredit yang diluncurkannya ke Riau.
Kredit untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mencapai Rp24,53 triliun dengan pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit yakni sebesar 8,76 persen. Proporsi kredit UMKM dalam struktur kredit perbankan di Riau mencapai 36,62 persen. Alokasi kredit UMKM tertinggi adalah untuk usaha kecil yang mencapai Rp 9,63 triliun atau 36,26 persen. Sedangkan untuk usaha mikro sebesar Rp7,92 triliun dan usaha menengah sebesar Rp6,99 triliun.  Bank Perkreditan rakyat juga telah memainkan peranan yang cukup signifikan. Meskipun porsi kredit yang disalurkannya masih relatif kecil yang baru sebesar Rp1,01 triliun namun pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit yakni sebesar 8,94 persen.
Persoalan kredit perbankan di Riau nampaknya bukan dalam aspek ekspansi semata. Jika didekati dari ukuran Loan to Deposit Ratio (LDR) kadar ekspansi kredit di Riau baru mencapai 85,23 persen. Masih terdapat ruang untuk memperbesar porsi itu. Jalannya bisa melalui upaya meningkatkan pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK) atau cukup dengan memperluas jangkauan penyaluran produk-produk perbankan kepada masyarakat. Indonesia memang masih sangat rendah literasi dan akupansi keuangannya. Sekitar 50 juta orang yang berpenghasilan dibawah dua dolar per hari belum memiliki akses sama sekali ke perbankan. Meskipun saat ini pendapatan mereka sangat kecil namun melalui sentuhan produk-produk perbankan akan muncul daya ungkit tertentu dalam perekonomian rumah tangganya. Lebih memprihatinkan lagi bahwa masih terdapat sekitar 60 juta pengusaha jenis mikro, kecil, dan menengah belum tersentuh jasa layanan perbankan.
Di Riau pendalaman industri perlu dilakukan secara terencana dengan baik melalui pengembangan kawasan-kawasan industri yang sudah ada selama ini. Sumber-sumber bahan baku yang baru mampu dipasarkan dalam bentuk barang mentah dan barang setengah jadi dapat diolah ke hilirnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Termasuk membuka peluang kerja baru guna menyerap angkatan kerja yang tumbuh dengan cepat. Usaha-usaha menengah dibina untuk menjadi mitra usaha mikro dan kecil dengan memberi peluang kepada mereka dalam mengolah sumber-sumber ekonomi pedesaan yang lekat dengan kehidupan ekonomi rakyat. Industri hilir sabut kelapa misalnya, dapat dikembangkan lebih dalam untuk menjadi produk-produk yang sangat marketable dan memiliki peluang pasar yang besar.  
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih meningkatkan sinerginya dan dengan institusi-institusi terkait lainnya, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Memperluas jangkauan pelayanan perbankan masih menjadi tugas yang amat strategis mengingat masih minimnya cakupan pelayanan tersebut. Perlu untuk mendorong perbankan yang beroperasi di Riau menciptakan inovasi-inovasi pelayanan terutama sekali layanan bagi rakyat miskin. Memang secara unit produk, bagi perbankan keuntungannya relatif kecil, tetapi dalam jumlah layanan yang besar, keuntungan tersebut akan menjadi besar pula. Bahkan daya tahan bank dapat meningkat karena diversifikasi pasar dan produk layanan yang makin luas dan beragam. 
Kehatia-hatian dalam ekspansi kredit memang harus tetap dijaga. Bank yang beroperasi untuk memberikan pelayanan bagi usaha mikro, kecil dan menengah di Riau relatif lebih tinggi risikonya. Kualitas aktiva untuk produk-produk yang diluncurkan ke UMKM dan oleh BPR jauh lebih rendah. Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah dari kredit yang disalurkan oleh BPR sudah mencapai 13,3 persen. Sedangkan kredit UMKM sebesar 4,74 persen. Walaupun secara keseluruhan NPL kredit perbankan di Riau masih rendah yakni sebesar 2,99 persen. Kenyataan ini memerlukan uluran tangan pemerintah daerah melalui kebijkan-kebijakan yang mampu mendorong masyarakat bawah lebih dapat dipercaya lagi terhadap produk-produk perbankan yang dinikmatinya. 
Selain itu harus ditumbuhkan kelompok-kelompok masyarakat produktif yang dapat dipertautkan dengan dunia perbankan. Literasi keuangan ditingkatkan guna mencapai tingkat perilaku keuangan (banking habit) yang semakin efisien. Masyarakat yang memiliki usaha berkelompok dan melek perbankan akan menjadi peluang pasar yang seksi bagi produk-produk perbankan. Pada gilirannya akan tercipta sinergi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketahanan ekonomi wilayah pun akan lebih kuat. Budaya tanggung-renteng yang tercipta di masyarakat akan membuat usaha ekonomi rakyat lebih mampu menangkal cabaran dan penetrasi global. Di Riau produk-produk perbankan untuk usaha kecil dan mikro dapat diarahkan pada produktivitas rakyat yang mampu mengurangi pengeluaran rumah tangga dan mampu mensubstitusi kebutuhan-kebutuhan yang selama ini didatangkan dari luar daerah dan sangat rentan memicu inflasi serta memelihara kemiskinan. Ontahlah…!!!  
Baca Juga:  UMKM Menghadapi Resolusi Industri 4.0
Perekonomian suatu wilayah tentunya tidak hanya didorong oleh pemerintah saja. Agar perekonomian tumbuh dan bergerak semakin membaik peran dari berbagai institusi sangat menentukan. Salah satu di antaranya adalah perbankan. Di Indonesia peran kredit perbankan dalam perekonomiannya ternyata masih sangat kecil. Kredit perbankan belum optimal mendorong pertumbuhan ekonomi jika dilihat dari perbandingan atau rasio kredit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dewasa ini rasionya baru pada kisaran 31 persen. Jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Malaysia yang mencapai 115 persen, Vietnam 111,6 persen, dan Thailand sebesar 131,9 persen.
Riau sendiri peranannya lebih tinggi dari Indonesia yakni sebesar 35,27 persen. Apalagi jika dimasukkan alokasi kredit dari perbankan yang ada di luar Riau namun dimanfaatkan di Riau rasionya menjadi lebih tinggi yakni 53,69 persen. Total kredit berdasarkan lokasi bank di Riau sampai Triwulan II Tahun 2019 mencapai Rp66,991 triliun sedangkan menurut lokasi proyek sebesar Rp101,996 triliun. Artinya terdapat kredit sebesar Rp35,01 triliun atau 32,36 persen yang dananya berasal dari luar Riau. Baik untuk investasi, modal kerja maupun untuk kepentingan konsumsi. Rerata pertumbuhan kredit di Riau mencapai 7,5 persen.
Proporsi penyaluran kredit terbesar di Riau adalah untuk keperluan investasi yakni mencapai Rp37,52 triliun atau 36,79 persen. Hanya saja penyaluran dari perbankan yang berlokasi di Riau cuma sebesar Rp16,85 triliun atau sekitar 44,91 persen dari total kredit investasi yang tercurah ke Riau. Artinya, perbankan yang beroperasi di Riau belum begitu optimal mendorong kebutuhan pendanaan investasi yang berkembang di Riau. Proporsinya pun relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi kredit untuk modal kerja dan untuk konsumsi. Bank yang beroperasi di Riau lebih banyak mengalokasikan kredit untuk kepentingan konsumsi yakni sebesar Rp 29,34 triliun atau 43,8 persen dari total kredit yang diluncurkannya ke Riau.
Kredit untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mencapai Rp24,53 triliun dengan pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit yakni sebesar 8,76 persen. Proporsi kredit UMKM dalam struktur kredit perbankan di Riau mencapai 36,62 persen. Alokasi kredit UMKM tertinggi adalah untuk usaha kecil yang mencapai Rp 9,63 triliun atau 36,26 persen. Sedangkan untuk usaha mikro sebesar Rp7,92 triliun dan usaha menengah sebesar Rp6,99 triliun.  Bank Perkreditan rakyat juga telah memainkan peranan yang cukup signifikan. Meskipun porsi kredit yang disalurkannya masih relatif kecil yang baru sebesar Rp1,01 triliun namun pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit yakni sebesar 8,94 persen.
Persoalan kredit perbankan di Riau nampaknya bukan dalam aspek ekspansi semata. Jika didekati dari ukuran Loan to Deposit Ratio (LDR) kadar ekspansi kredit di Riau baru mencapai 85,23 persen. Masih terdapat ruang untuk memperbesar porsi itu. Jalannya bisa melalui upaya meningkatkan pengumpulan Dana Pihak Ketiga (DPK) atau cukup dengan memperluas jangkauan penyaluran produk-produk perbankan kepada masyarakat. Indonesia memang masih sangat rendah literasi dan akupansi keuangannya. Sekitar 50 juta orang yang berpenghasilan dibawah dua dolar per hari belum memiliki akses sama sekali ke perbankan. Meskipun saat ini pendapatan mereka sangat kecil namun melalui sentuhan produk-produk perbankan akan muncul daya ungkit tertentu dalam perekonomian rumah tangganya. Lebih memprihatinkan lagi bahwa masih terdapat sekitar 60 juta pengusaha jenis mikro, kecil, dan menengah belum tersentuh jasa layanan perbankan.
Di Riau pendalaman industri perlu dilakukan secara terencana dengan baik melalui pengembangan kawasan-kawasan industri yang sudah ada selama ini. Sumber-sumber bahan baku yang baru mampu dipasarkan dalam bentuk barang mentah dan barang setengah jadi dapat diolah ke hilirnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Termasuk membuka peluang kerja baru guna menyerap angkatan kerja yang tumbuh dengan cepat. Usaha-usaha menengah dibina untuk menjadi mitra usaha mikro dan kecil dengan memberi peluang kepada mereka dalam mengolah sumber-sumber ekonomi pedesaan yang lekat dengan kehidupan ekonomi rakyat. Industri hilir sabut kelapa misalnya, dapat dikembangkan lebih dalam untuk menjadi produk-produk yang sangat marketable dan memiliki peluang pasar yang besar.  
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih meningkatkan sinerginya dan dengan institusi-institusi terkait lainnya, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Memperluas jangkauan pelayanan perbankan masih menjadi tugas yang amat strategis mengingat masih minimnya cakupan pelayanan tersebut. Perlu untuk mendorong perbankan yang beroperasi di Riau menciptakan inovasi-inovasi pelayanan terutama sekali layanan bagi rakyat miskin. Memang secara unit produk, bagi perbankan keuntungannya relatif kecil, tetapi dalam jumlah layanan yang besar, keuntungan tersebut akan menjadi besar pula. Bahkan daya tahan bank dapat meningkat karena diversifikasi pasar dan produk layanan yang makin luas dan beragam. 
Kehatia-hatian dalam ekspansi kredit memang harus tetap dijaga. Bank yang beroperasi untuk memberikan pelayanan bagi usaha mikro, kecil dan menengah di Riau relatif lebih tinggi risikonya. Kualitas aktiva untuk produk-produk yang diluncurkan ke UMKM dan oleh BPR jauh lebih rendah. Non Performing Loan (NPL) atau kredit bermasalah dari kredit yang disalurkan oleh BPR sudah mencapai 13,3 persen. Sedangkan kredit UMKM sebesar 4,74 persen. Walaupun secara keseluruhan NPL kredit perbankan di Riau masih rendah yakni sebesar 2,99 persen. Kenyataan ini memerlukan uluran tangan pemerintah daerah melalui kebijkan-kebijakan yang mampu mendorong masyarakat bawah lebih dapat dipercaya lagi terhadap produk-produk perbankan yang dinikmatinya. 
Selain itu harus ditumbuhkan kelompok-kelompok masyarakat produktif yang dapat dipertautkan dengan dunia perbankan. Literasi keuangan ditingkatkan guna mencapai tingkat perilaku keuangan (banking habit) yang semakin efisien. Masyarakat yang memiliki usaha berkelompok dan melek perbankan akan menjadi peluang pasar yang seksi bagi produk-produk perbankan. Pada gilirannya akan tercipta sinergi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketahanan ekonomi wilayah pun akan lebih kuat. Budaya tanggung-renteng yang tercipta di masyarakat akan membuat usaha ekonomi rakyat lebih mampu menangkal cabaran dan penetrasi global. Di Riau produk-produk perbankan untuk usaha kecil dan mikro dapat diarahkan pada produktivitas rakyat yang mampu mengurangi pengeluaran rumah tangga dan mampu mensubstitusi kebutuhan-kebutuhan yang selama ini didatangkan dari luar daerah dan sangat rentan memicu inflasi serta memelihara kemiskinan. Ontahlah…!!!  
Baca Juga:  Tanggung Jawab Sosial Pemuda Indonesia
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari