Dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian secara keseluruhan di Riau memang cukup signifikan. Pada triwulan pertama tahun 2020 pertumbuhan ekonomi Riau terkoreksi sangat tajam yakni minus 3,47 persen dengan migas dan minus 4,08 persen dengan migas. Memasuki era new normal ini perekonomian Riau harus bangkit atau tumbuh kembali. Namun, tergantung dari kemampuan serta daya tahan pelaku-pelaku ekonomi dan masyarakat sebagai konsumen. Daya tahan ekonomi itu sendiri akan tercermin dari daya tahan korporasi dan daya tahan rumah tangganya. Bank Indonesia melalui Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang diterbitkan setiap triwulan memberikan gambaran tentang daya tahan tersebut.
Ketahanan sektor korporasi di Riau nampaknya cukup terganggu akibat Covid-19 tersebut. Pada Triwulan Keempat Tahun 2019 Saldo Bersih Tertimbang (SBT) Likuiditas Korporasi adalah sebesar 14,29 persen. Sedangkan pada Triwulan Pertama Tahun 2020 turun drastis menjadi hanya sebesar 6,12 persen. Dilihat dari SBT Rentabilitas juga mengalami hal yang sama. Pada Triwulan Keempat Tahun 2019 nilainya sebesar 11,90 persen dan pada Triwulan Pertama Tahun 2020 anjlok menjadi 8,16 persen. Meskipun masih bernilai positif namun gangguan perekonomian akbibat Covid-19 telah membuat daya tahan berbagai pelaku usaha formal menjadi semakin rentan. Margin korporasi pada Triwulan Pertama Tahun 2010 masih positif sebesar 0,05%. Namun keadaan itu terjadi akibat adanya kebijakan efisiensi perusahaan sampai pada tindakan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penghentian proses produksi. Pendapatan diperoleh dari penjualan hasil produksi yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Melemahnya daya tahan ekonomi Riau juga dapat diamati dari kondisi konsumen rumah tangga yang ada. Berdasarkan survey Bank Indonesia Pekanbaru jumlah konsumen yang berpendapatan cukup tidak banyak berubah dari 91,2 persen menjadi 91,1 persen pada Triwulan pertama Tahun 2020. Artinya, sebahagian besar rumah tangga masih memiliki pendapatan. Hanya saja jika dilihat dari jumlah rumah tangga yang memiliki dana cadangan untuk bertahan hidup mengkonsumsi untuk sebulan berikutnya penurunannya sangat signifikan yakni dari 29,1 persen menjadi hanya 0,3 persen pada Triwulan Pertama Tahun 2020. Artinya, jika pergerakan perekonomian tidak kunjung membaik maka hanya 0,3 persen masyarakat yang akan mampu bertahan menjalankan kehidupan dan sisianya akan menjadi problema baru yang memilukan. Hal lain yang perlu dicatat adalah terdapat 9,9 persen rumah tangga yang dalam masa pandemi Covid-19 ini tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Padahal 69,2 persen dari pendapatan yang ada selama ini digunakan untuk kebutuhan konsumsi.
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah menghadapai rentannya daya tahan ekonomi Riau tersebut? Pertama, memberikan bantuan langsung terhadap masyarakat atau kelompok rumah tangga yang pendapatannya tidak mampu menutupi kebutuhan hidupnya setiap bulan. Bantuan langsung tersebut dapat bersumber dari APBD baik provinsi maupun kabupaten kota maupun dengan menggalan kepedulian sesame masyarakat yang masih memiliki pendapatan yang cukup atau memadai. Termasuk dari lembaga-lembaga bisnis yang masih eksis memasuki era new normal.
Di Riau terdapat sebanyak 1.674.068 rumah tangga sehingga yang menjadi sasaran dari bantuan langsung ini adalah sebanyak 165.733 rumah tangga. Bila rerata per rumah tangga terdapat empat anggota maka jumlah masyarakatnya akan mencapai 662.931 jiwa. Kebutuhan dana untuk konsumsi satu jiwa di atas Garis Kemiskinan dapat diasumsikan sebesar Rp600.000,- maka dana yang dibutuhkan untuk program ini akan mencapai Rp 398 milyar. Dana ini tentunya dapat dibagi secara proporsional antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Tinggal lagi bagaimana caranya supaya bantuan itu betul-betul tepat sasaran. Bantuan ini akan signifikan bagi mendorong daya beli pada level masyarakat bawah.
Kedua, menjaga momentum pertumbuhan ekonomi agar tetap berada pada alur pemulihan (recovery). Korporasi dan rumah tangga yang masih mampu bertahan meskipun tidak memiliki pendapatan yang memadai bagi tersedianya dana cadangan untuk konsumsi bulan berikutnya harus dijaga tetap mampu bertahan dan melanjutkan usahanya. Pemerintah harus menstimulus usaha-usaha tersebut melalui relaksasi cicilan kredit, pengurangan biaya-biaya ekonomi, baik dalam aspek produksi, distribusi, dan administrasi lainnya sehingga efisiensi ekonomi meningkat. Pengurangan biaya-biaya pendidikan, kesehatan dan sosial kemasyarakatan lainnya untuk mengurangi beban pengelauran rumah tangga serta menjaga stabilitas inflasi untuk memperkuat daya beli.
Ketiga, pelaksanaan refocusing APBD harus diarahkan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat pada kondisi new normal ini. Banyak bidang usaha baru yang muncul dan berkembang serta tidak sedikit pula usaha-usaha ekonomi yang sempat terhenti dapat hidup kembali dan berpenghasilan. Pemerintah juga harus mendorong lahirnya kreasi-kreasi kebijakan yang produktif seperti peningkatan produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan lokal dan memupuk konsumsi masyarakat daerah untuk terciptanya pasar lokal yang ekonomis serta meningkatkan kelancaran arus barang dan jasa.
Prospek perekonomian Riau ke depan tetap memiliki peluang yang cerah. Harga-harga komoditas, khususnya sawit masih relatif stabil dan layak bagi peningkatan daya beli masyarakat. Perekonomian internasional juga akan cenderung membaik karena masing-masing negara akan berupaya untuk memperbaiki dinamika perekonomian negaranya. Konsumsi terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan berbasis kesehatan akan meningkat. Sejalan dengan semakin gencarnya implementasi teknologi dan sistem informasi dalam dunia bisnis maka efisiensi usaha akan meningkat yang pada gilirannya memberi peluang pada munculnya investasi-investasi baru. Pemerintah hendaknya menangkap peluang-peluang tersebut sebagai kanal bagi terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas. Peningkatan skill dan kemampuan tenaga kerja untuk beradaptasi menjadi lebih utama diprogramkan. Ontahlah…!!!