Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Merawat Kedaulatan Natuna

Hubungan Indonesia-Cina memanas dipicu kapal-kapal nelayan Cina yang dikawal oleh kapal coast guard milik Cina memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah laut Natuna yang merupakan perairan utara Indonesia. 
RRC menetapkan klaim  sepihak batas zona kepentingannya di laut ini jauh ke selatan yang dikenal dengan garis putus-putus sembilan (dot nine) sehingga banyak negara terkena dan tumpang tindih dengan klaim sepihak RRC atas dasar klaim historis hak nelayan tradisional, Indonesia adalah salah satunya. 
Pada prinsipnya, laut merupakan res communios humankind common heritage yaitu barang bersama warisan kemanusiaan, oleh karenanya pengelolaannya harus adil. Dalam mewujudkan keadilan, perbatasan laut sudah diatur dalam konvensi Jenewa 1958 mengenai hak-hak negara berpantai (coastal state) dan negara tidak berpantai (land locked state) terhadap laut. Kemudian, dikenal lagi Konvensi Hukum Laut Internasional yaitu United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 yang diratifikasi Indonesia dengan membidani lahirnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, memperkenalkan archipelagic states (negara kepulauan) yang mengakui perairan dalam antar-pulau merupakan satu kesatuan teritorial dengan daratan. Pengakuan tersebut diberikan PBB dengan pengertian bahwa negara kepulauan harus menghormati hak-hak nelayan tradisional dan hak-hak yang sah lainnya dari negara tetangga. 
Laut Natuna adalah kawasan yang “seksi” dan sangat strategis. Wilayah Utara Indonesia ini adalah perlintasan sebagian besar energi dan komoditas antarnegara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan termasuk Cina yang menuju ke Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan sebaliknya. Secara alam, laut Natuna juga sangat kaya akan biota laut dan kekayaan tambang, sesuatu yang wajar banyak negara lain yang terkesima dengan kawasan Natuna. 
Di Laut Kita Kalut
Kayaknya falsafah nenek moyang kita “Jalesveva Jayamahe” yang dimaknai sebagai “Di laut Kita Jaya” sekarang sedang diuji. Dalam historinya ungkapan kuno ini berasal dari zaman Kerajaan Majapahit yang popular di kalangan angkatan laut kerajaan sebagai kalimat untuk membakar semangat prajurit kala itu. Tentunya tidak berlebihan, kehadiran kapal-kapal Cina dengan dikawal oleh coast guard yang merepresentasikan kehadiran negara Republik Rakyat Cina di laut Natuna tidak bisa dianggap sebelah mata. Kegiatan “ekspansi laut” yang dilakukan Cina memberikan isyarat bahwa laut Indonesia “tidak dalam keadaan baik-baik saja”. Apa yang dilakukan oleh RRC harus dibaca oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk sinyal provokasi yang dimainkan oleh Cina sebagai test case untuk mengukur kesiagaan dan kekuatan Indonesia dalam melindungi kedaulatan negaranya. 
Kisah pilu lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan  tahun 2003 lalu dari pangkuan Bunda Pertiwi membuktikan bahwa hari ini “Di laut Kita Kalut”. Sejarah mencatat, Indonesia pernah mengalami kekalahan ketika bertikai perkara kedaulatan laut yang berakhir dengan drama Pulau Sipadan dan Ligitan harus direlakan kepada Malaysia. Kala itu, sebanyak 16 dari 17 orang Hakim International Court of Justice (Mahkamah Internasional) dengan skema voting memenangkan Malaysia atas kepemilikan dua pulau Sipadan dan Ligitan. 
Dalam putusannya, Mahkamah memutuskan berdasarkan fakta bahwa Pemerintah Inggris sebagai penguasa Malaysia sebelumnya telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930. Selain itu, Inggris juga sudah mendirikan dan mengoperasikan mercusuar sejak tahun 1960-an yang tidak diprotes oleh Indonesia. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Malaysia telah menunjukkan penguasaan yang efektif secara legislatif, administratif, dan judisial. Sedangkan klaim Indonesia yang antara lain menunjukkan adanya patroli Angkatan Laut maupun klaim historis dari perluasan kekuasaan Kesultanan Bulungan zaman kolonial, atau nelayan tradisional perorangan yang tidak dilindungi oleh regulasi resmi, tidak diterima oleh mahkamah (katadata.co.id).
Menghadirkan Negara 
di Natuna
Antisipasi lahirnya tragedi “Di laut Kita Kalut”  jilid II pasca lepasnya Pulau Sepadan-Ligikitan sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia. Tragedi panas-dingin hubungan Indonesia dengan Cina harus menjadi momentum menghadirkan peran negara dalam merawat kedaulatan di perairan Natuna sebagai wilayah Indonesia paling utara. Upaya “menghadirkan negara” harus dimaknai Pertama, sebagai usaha yang berkelanjutan untuk melakukan proteksi bahwa tidak ada sejengkal wilayah daratan dan perairan Indonesia yang dikuasai oleh negara asing.  Kedua, Harus ada effecive control. Mengutip pendapat Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, bahwa untuk melindunginya dengan cara harus ada penguasaan secara efektif (effecive control) terhadap wilayah Indonesia. dalam konsep hukum internasional, kehadiran secara fisik memang harus dilakukan terkait klaim atas suatu wilayah (Kompas.com). Ketiga, Pemerintah Indonesia juga harus merangsang agar nelayan Indonesia juga “bermain” di ranah Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dengan fasilitas penjagaan dari aparat sehingga nelayan aman dari ancaman nelayan asing. Keempat, Unsur keamanan negara dengan didukung oleh persenjataan yang canggih juga harus diperkuat di wilayah laut Natuna. Kelima, Indonesia harus memberikan perhatian lebih kepada Natuna dengan cara menjadikan Natuna sebagai provinsi baru, sehingga dengan status “provinsi” Natuna diharapkan kuat dan maju sehingga bisa merawat wilayah sendiri tentunya dengan dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia.*** 
Baca Juga:  Habis Gelap Terbitlah Vaksin Covid-19
Hubungan Indonesia-Cina memanas dipicu kapal-kapal nelayan Cina yang dikawal oleh kapal coast guard milik Cina memasuki wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di wilayah laut Natuna yang merupakan perairan utara Indonesia. 
RRC menetapkan klaim  sepihak batas zona kepentingannya di laut ini jauh ke selatan yang dikenal dengan garis putus-putus sembilan (dot nine) sehingga banyak negara terkena dan tumpang tindih dengan klaim sepihak RRC atas dasar klaim historis hak nelayan tradisional, Indonesia adalah salah satunya. 
Pada prinsipnya, laut merupakan res communios humankind common heritage yaitu barang bersama warisan kemanusiaan, oleh karenanya pengelolaannya harus adil. Dalam mewujudkan keadilan, perbatasan laut sudah diatur dalam konvensi Jenewa 1958 mengenai hak-hak negara berpantai (coastal state) dan negara tidak berpantai (land locked state) terhadap laut. Kemudian, dikenal lagi Konvensi Hukum Laut Internasional yaitu United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 yang diratifikasi Indonesia dengan membidani lahirnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985, memperkenalkan archipelagic states (negara kepulauan) yang mengakui perairan dalam antar-pulau merupakan satu kesatuan teritorial dengan daratan. Pengakuan tersebut diberikan PBB dengan pengertian bahwa negara kepulauan harus menghormati hak-hak nelayan tradisional dan hak-hak yang sah lainnya dari negara tetangga. 
Laut Natuna adalah kawasan yang “seksi” dan sangat strategis. Wilayah Utara Indonesia ini adalah perlintasan sebagian besar energi dan komoditas antarnegara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan termasuk Cina yang menuju ke Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan sebaliknya. Secara alam, laut Natuna juga sangat kaya akan biota laut dan kekayaan tambang, sesuatu yang wajar banyak negara lain yang terkesima dengan kawasan Natuna. 
Di Laut Kita Kalut
Kayaknya falsafah nenek moyang kita “Jalesveva Jayamahe” yang dimaknai sebagai “Di laut Kita Jaya” sekarang sedang diuji. Dalam historinya ungkapan kuno ini berasal dari zaman Kerajaan Majapahit yang popular di kalangan angkatan laut kerajaan sebagai kalimat untuk membakar semangat prajurit kala itu. Tentunya tidak berlebihan, kehadiran kapal-kapal Cina dengan dikawal oleh coast guard yang merepresentasikan kehadiran negara Republik Rakyat Cina di laut Natuna tidak bisa dianggap sebelah mata. Kegiatan “ekspansi laut” yang dilakukan Cina memberikan isyarat bahwa laut Indonesia “tidak dalam keadaan baik-baik saja”. Apa yang dilakukan oleh RRC harus dibaca oleh Pemerintah Indonesia sebagai bentuk sinyal provokasi yang dimainkan oleh Cina sebagai test case untuk mengukur kesiagaan dan kekuatan Indonesia dalam melindungi kedaulatan negaranya. 
Kisah pilu lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan  tahun 2003 lalu dari pangkuan Bunda Pertiwi membuktikan bahwa hari ini “Di laut Kita Kalut”. Sejarah mencatat, Indonesia pernah mengalami kekalahan ketika bertikai perkara kedaulatan laut yang berakhir dengan drama Pulau Sipadan dan Ligitan harus direlakan kepada Malaysia. Kala itu, sebanyak 16 dari 17 orang Hakim International Court of Justice (Mahkamah Internasional) dengan skema voting memenangkan Malaysia atas kepemilikan dua pulau Sipadan dan Ligitan. 
Dalam putusannya, Mahkamah memutuskan berdasarkan fakta bahwa Pemerintah Inggris sebagai penguasa Malaysia sebelumnya telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930. Selain itu, Inggris juga sudah mendirikan dan mengoperasikan mercusuar sejak tahun 1960-an yang tidak diprotes oleh Indonesia. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Malaysia telah menunjukkan penguasaan yang efektif secara legislatif, administratif, dan judisial. Sedangkan klaim Indonesia yang antara lain menunjukkan adanya patroli Angkatan Laut maupun klaim historis dari perluasan kekuasaan Kesultanan Bulungan zaman kolonial, atau nelayan tradisional perorangan yang tidak dilindungi oleh regulasi resmi, tidak diterima oleh mahkamah (katadata.co.id).
Menghadirkan Negara 
di Natuna
Antisipasi lahirnya tragedi “Di laut Kita Kalut”  jilid II pasca lepasnya Pulau Sepadan-Ligikitan sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia. Tragedi panas-dingin hubungan Indonesia dengan Cina harus menjadi momentum menghadirkan peran negara dalam merawat kedaulatan di perairan Natuna sebagai wilayah Indonesia paling utara. Upaya “menghadirkan negara” harus dimaknai Pertama, sebagai usaha yang berkelanjutan untuk melakukan proteksi bahwa tidak ada sejengkal wilayah daratan dan perairan Indonesia yang dikuasai oleh negara asing.  Kedua, Harus ada effecive control. Mengutip pendapat Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, bahwa untuk melindunginya dengan cara harus ada penguasaan secara efektif (effecive control) terhadap wilayah Indonesia. dalam konsep hukum internasional, kehadiran secara fisik memang harus dilakukan terkait klaim atas suatu wilayah (Kompas.com). Ketiga, Pemerintah Indonesia juga harus merangsang agar nelayan Indonesia juga “bermain” di ranah Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia dengan fasilitas penjagaan dari aparat sehingga nelayan aman dari ancaman nelayan asing. Keempat, Unsur keamanan negara dengan didukung oleh persenjataan yang canggih juga harus diperkuat di wilayah laut Natuna. Kelima, Indonesia harus memberikan perhatian lebih kepada Natuna dengan cara menjadikan Natuna sebagai provinsi baru, sehingga dengan status “provinsi” Natuna diharapkan kuat dan maju sehingga bisa merawat wilayah sendiri tentunya dengan dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia.*** 
Baca Juga:  Esensi Hari Pendidikan Nasional, Bagi Kehidupan dan Masa Depan Bangsa Indonesia
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari