Selasa, 17 September 2024

Takut Birokrasi

Banyak yang bisa memainkan alat musik. Tapi tak semua bisa membaca notasi yang tergambar dalam partitur. Banyak juga yang bisa membaca notasi musik itu. Tapi tak semua dianugerahkan bakat untuk menjadi komponis.

Begitulah realitas hidup. Sebagai suatu ketetapan yang terberikan dalam hidup yang kompleks dan berkait-kelindan. Dalam kehidupan bernegara juga begitu. Ada pembagian atau pemisahan peran dan fungsi. Dalam teori yang paling klasik kita mengenal: fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Katakanlah seorang komponis, seorang pencipta komposisi musik itu, adalah institusi legislatif/DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Yang melahirkan musik penuh drama : Undang-Undang Cipta Kerja (disingkat UU CK).

Aturan yang dibuat dengan niat mulia. Atas inisiatif eksekutif (pemerintah) untuk memudahkan geliat pelaburan (investasi) di tengah situasi pandemi yang masih mengkhawatirkan.

- Advertisement -

Musik yang diciptakan itu, akan berhasil dimainkan, jika notasi yang disusun dalam partiturnya beraturan. Sesuai kaidah dalam ilmu/teori notasinya. UU CK pun begitu. Akan berhasil dijalankan jika materinya jelas dan sesuai kaidah hukum. Dan yang paling penting adalah kejelasan aturan turunannya. Aturan pelaksananya seperti yang akan diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) dan sebagainya.

Tidak cukup sampai disitu. Notasi sebagus apapun, selurus apapun ketaatannya pada kaidah yang berlaku, tetap tak berarti apa-apa kalau pemain (alat) musiknya kurang bagus. Atau tidak bisa mengikuti rentak dan komposisi notasi tersebut.

- Advertisement -

Dalam hal ini, sebagus apapun aturan yang dibuat, yang menjadi tolok ukurnya adalah implementasi. Sejauh mana suatu undang-undang yang telah disahkan mampu dijalankan dengan baik.

Baca Juga:  2 Dekake Demokrat Koalisi Rakyat, AHY: Indonesia Perlu Supertim Bukan Superman

UU CK akan kita lihat. Akan diuji. Berhasil atau tidaknya, sesuai atau tidaknya dengan cita cita mulia pemerintah itu, akan sangat ditentukan oleh pemain di lapangan.

Siapa pemain lapangannya? Penulis sangat setuju dengan pemikiran khas Dahlan Iskan, yang sangat prediktif dan interpretatif dalam tiap tulisannya. Bawa setelah UU CK lahir, maka yang menjadi pemain lapangannya adalah daerah. Dan penguasa daerah itu adalah bupati.

Maka akan tiba giliran bupati. Sebagai implementator paling depan dari UU CK. Dalam hal koordinasi tentunya. Karena UU CK ingin mengatur secara sederhana kewenangan dalam hal perizinan. Dan kebanyakan lokasi perizinan itu ada di daerah.

Karena menyangkut daerah, maka menjadi penting untuk dipikirkan, adalah sejauh mana UU CK dapat “hidup” berdampingan dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang berlaku. Sebab didalam undang-undang pemerintahan daerah secara spesifik telah diatur urusan-urusan pemerintahan. Antara kewenangan daerah dan Jakarta.

Di daerah, yang menjalankan berbagai macam urusan dan kewenangan itu secara teknis adalah perangkat daerah. Perangkat daerah dapat diibaratkan sebagai mesin di daerah. Yang istilah ilmiahnya kita kenal dengan nama: birokrasi.

Dalam praktiknya, bupati membawahi birokrasi. Birokrasi itu berupa dinas, badan dan kantor. Keberadaan dinas, badan dan kantor inilah yang menjadi menarik untuk dibentang. Bagaimana sesungguhnya keberadaan masing-masing elemen birokrasi itu menjadi kunci dari niat mulia pemerintah melalui UU CK.

Baca Juga:  Menyelami Perjalanan Ho Chi Minh City

Karena pada kenyataannya, aturan yang hebat harus didukung oleh implementator yang juga hebat. Implementator garis depan itu adalah birokrasi di masing-masing daerah. Seperti apa birokrasi di daerah mampu merespon niat mulia UU CK.

Sebab sampai sejauh ini, persoalan internal dalam tubuh birokrasi sendiri belum selesai. Agenda-agenda reformasi birokrasi yang dihembus pasca reformasi masih menyisakan beberapa persoalan mendasar. Yang paling utama tentu menyangkut pelayanan publik. Walau dari sisi rekrutmen calon-calon birokrat sudah menuju ke arah yang menggembirakan lewat model CAT (Computer Assisted Test).

Pemikiran ini sejalan dengan adagium masyhur: “ketika tugas politik (legislasi) selesai, maka tugas birokrasi baru saja dimulai”.

Dalam konteks tulisan ini, ketika DPR dan Presiden telah mengesahkan UU CK, maka beban dan tanggungjawab ada pada birokrasi. Dan birokrasi di daerah akan memainkan peran penting. Sebagai ujung tombak pelaksanaan aturan-aturan yang terkait UU CK itu.

Yang patut menjadi kekhawatiran bersama adalah ketidaksiapan birokrasi di daerah dalam merespon amanat UU CK. Ini yang menjadi pekerjaan dan tantangan kita bersama, sejauh mana birokrasi di daerah mampu mengimplementasikan aturan tersebut. Hingga kini ketakutan terhadap birokrasi  selama ini bisa hilang.***

 

Iswal Syahri, Alumnus Program Magister Universitas Islam Riau

Banyak yang bisa memainkan alat musik. Tapi tak semua bisa membaca notasi yang tergambar dalam partitur. Banyak juga yang bisa membaca notasi musik itu. Tapi tak semua dianugerahkan bakat untuk menjadi komponis.

Begitulah realitas hidup. Sebagai suatu ketetapan yang terberikan dalam hidup yang kompleks dan berkait-kelindan. Dalam kehidupan bernegara juga begitu. Ada pembagian atau pemisahan peran dan fungsi. Dalam teori yang paling klasik kita mengenal: fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Katakanlah seorang komponis, seorang pencipta komposisi musik itu, adalah institusi legislatif/DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Yang melahirkan musik penuh drama : Undang-Undang Cipta Kerja (disingkat UU CK).

Aturan yang dibuat dengan niat mulia. Atas inisiatif eksekutif (pemerintah) untuk memudahkan geliat pelaburan (investasi) di tengah situasi pandemi yang masih mengkhawatirkan.

Musik yang diciptakan itu, akan berhasil dimainkan, jika notasi yang disusun dalam partiturnya beraturan. Sesuai kaidah dalam ilmu/teori notasinya. UU CK pun begitu. Akan berhasil dijalankan jika materinya jelas dan sesuai kaidah hukum. Dan yang paling penting adalah kejelasan aturan turunannya. Aturan pelaksananya seperti yang akan diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah) dan sebagainya.

Tidak cukup sampai disitu. Notasi sebagus apapun, selurus apapun ketaatannya pada kaidah yang berlaku, tetap tak berarti apa-apa kalau pemain (alat) musiknya kurang bagus. Atau tidak bisa mengikuti rentak dan komposisi notasi tersebut.

Dalam hal ini, sebagus apapun aturan yang dibuat, yang menjadi tolok ukurnya adalah implementasi. Sejauh mana suatu undang-undang yang telah disahkan mampu dijalankan dengan baik.

Baca Juga:  Pendewasaan Usia Perkawinan

UU CK akan kita lihat. Akan diuji. Berhasil atau tidaknya, sesuai atau tidaknya dengan cita cita mulia pemerintah itu, akan sangat ditentukan oleh pemain di lapangan.

Siapa pemain lapangannya? Penulis sangat setuju dengan pemikiran khas Dahlan Iskan, yang sangat prediktif dan interpretatif dalam tiap tulisannya. Bawa setelah UU CK lahir, maka yang menjadi pemain lapangannya adalah daerah. Dan penguasa daerah itu adalah bupati.

Maka akan tiba giliran bupati. Sebagai implementator paling depan dari UU CK. Dalam hal koordinasi tentunya. Karena UU CK ingin mengatur secara sederhana kewenangan dalam hal perizinan. Dan kebanyakan lokasi perizinan itu ada di daerah.

Karena menyangkut daerah, maka menjadi penting untuk dipikirkan, adalah sejauh mana UU CK dapat “hidup” berdampingan dengan undang-undang tentang pemerintahan daerah yang berlaku. Sebab didalam undang-undang pemerintahan daerah secara spesifik telah diatur urusan-urusan pemerintahan. Antara kewenangan daerah dan Jakarta.

Di daerah, yang menjalankan berbagai macam urusan dan kewenangan itu secara teknis adalah perangkat daerah. Perangkat daerah dapat diibaratkan sebagai mesin di daerah. Yang istilah ilmiahnya kita kenal dengan nama: birokrasi.

Dalam praktiknya, bupati membawahi birokrasi. Birokrasi itu berupa dinas, badan dan kantor. Keberadaan dinas, badan dan kantor inilah yang menjadi menarik untuk dibentang. Bagaimana sesungguhnya keberadaan masing-masing elemen birokrasi itu menjadi kunci dari niat mulia pemerintah melalui UU CK.

Baca Juga:  Dunia Ini Panggung Sandiwara Menjadi Realita

Karena pada kenyataannya, aturan yang hebat harus didukung oleh implementator yang juga hebat. Implementator garis depan itu adalah birokrasi di masing-masing daerah. Seperti apa birokrasi di daerah mampu merespon niat mulia UU CK.

Sebab sampai sejauh ini, persoalan internal dalam tubuh birokrasi sendiri belum selesai. Agenda-agenda reformasi birokrasi yang dihembus pasca reformasi masih menyisakan beberapa persoalan mendasar. Yang paling utama tentu menyangkut pelayanan publik. Walau dari sisi rekrutmen calon-calon birokrat sudah menuju ke arah yang menggembirakan lewat model CAT (Computer Assisted Test).

Pemikiran ini sejalan dengan adagium masyhur: “ketika tugas politik (legislasi) selesai, maka tugas birokrasi baru saja dimulai”.

Dalam konteks tulisan ini, ketika DPR dan Presiden telah mengesahkan UU CK, maka beban dan tanggungjawab ada pada birokrasi. Dan birokrasi di daerah akan memainkan peran penting. Sebagai ujung tombak pelaksanaan aturan-aturan yang terkait UU CK itu.

Yang patut menjadi kekhawatiran bersama adalah ketidaksiapan birokrasi di daerah dalam merespon amanat UU CK. Ini yang menjadi pekerjaan dan tantangan kita bersama, sejauh mana birokrasi di daerah mampu mengimplementasikan aturan tersebut. Hingga kini ketakutan terhadap birokrasi  selama ini bisa hilang.***

 

Iswal Syahri, Alumnus Program Magister Universitas Islam Riau

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari