Jumat, 22 November 2024

Membebaskan Individu Pembakar Hutan

- Advertisement -

Pengertian setiap orang dalam berbagai undang-undang hukum pidana khusus yang digunakan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan adalah orang perorangan dan atau korporasi. Maksud perluasan makna setiap orang adalah agar supaya hukum pidana juga dapat menjerat pelaku yang bukan orang per orangan, tetapi juga badan hukum sebagaimana dalam hukum perdata, bahkan lebih luas lagi karena tidak harus berbadan hukum untuk dapat dipidana, cukup korporasi berupa kumpulan orang, organisasi baik yang kekayaannya terpisah maupun tidak.

Namun dalam praktiknya, ekspektasi publik tidak sesuai kenyataan karena dalam berbagai kasus kebakaran hutan dan lahan lebih banyak individu yang dihadapkan ke muka pengadilan dibanding korporasi. Berbagai tudingan pun muncul seakan penegak hukum hanya berani menyentuh anggota masyarakat, seperti adagium hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

- Advertisement -

Perspektif Penegak Hukum

Dalam perspektif penegak hukum, mereka merasa sudah bekerja dengan baik. Temuan yang mereka dapatkan di lapangan, pelaku yang terbukti melakukan pembakaran lahan dan hutan adalah anggota masyarakat biasa. Kalaupun ada keterlibatan korporasi lebih banyak disebabkan oleh kelalaian dalam hal ketidaksiapan sarana prasarana pemadaman api dan pencegahan menjalarnya api atau adanya kebakaran di atas areal lahan yang mereka miliki berdasarkan dokumen perizinan tetapi tidak dikuasai di lapangan karena berkonflik dengan masyarakat setempat.

Polisi dan jaksa bekerja menurut hukum acara pidana yang mengikatnya untuk tidak dapat menetapkan tersangka tanpa didukung alat bukti yang cukup yaitu dua alat bukti. Rezim hukum lingkungan pun mengatur secara tegas proses pembuktian itu di antaranya adalah bahwa perhitungan dilampauinya ambang batas kerusakan lingkungan harus dinyatakan oleh ahli di bidangnya dengan pemeriksaan di laboratorium yang terakreditasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 6 tahun 2009  tentang Laboratorium Lingkungan.

- Advertisement -

Ditambah lagi adanya Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 yang menentukan bahwa pembuktian kerusakan lingkungan harus dengan pembuktian secara ilmiah dengan hadirnya ahli di muka persidangan.

Baca Juga:  Pemilu AS 2020 dan Nasib Indonesia Mendatang

Persepsi Publik

Sebaliknya, dalam perspektif masyarakat telah tertanam keyakinan yang begitu kuat antara lain : (i) tidak mungkin masyarakat membakar hutan dan lahan, (ii) kalaupun ada masyarakat yang membakar hutan, itu digerakkan korporasi, (iii) kalaupun benar ada anggota masyarakat membakar, biasanya jumlahnya tidak akan menjadi penyebab kabut asap, (iv) membakar untuk kepentingan perkebunan yang jumlahnya kurang dari dua hektar boleh, (v) korporasi lah yang harus bertanggung jawab atas timbulnya kebakaran hutan.

Penolakan Publik

Khusus yang terjadi di Riau, penegakan hukum oleh penegak hukum terhadap individu anggota masyarakat yang dituduh membakar hutan dan lahan telah mendapat penolakan secara umum. Beberapa alasan yang menguatkan penolakan itu adalah terkait dengan ketentuan kebolehan membakar kurang dari dua hektar. Pasal 69 ayat (2) Undang-undang PPLH menyatakan Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Padahal Pasal 69 ayat (2) Undang-undang PPLH seakan-akan dianulir oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”).  Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010 menyatakan bahwa Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Namun, pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

Baca Juga:  Potret Pemilu Indonesia: Antara Harapan dan Keputusasaan

Bahkan untuk Provinsi Riau sendiri, telah pula diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Riau No.6/2018 tentang Penyelenggaraan Perkebunan yangpada Pasal 68 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan baik perorangan maupun badan hukum, dilarang membuka dan/atau mengolah lahan atau kebun dengan cara membakar.

Dengan adanya dua ketentuan perundang-undangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyidik dan penuntut umum berada dalam posisi tidak dapat mundur, karena terikat pada asas in dubio pro lege (dalam keraguan tetap harus meneruskan proses hukum). Dengan dua ketentuan tersebut, tidak pula ada lagi alasan untuk tidak meneruskan perkara karena tidak ditemukan adanya alasan penghapus pidana baik yang menjadi alasan pembenar maupun alasan pemaaf.

Bahwa kebetulan pelaku adalah berasal dari kalangan petani biasa, tidak merupakan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar. Pembebasan dari hakim seandainya perkara diteruskan juga tidak memiliki dasar pembenaran yang cukup seandainya alat bukti dengan minimal dua alat bukti telah terpenuhi. Hakim hanya dapat menjatuhkan putusan bebas jika tidak cukup bukti atau putusan lepas jika peristiwa tersebut bukan tindak pidana. Kalaupun dilandasi alasan kemanusiaan, pembebasan bukan lah solusi. Jika hakim berani, hakim dapat mengambil pilihan mengampuni terdakwa menurut prinsip rechtelijke pardon (pengampunan hakim).

Merespon penolakan publik atas penegakan hukum atas mereka dengan kapasitas tertentu, maka harus dicari jalan keluar sebagai landasan yuridis bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memilih dengan melihat keadaan pelaku serta alasan yang bersifat kemanusiaan. Jalan keluar itu adalah dengan merevisi ketentuan Pasal 69 UU No32/2009 tentang  Perlindungan dan atau Pengelolaan Lingkungan Undang-undang Lingkungan dan Pasal 108 UU No39/ 2014 tentang Perkebunan.***

Pengertian setiap orang dalam berbagai undang-undang hukum pidana khusus yang digunakan untuk menjerat pelaku pembakaran hutan dan lahan adalah orang perorangan dan atau korporasi. Maksud perluasan makna setiap orang adalah agar supaya hukum pidana juga dapat menjerat pelaku yang bukan orang per orangan, tetapi juga badan hukum sebagaimana dalam hukum perdata, bahkan lebih luas lagi karena tidak harus berbadan hukum untuk dapat dipidana, cukup korporasi berupa kumpulan orang, organisasi baik yang kekayaannya terpisah maupun tidak.

Namun dalam praktiknya, ekspektasi publik tidak sesuai kenyataan karena dalam berbagai kasus kebakaran hutan dan lahan lebih banyak individu yang dihadapkan ke muka pengadilan dibanding korporasi. Berbagai tudingan pun muncul seakan penegak hukum hanya berani menyentuh anggota masyarakat, seperti adagium hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.

- Advertisement -

Perspektif Penegak Hukum

Dalam perspektif penegak hukum, mereka merasa sudah bekerja dengan baik. Temuan yang mereka dapatkan di lapangan, pelaku yang terbukti melakukan pembakaran lahan dan hutan adalah anggota masyarakat biasa. Kalaupun ada keterlibatan korporasi lebih banyak disebabkan oleh kelalaian dalam hal ketidaksiapan sarana prasarana pemadaman api dan pencegahan menjalarnya api atau adanya kebakaran di atas areal lahan yang mereka miliki berdasarkan dokumen perizinan tetapi tidak dikuasai di lapangan karena berkonflik dengan masyarakat setempat.

- Advertisement -

Polisi dan jaksa bekerja menurut hukum acara pidana yang mengikatnya untuk tidak dapat menetapkan tersangka tanpa didukung alat bukti yang cukup yaitu dua alat bukti. Rezim hukum lingkungan pun mengatur secara tegas proses pembuktian itu di antaranya adalah bahwa perhitungan dilampauinya ambang batas kerusakan lingkungan harus dinyatakan oleh ahli di bidangnya dengan pemeriksaan di laboratorium yang terakreditasi berdasarkan ketentuan Pasal 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 6 tahun 2009  tentang Laboratorium Lingkungan.

Ditambah lagi adanya Keputusan Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 yang menentukan bahwa pembuktian kerusakan lingkungan harus dengan pembuktian secara ilmiah dengan hadirnya ahli di muka persidangan.

Baca Juga:  Tanggapan Pidato Gubri Pada HUT Ke-63 Provinsi Riau

Persepsi Publik

Sebaliknya, dalam perspektif masyarakat telah tertanam keyakinan yang begitu kuat antara lain : (i) tidak mungkin masyarakat membakar hutan dan lahan, (ii) kalaupun ada masyarakat yang membakar hutan, itu digerakkan korporasi, (iii) kalaupun benar ada anggota masyarakat membakar, biasanya jumlahnya tidak akan menjadi penyebab kabut asap, (iv) membakar untuk kepentingan perkebunan yang jumlahnya kurang dari dua hektar boleh, (v) korporasi lah yang harus bertanggung jawab atas timbulnya kebakaran hutan.

Penolakan Publik

Khusus yang terjadi di Riau, penegakan hukum oleh penegak hukum terhadap individu anggota masyarakat yang dituduh membakar hutan dan lahan telah mendapat penolakan secara umum. Beberapa alasan yang menguatkan penolakan itu adalah terkait dengan ketentuan kebolehan membakar kurang dari dua hektar. Pasal 69 ayat (2) Undang-undang PPLH menyatakan Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

Padahal Pasal 69 ayat (2) Undang-undang PPLH seakan-akan dianulir oleh Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”).  Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010 menyatakan bahwa Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. Namun, pembakaran lahan ini tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, dan/atau iklim kering.

Baca Juga:  Anggaran Sehat, Pembangunan Akurat

Bahkan untuk Provinsi Riau sendiri, telah pula diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Riau No.6/2018 tentang Penyelenggaraan Perkebunan yangpada Pasal 68 ayat (1) menegaskan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan baik perorangan maupun badan hukum, dilarang membuka dan/atau mengolah lahan atau kebun dengan cara membakar.

Dengan adanya dua ketentuan perundang-undangan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyidik dan penuntut umum berada dalam posisi tidak dapat mundur, karena terikat pada asas in dubio pro lege (dalam keraguan tetap harus meneruskan proses hukum). Dengan dua ketentuan tersebut, tidak pula ada lagi alasan untuk tidak meneruskan perkara karena tidak ditemukan adanya alasan penghapus pidana baik yang menjadi alasan pembenar maupun alasan pemaaf.

Bahwa kebetulan pelaku adalah berasal dari kalangan petani biasa, tidak merupakan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar. Pembebasan dari hakim seandainya perkara diteruskan juga tidak memiliki dasar pembenaran yang cukup seandainya alat bukti dengan minimal dua alat bukti telah terpenuhi. Hakim hanya dapat menjatuhkan putusan bebas jika tidak cukup bukti atau putusan lepas jika peristiwa tersebut bukan tindak pidana. Kalaupun dilandasi alasan kemanusiaan, pembebasan bukan lah solusi. Jika hakim berani, hakim dapat mengambil pilihan mengampuni terdakwa menurut prinsip rechtelijke pardon (pengampunan hakim).

Merespon penolakan publik atas penegakan hukum atas mereka dengan kapasitas tertentu, maka harus dicari jalan keluar sebagai landasan yuridis bagi penyidik, penuntut umum dan hakim untuk memilih dengan melihat keadaan pelaku serta alasan yang bersifat kemanusiaan. Jalan keluar itu adalah dengan merevisi ketentuan Pasal 69 UU No32/2009 tentang  Perlindungan dan atau Pengelolaan Lingkungan Undang-undang Lingkungan dan Pasal 108 UU No39/ 2014 tentang Perkebunan.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari