Ada setumpuk penderitaan di perkampungan itu sejak akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Ketika perkampungan itu tenggelam dalam proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Tapi, cerita duka sepenuhnya telah tenggelam. Kini, kehadiran Kampung Patin justru menumpahkan banyak kebahagiaan. Warga bahkan berbagi kebahagiaan dengan banyak orang luar. Jasa pengiriman turut serta dalam misi berbagi bahagia ini.
Laporan Muhammad Amin, Koto Masjid
Potret kebahagiaan tampak jelas dari kampung itu. Rumah mereka rata-rata besar. Nyaris semuanya bagus. Jalan kampung itu juga sangat bagus. Bisa dilalui dua lajur, lebih mirip jalan lintas kabupaten dibandingkan jalan desa. Padahal jalan itu hanya menghubungkan dua desa utama, yakni Desa Koto Masjid dan Desa Pulau Gadang di Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Warga dua desa ini adalah pindahan dari proyek PLTA Koto Panjang pada 1989-1992. Kehidupan dari Sungai Kampar dengan dunia perikanan yang mudah langsung berubah setelah kampung asli mereka tenggelam. Mereka kemudian diberikan lahan perkebunan karet. Kehidupan berat harus mereka hadapi karena tidak terbiasa. Tapi semuanya berubah sejak kehadiran kolam-kolam ikan patin di sana, terutama di Desa Koto Masjid.
"Sekarang di kampung kami tiada rumah tanpa kolam," ujar seorang warga Koto Masjid, Doni Maryandi, beberapa waktu lalu.
Doni merupakan salah satu pengelola kolam patin. Dia cukup lama bekerja di bidang pembenihan patin di sana. Kampung Patin, julukan Desa Koto Masjid sekarang, telah memproduksi patin dari hulu hingga hilir. Sejak pembenihan, pembesaran, pembuatan pakan, pembuatan kolam, pengairan, panen, hingga pengolahan ikan ada di sana. Doni bahkan menunjukkan sentra pengolahan patin. Berbagai macam produk turunan patin sudah tersedia. Ada bakso, nugget, stik, abon, ikan salai (asap), ikan pudung (asin), dan lainnya. Semuanya berasal dari patin di kolam-kolam ini.
"Sudah kita pasarkan juga ke swalayan di luar Riau bahkan Jakarta," ujar Doni.
Adalah Suhaimi yang jadi pelopor Kampung Patin. Suhaimi bukan orang asli kampung-kampung yang tenggelam di PLTA Koto Panjang ini. Dia orang Bangkinang, ibu kota Kabupaten Kampar. Tapi dia tahu penderitaan warga pindahan ini sejak awal. Istrinya asli warga sekitar. Suhaimi sejak awal juga sudah tahu makna berbagi, berbagi derita, tentu juga kebahagiaan setelah melalui proses panjang.
Dia adalah peneliti dan penyuluh di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Marpoyan, Pekanbaru. Di awal kampung ini berdiri, dia telah ditugaskan untuk menjadi penyuluh pertanian, perkebunan, dan perikanan di sini. Ternyata, menurut Suhaimi, kebiasaan di pinggir Sungai Kampar dengan ikan yang mudah didapat tidak bisa lepas dari masyarakat. Tapi mengubah pola pikir dari ikan tangkapan menjadi budi daya yang awalnya sulit. Berbekal ilmu yang didapatnya, dia mulai membina masyarakat. Bantuan modal dan corporate social responsibility (CSR) dari sebuah BUMN jadi tonggak awal. Selama tiga tahun berkiprah, ternyata kolam-kolam patin di sana mulai membuahkan hasil. Suhaimi kemudian dimutasi ke tempat lainnya. Tapi dia memilih untuk meneruskan berbagi ilmu di desa ini. Dia telanjur jatuh cinta pada desa ini.
"Saya memutuskan berhenti dari PNS. Tugas saya di sini ketika itu belum tuntas," ujar Suhaimi mengenang.
Kisah sukses Suhaimi membuat kolam ikan patin ternyata diikuti masyarakat sekitar. Perbankan yang awalnya tak mau memberikan modal, pelan-pelan percaya, bahkan justru berlomba memberikan modal. Maklum, untuk membuat satu kolam saja perlu paling sedikit Rp5 juta. Rata-rata luas kolam mencapai 20 x 30 meter, selain ada juga ukuran 30 x 45 meter. Belum lagi pengairan, perawatan kolam, bibit, pakan ikan, panen, dan biaya lainnya. Tapi dengan analisa usaha yang tepat, keuntungan juga didapat. Modal perbankan pun jadi mudah. Usaha perikanan lantas berkembang pesat dari hari ke hari.
Sekarang, 80 persen penduduk Desa Koto Masjid dari 600 kepala keluarga (KK) berprofesi sebagai pembudidaya dan pengolah ikan patin. Tiada rumah tanpa kolam di sini. Produksi tiada henti. Total 15 ton per hari ikan patin dihasilkan dari desa ini. Tiga ton dijual dalam bentuk ikan segar, sementara yang terbanyak, 12 ton justru ikan olahan.
Jadi, ikan olahan dari Kampung Patin ini bukan ikan sisa, bukan limbah. Ini ikan segar langsung dari kolam yang mutunya terjamin," ujar Suhaimi.
Masa-masa Berbagi Bahagia
Tidak ada lagi cerita duka di Kampung Patin sekarang. Semua cerita derita telah tenggelam di desa lama mereka di PLTA Koto Panjang. Kini, Kampung Patin menjadi inspirasi banyak pihak. Bukan tanpa alasan jalan desa ini dibuat sangat besar di sini. Jalan-jalan itu sekarang telah dilalui bus-bus pariwisata besar. Bus berkapasitas 50 penumpang sudah biasa datang ke mari. Dari anak TK, hingga mahasiswa mampir ke mari dalam jumlah besar. Dari kelompok nelayan, petani, pembudidaya hingga dosen peneliti dan pejabat tinggi pernah ke mari. Tentu mereka membawa kebahagiaan dan menyebarkannya.
"Pernah satu hari ada sembilan bus yang datang," ujar Suhaimi.
"Kebanyakan mereka datang untuk belajar. Kampung Patin telah menjadi inspirasi. Mereka belajar cara pembibitan, perawatan ikan, hingga pengolahan. Suhaimi tak keberatan berbagi ilmu. Tak jarang di antara mereka berada di Kampung Patin ini selama berhari-hari. Maka selain menyiapkan balai pertemuan, juga disiapkan rumah singgah (home stay). Warga yang mengelola rumah singgah itu.
"Saat ini sudah berdiri tujuh home stay," ujar Suhaimi.
Pelan-pelan, Kampung Patin Desa Koto Masjid telah berubah pula menjadi destinasi wisata. Sebab, selain menjadi tempat belajar, tak jarang pengunjung juga dapat menikmati keindahan alam di sekitar desa ini. Ada banyak destinasi wisata yang bisa dikunjungi di sini. Kondisi alam yang berkontur perbukitan ternyata menyimpan keindahan lainnya. Ada telaga, air terjun, hingga beberapa puncak bukit dengan panorama PLTA Koto Panjang. Beberapa destinasi wisata baru di sini adalah Tepian Mahligai, Sungai Gagak, Air Terjun Gulamo, Air Terjun Tambang Murai, hingga puncak Ulu Kasok yang disebut-sebut sebagai "Raja Ampat-nya" Riau.
"Anak-anak muda yang mengelola sekarang," ujar Suhaimi.
Kini, selain nama Kampung Patin, pelengkap istilah tambahan bagi kawasan ini adalah Desa Wisata Kampung Patin. Anak-anak milenial setempat yang menggagas dan menambahkan nama "desa wisata" itu. Saat pengunjung datang, biasanya mereka juga mencari oleh-oleh. Maka sudah tersedia bakso, stik, abon, nugget, ikan asap, ikan asin, dari patin.
Berbagi kebahagiaan memang menjadi niat awal. Masyarakat berbagi tugas, mulai dari pembenihan ikan, pembuatan pakan, tukang panen, pekerja di bagian pengolahan, hingga pemberi pakan dan perawatan kolam. Semuanya bekerja. Semuanya dapat merasakan kebahagiaan dan rezeki yang mengalir di sana. Panen bergiliran tiap hari tentu saja membuat kebahagiaan itu terdistribusi. Tapi tak hanya masyarakat tempatan, orang luar pun boleh berbagi kebahagiaan di sini. Selain datang untuk belajar, orang luar juga bisa berbuat lebih banyak. Masyarakat Kampung Patin juga menerima investor yang berniat membuka kolam di sini, atau bekerja sama dengan warga.
"Kami terbuka. Jika ada pengusaha yang ingin bersama-sama di sini boleh saja. Sudah banyak orang luar yang punya kolam di sini," ujar Suhaimi.
Berbagi Bahagia dengan JNE
Di gerbang masuk Kampung Patin, selain terdapat sebuah gerbang melingkar yang tinggi, terdapat juga sebuah spanduk. Spanduk JNE. Itulah satu-satunya spanduk jasa pengiriman di sana. Menurut Suhaimi, cukup banyak permintaan ikan kering dari luar. Jika permintaan dalam jumlah besar, maka pihaknya menggunakan bus untuk mengantar pesanan yang masuk ke pasar hingga swalayan, bahkan mal. Tiap hari, dengan jumlah sangat besar ikan asap (salai) diantar hingga Aceh, Medan, Pekanbaru, Palembang, Jambi, Jakarta, dan lainnya. 12 ton ikan olahan itu habis tiap harinya. Adapun skala kecil, misalnya rumahan, perkantoran yang sifatnya eksklusif, dikirimkan lewat jasa pengiriman, termasuk JNE.
"Ya, pakai JNE sering juga. Biasanya untuk dinikmati sendiri atau bagi-bagi teman sekantor dan tetangga. Kalau sudah makan ikan asap ini, biasanya ingin lagi dan bagi-bagi. Mereka selalu berbagi cerita tentang ikan salai patin ini," ujarnya.
Ikan salai atau ikan yang dikeringkan dengan diasapi memang sudah menjadi makanan khas daerah Kampar dan beberapa kawasan Melayu. Makanya, beberapa permintaan ikan salai ini diketahui dari orang-orang Kampar di perantauan, yang ingin menikmati ikan ini langsung dari sumbernya. Kenangan bahagia yang didapat di kampung halaman dengan cita rasa yang khas bisa terobati dengan memakan ikan ini. Apalagi jasa pengiriman sudah mudah dan tepercaya. Misalnya JNE.
Tapi menurut Suhaimi, tidak hanya orang Kampar di perantauan yang menyukai ikan asap dari Kampung Patin Koto Masjid. Saat ini, banyak juga kelompok masyarakat lain yang menyukai ikan asap ini. Mereka yang pernah datang untuk wisata edukasi banyak juga yang kembali memesan. Memang, ikan-ikan ini ada yang dijual di pasaran, tapi pemesanan langsung dengan diantar jasa pengiriman misalnya lewat JNE, tetap banyak.
"Kami tentu sesuai permintaan masyarakat. Mereka senang dan bahagia dengan ikan salai yang kami kirimkan, kami juga tentu bahagia," katanya.
Ditambahkan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) Sentra Pengolahan Hasil Perikanan Dinas Perikanan Kampar, Wan Candra, permintaan perorangan menggunakan JNE atau jasa pengiriman lainnya cukup banyak. Selain ikan salai, sering juga ikan asin, abon, dan lainnya.
"Setiap pekan pasti ada. Kadang tak hanya 1 atau 2 kg. Pernah juga hingga 20 kg untuk pesta nikah. Mereka ingin langsung dari sini. Jika di pasar khawatir tidak asli dan rasanya kadang beda," ujar Wan Candra.
Sentra Pengolahan Hasil Perikanan ini memang dibangun Pemkab Kampar. Tapi pekerja yang mengolah ikan tetap masyarakat tempatan berikut menikmati hasilnya. Selain pesanan langsung, pesanan lewat media sosial seperti Facebook sudah dilayani juga dalam skala kecil. Dikirim lewat jasa pengiriman, di antaranya JNE.
"Kami sedang jajaki juga lewat market place. Tentu agar semua lebih mudah dan dapat menyenangkan banyak pihak," ujarnya.***