JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih memicu polemik. Sejumlah pihak menganggap kenaikan terlalu tinggi. Bahkan, bisa muncul gerakan turun kelas. Di sisi lain, jika iuran tidak dinaikkan, defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan bakal makin mencekik.
Menurut Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, kenaikan iuran memang bisa menjadi solusi defisit BPJS. Namun, dalam aspek yang lebih luas, kebijakan itu bisa memicu hal yang kontraproduktif bagi BPJS Kesehatan sendiri. Setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontraproduktif. Pertama, terjadi gerakan turun kelas dari para peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, dari kelas I turun ke II dan kelas II ke III. Kedua, tunggakan berpotensi lebih masif, khususnya dari golongan mandiri yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persen.
"Jika dua fenomena itu menguat, bisa menggegoroti finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan," kata Tulus, Rabu (30/10).
Selain menaikkan tarif, menurut Tulus, pemerintah dan BPJS sebenarnya punya banyak alternatif. Misalnya, melakukan cleansing data golongan penerima bantuan iuran (PBI). Sebab, banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Jika cleansing data dilakukan secara efektif, peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI. "Karena kelas III ini yang paling rentan," katanya.
Kemudian, bisa dengan mendorong semua perusahaan menjadi anggota BPJS Kesehatan. Bisa pula mengaudit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawan dalam kepesertaan BPJS. Tulus menyatakan, sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya daripada yang sudah.
Selain itu, bisa juga dengan mengarahkan cukai rokok untuk membantu keuangan BPJS Kesehatan. "Jika tiga poin itu dilakukan, secara ekstrem kenaikan iuran BPJS Kesehatan tidak perlu dilakukan. Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen," jelasnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menambahkan, ada kekhawatiran masyarakat ogah-ogahan membayar setelah kenaikan iuran. Apalagi, kata Timboel, kenaikan itu dilakukan saat pelayanan faskes terhadap pasien BPJS masih memiliki banyak masalah. "Ada pasien peserta BPJS yang sulit mencari kamar, lama mengantre jadwal operasi, masih disuruh beli obat, disuruh bayar ini itu, dan sebagainya," jelasnya.
Menurut Timboel, angka kenaikan juga terlalu tinggi. Padahal, menurut perhitungan aktuaria versi Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), seharusnya kelas I hanya naik menjadi Rp120 ribu, kelas II menjadi Rp75 ribu, dan kelas III menjadi Rp42 ribu.
"Yang disebut di pasal 34 terlalu tinggi meskipun pemerintah mengeklaim sudah sesuai dengan aktuaria," terangnya.
Menurut Timboel, seharusnya pemerintah mempertimbangkan masukan Komisi IX DPR yang meminta iuran kelas III tidak naik sampai selesainya proses pembersihan data PBI. "Hingga saat ini proses pembersihan data PBI masih berlangsung dan tentunya sampai 2020 pun masih terus terjadi. Saya berharap anggota komisi IX mau menagih kesepakatan tersebut," ucapnya.
Di bagian lain, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan, kenaikan tarif BPJS dilakukan melalui perhitungan matang. Mulai audit yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hingga kajian DJSN. Menurut dia, berdasar hasil audit BPKP, tata kelola di tubuh BPJS dan fasilitas kesehatan perlu dibenahi. Namun, hal tersebut belum cukup untuk menutup defisit. Karena itu, tarif tetap perlu dinaikkan untuk menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran.
"Kalau disesuaikan, akan menambah anggaran pemerintah yang diberikan untuk BPJS, kemudian pada saat bersamaan tarif ini membuat BPJS menerima lebih tinggi. Bukan saja dari APBN, tapi juga partisipasi masyarakat," ujar dia di Istana Kepresidenan Jakarta kemarin (30/10). Dengan demikian, pemerintah optimistis defisit BPJS bisa ditekan. Meski, Suahasil belum bisa mendetailkan seberapa jauh dampaknya.
Mantan kepala Badan Kebijakan Fiskal itu yakin kenaikan tarif tidak akan membebani masyarakat bawah. Sebab, masyarakat kategori miskin sudah mendapat bantuan iuran melalui skema PBI.
Saat dikonfirmasi soal data dari BPJS Watch yang menyebut 2,5 juta warga miskin belum masuk PBI, Suahasil menjawab diplomatis. Menurut dia, data masyarakat yang mendapat PBI disesuaikan dengan data Kementerian Sosial. "Harusnya ada mekanisme resolusi, yaitu meminta supaya di-cover masuk data," kata dia.
Dia juga meminta masyarakat melihat BPJS dari aspek manfaat. Sebab, dibandingkan dengan asuransi swasta, premi BPJS jauh lebih terjangkau. Suahasil juga menegaskan, kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan akan ditingkatkan seiring dengan meningkatnya besaran premi. Namun, teknis peningkatannya akan dilakukan DJSN dan Kementerian Kesehatan.(c10/oni/jpg)