MINNESOTA (RIAUPOS.CO) – ”911, apa yang bisa kami bantu?” Pegawai Cup Food, toserba di Minneapolis, Minnesota, melaporkan kejahatan. Salah seorang pengunjung mereka membeli rokok dengan uang palsu. ’’Dia sepertinya mabuk dan menolak mengembalikan rokoknya,’’ ujar pegawai sesuai dengan transkrip panggilan darurat yang dirilis Minneapolis Police Department (MPD) seperti dilansir CNN.
Kejahatan ringan seperti itu biasanya berakhir dengan pelaku digiring ke kantor polisi. Namun, telepon darurat yang terjadi Selasa lalu tersebut menyebabkan kerusuhan di seluruh penjuru Amerika Serikat (AS). Tragedi itu terjadi setelah video penangkapan George Floyd, pemilik uang palsu, beredar di media sosial.
Setiap warga yang menonton tak kuat menahan horor. Dari rekaman saksi, seorang polisi terlihat sedang menindih Floyd dengan lututnya tepat di bagian leher belakang dengan lututnya. Warga sekitar sudah mendesak polisi itu agar mengangkat lututnya. Sebab, Floyd terdengar berkali-kali berteriak. ’’Aku tak bisa bernapas, Pak, tolong,’’ ungkap Floyd dalam rekaman yang beredar di dunia maya.
Nyatanya, polisi tersebut masih diam sambil menindih leher Floyd yang sudah lemas meski petugas medis sudah datang. Tak lama kemudian, pria 46 tahun itu dinyatakan meninggal. Namun, Hennepin County Medical Center belum menyebutkan penyebab kematian Floyd. Banyak tokoh yang angkat bicara terkait video tersebut.
Sebagian besar komentar mereka sama. Mereka tak tahan melihat adegan yang terekam. Wali Kota Minneapolis Jacob Frey mengatakan bahwa tindakan petugas itu tak manusiawi. ‘’Kata petugas, dia (Floyd) mencoba melawan. Saya langsung bilang bahwa dia sudah diborgol dan ditiarapkan itu berarti dia tak lagi melawan,’’ ujar Donald Williams, salah seorang saksi langsung tragedi tersebut.
Masyarakat AS langsung meradang. Mereka mengasumsikan hal tersebut adalah kasus pembunuhan karena rasisme. Dan itu bukan yang pertama. Salah satu kasus yang terkenal adalah Oscar Grant yang ditembak polisi di stasiun kereta bawah tanah 2010 silam. Tahun lalu Atatiana Jefferson ditembak di rumahnya sendiri karena disangka penyusup oleh petugas kepolisian.
Video yang beredar akhirnya kembali menyulut kemarahan atas pembunuhan karena ras. Kepolisian sudah memecat empat petugas yang berada di lokasi saat penangkapan Floyd. Namun, belum ada kejelasan adakah petugas yang dimintai pertanggungjawaban secara hukum. ’’Saya meminta maaf atas duka yang telah kami ciptakan. Saya tahu lembaga kami punya andil dalam kekacauan ini,’’ ujar Kepala MPD Medaria Arradondo.
Kemarahan masyarakat tak kunjung mereda hingga Jumat (29/5). Apalagi, fakta bahwa petugas yang menindih leher Floyd, Dereck Chauvin, ternyata punya sejarah menindak dengan kekerasan. Menurut MPD, dia sudah mendapatkan 18 keluhan terkait tindakan melewati batas saat bertugas. Namun, hanya dua keluhan yang ditindaklanjuti dengan hukuman disiplin.
Semua itu membuat amarah massa memuncak. Massa yang berkumpul di depan kantor kepolisian Third Precinct makin anarkistis. Pada akhirnya, mereka membakar gedung tersebut Kamis malam. Lebih dari 170 toko di St Paul dijarah pada saat demo memuncak. ”Apa pun yang kita alami, menjarah bukanlah sesuatu yang bisa dibiarkan,” ungkap Frey.
Aksi protes yang berjalan di Third Precinct itu juga menambah korban lain. Pemilik restoran Gandhi Mahal mengatakan bahwa tempat usahanya ikut terbakar karena lokasinya berdampingan dengan stasiun polisi tersebut. Sementara itu, aksi protes sudah meluas ke kota-kota lain. Massa dari New York City hingga Denver muncul untuk ikut menuntut keadilan bagi Floyd.
Sementara itu, jurnalis CNN Omar Jimenez dan tim kameranya ditangkap polisi saat sedang siaran langsung demonstrasi di Minnesota kemarin pagi waktu setempat. Mereka dianggap melawan instruksi yang diperintahkan polisi. Satu jam kemudian mereka dibebaskan dan gubernur meminta maaf atas penangkapan itu.
Di saat kritis tersebut, Presiden AS Donald Trump memilih untuk menyalahkan pemerintah Minnesota dan massa demonstran. Dia melabeli pendemo sebagai gerombolan penjahat yang mengancam keamanan nasional. Dia meminta petugas tak segan menembak jika massa mulai rusuh.
Beberapa hari ini Trump lebih sibuk mengurus perselisihannya dengan Twitter. Baru saja dia menandatangani perintah eksekutif terkait perusahaan media sosial. Perintah tersebut mengizinkan individu atau lembaga menggugat kebijakan konten dari perusahaan seperti Twitter yang dinilai tak adil.
Hal tersebut berawal saat salah satu unggahan Trump tentang pemilu melalui pos diberi keterangan pengecekan fakta. Mereka merasa pesan Trump bisa menyesatkan. Namun, Trump menganggap bahwa hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk menekan suara konservatif.
Meski sudah mendapat perintah eksekutif, Twitter tampaknya tak gentar. Unggahan Trump soal kasus Floyd pun ditandai. Menurut mereka, pesan Trump mengandung unsur pembenaran atas tindakan kekerasan.(jpg)