Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Populasi Hanya 0,70 %, Tak Ada Perlakuan Istimewa

Di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pemeluk Islam hanya berkisar 300-400 jiwa. Masjid Jamik An-Nur juga menjadi satu-satunya rumah ibadah muslim di pulau ini.
Laporan Hary B Koriun (Sabu Raijua, NTT)
SETELAH selesai melaksanakan salat sunat setelah salat Jumat, 24 Mei 2019 lalu, lelaki itu bergegas keluar dari Masjid Jamik An-Nur, Seba. Rumahnya tak jauh dari masjid yang dibangun oleh Yayasan Muslim Pancasila era Orde Baru, tahun 1992 lalu. Hanya sekitar 100 meter. Langkahnya berhenti saat ditanya hendak ke mana.
“Saya mau ke Kantor Bupati untuk membicarakan rencana buka  puasa bersama dengan beliau,” kata lelaki itu. Dia kemudian mengurungkan langkahnya, dan duduk kembali di lantai yang beralas karpet sajadah.
Senin, 27 Mei, komunitas muslim Sabu Raijua berbuka bersama dengan bupati dan jajarannya. Ini akan menjadi peristiwa besar. Sejak Sabu Raijua berdiri sendiri menjadi kabupaten terpisah dari Kabupaten Kupang tahun 2008, inilah untuk pertama kali seorang bupati mengajak mereka buka puasa bersama. Acara itu diadakan di depan masjid.
Ada muatan politis? Lelaki itu, H Muhammad Yasin Al Boneh (64), hanya tersenyum. Dia berusaha memahami. Maklumlah, sebentar lagi akan ada suksesi. Bupati yang sekarang, Nikodemus Rihi Heke, adalah wakil dari Marthen Luther Dira Tome selama dua periode. Marthen ditangkap KPK pada 15 November 2016 lalu karena tersangkut kasus korupsi semasa dia masih menjabat sebagai Kabag Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan NTT. Nikodemus kemudian naik tahta.
Kata Yasin, ini sebuah “peningkatan” ketika bupati mau mendekat ke komunitas muslim. Karena populasinya kecil, hanya 0,70 % –Protestan menjadi agama mayoritas dengan 96,70 %, disusul Khatolik 2,60 %– membuat muslim di Sabu tak diperhitungkan dalam banyak hal, termasuk politik. Padahal, selain keturunan H Ahmad Al Boneh yang beranak-pinak di Sabu, para pendatang muslim dari Surabaya, Lamongan, Demak, Solo, Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa, menjadi penambah populasi muslim di sana. Mereka kebanyakan para pedagang yang kemudian tinggal menetap.
“Tidak apa-apa meskipun bermuatan politik. Tapi paling tidak kami sudah dianggap ’ada’ di kabupaten ini,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sabu Raijua ini.
Ketua Dewan Imam Masjid Jamik An-Nur ini bercerita, Islam masuk ke pulau ini dibawa oleh kakek buyutnya, H Ahmad Al Boneh. Dia seorang pedagang dari Pontianak (Kalimantan Barat), sekitar tahun 1888-an. Sebelumnya Ahmad Al Boneh berada di Belu, Pulau Timor,  untuk berdagang. Ketika mendengar di Sabu banyak kuda dan ternak lainnya, dia kemudian berlayar dan menetap di sana. Tahun itu juga dia mendirikan surau kecil, yang menjadi cikal-bakal Masjid Jamik An-Nur sekarang.
Setelah Ahmad Al Boneh meninggal, syiar Islam dilanjutkan oleh sang anak, H Saleh Al Boneh, ayah Muhammad Yasin. Begitu selanjutnya, setelah sang ayah meninggal, Yasin-lah yang memikul tanggung jawab itu hingga kini. Sejak masa sang kakek buyut, asimilasi dengan penduduk setempat terus dilakukan secara perlahan. Ahmad Al Boneh menikah dengan penduduk asli Sabu. Keturunannya juga banyak yang mengikuti jejaknya melakukan kawin-mawin dengan penduduk setempat yang sudah beragama Protestan dan ada yang masih menganut aliran kepercayaan tradisional, Jingitiu. 
“Tidak mudah syiar Islam di sini,” ujar Yasin ayah lima anak ini.
Itu terlihat dari tetap kecilnya populasi muslim di Sabu. Penduduk asli Sabu tak banyak yang mau masuk Islam karena Protestan amat kuat di sana. Yasin juga tak ingin terjadi konflik dengan agama lain. Maka, kawin-mawin antara orang Islam dengan penduduk setempat, menjadi jalan yang paling lazim dan alami. Sebab, baik penganut Protestan atau Jingitiu, tidak mempermasalahkan kalau umatnya pindah agama karena perkawinan. Mereka sangat menghormati pilihan itu.
Hal itu dirasakan sendiri oleh Ramly Ika, Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sabu Raijua. Lelaki asal Pulau Alor itu menikahi Victoria Mone yang asli Sabu. Victoria berasal dari keluarga Protestan yang taat. Mereka bertemu di Kupang saat sama-sama menjadi PNS di sana. Ketika Victoria memilih masuk Islam untuk menikah dengan Ramly, seluruh keluarga besarnya menyetujui. Kini mereka sudah dikaruniai tiga anak.
Di Sabu, jika ada lelaki dari luar Sabu yang menikahi wanita Sabu, dia akan dihormati dan dihargai oleh keluarga besarnya. Tak peduli agama dan sukunya apa. Meskipun si wanita harus keluar dari agama yang dianut keluarga besarnya.
“Saya merasakan itu. Sampai sekarang hubungan saya dan istri saya dengan keluarga besar istri saya baik-baik saja. Mereka sangat menghormati pilihan anggota keluarga terhadap agama,” jelas lelaki 54 tahun itu, Senin, 27 Mei 2019.
Toleransi yang terjaga dengan baik juga terlihat dalam komposisi pejabat setingkat dirinya di Sabu Raijua. Saat ini ada 4 pejabat setingkat kepala dinas/badan dari kaum Islam. Ramly menilai, dengan populasi yang hanya 0,70 persen, jumlah itu sudah cukup signifikan. Ini belum umat Islam yang memegang jabatan sebagai kepala bidang (kabid) atau kepala seksi (kasi) di banyak instansi. Jumlahnya lumayan banyak.
Toleransi yang terbangun karena hubungan kekerabatan (perkawinan campuran) ini membuat antarpemeluk agama di Sabu memiliki ikatan yang kuat. Hingga saat ini, tidak pernah terjadi konflik yang berlatar agama. Itu diakui juga oleh Muhammad Yasin. Banyak keturunan Ahmad Al Boneh yang menikah dengan penduduk asli, sehingga di keluarga besar mereka juga ada yang beragama Islam maupun Protestan.
Namun, karena jumlah muslim yang tak sampai 1 persen dari jumlah populasi Sabu Raijua sebesar 91.500 jiwa tersebut, sebagai minoritas, umat berusaha memahami jika dalam suasana Ramadan pun mereka tak mendapat perlakuan istimewa. Misalnya, hampir semua rumah makan dan warung minum maupun kantin-kantin di sekolah-sekolah dan perkantoran, buka seperti biasa. Libur menjelang Ramadan untuk sekolah pun tak berlaku di sini.
“Ini sebuah konsekuensi sebagai minoritas. Kami bisa memahami hal ini,” kata Muhammad Yasin.
Perlakuan agak “istimewa” didapat para ANS di Pemkab Sabu Raijua. Mereka yang muslim dapat dispensasi masuk kantor pukul 09.00 Wita sementara yang beragama lain masuk seperti biasa. “Dispensasi ini menurut saya sudah lumayanlah,” ujar Ramly Ika sambil tersenyum.
Baik Muhammad Yasin maupun Ramly sepakat bahwa toleransi kehidupan bergama di Sabu Raijua harus tetap dijaga agar kedamaian yang selama ini terjadi, terus terawat dengan baik.***
Baca Juga:  Kebakaran Lahan Gambut di Siak Penyumbang Hotspot di Riau Hari Ini
Di Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pemeluk Islam hanya berkisar 300-400 jiwa. Masjid Jamik An-Nur juga menjadi satu-satunya rumah ibadah muslim di pulau ini.
Laporan Hary B Koriun (Sabu Raijua, NTT)
SETELAH selesai melaksanakan salat sunat setelah salat Jumat, 24 Mei 2019 lalu, lelaki itu bergegas keluar dari Masjid Jamik An-Nur, Seba. Rumahnya tak jauh dari masjid yang dibangun oleh Yayasan Muslim Pancasila era Orde Baru, tahun 1992 lalu. Hanya sekitar 100 meter. Langkahnya berhenti saat ditanya hendak ke mana.
“Saya mau ke Kantor Bupati untuk membicarakan rencana buka  puasa bersama dengan beliau,” kata lelaki itu. Dia kemudian mengurungkan langkahnya, dan duduk kembali di lantai yang beralas karpet sajadah.
Senin, 27 Mei, komunitas muslim Sabu Raijua berbuka bersama dengan bupati dan jajarannya. Ini akan menjadi peristiwa besar. Sejak Sabu Raijua berdiri sendiri menjadi kabupaten terpisah dari Kabupaten Kupang tahun 2008, inilah untuk pertama kali seorang bupati mengajak mereka buka puasa bersama. Acara itu diadakan di depan masjid.
Ada muatan politis? Lelaki itu, H Muhammad Yasin Al Boneh (64), hanya tersenyum. Dia berusaha memahami. Maklumlah, sebentar lagi akan ada suksesi. Bupati yang sekarang, Nikodemus Rihi Heke, adalah wakil dari Marthen Luther Dira Tome selama dua periode. Marthen ditangkap KPK pada 15 November 2016 lalu karena tersangkut kasus korupsi semasa dia masih menjabat sebagai Kabag Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Dinas Pendidikan NTT. Nikodemus kemudian naik tahta.
Kata Yasin, ini sebuah “peningkatan” ketika bupati mau mendekat ke komunitas muslim. Karena populasinya kecil, hanya 0,70 % –Protestan menjadi agama mayoritas dengan 96,70 %, disusul Khatolik 2,60 %– membuat muslim di Sabu tak diperhitungkan dalam banyak hal, termasuk politik. Padahal, selain keturunan H Ahmad Al Boneh yang beranak-pinak di Sabu, para pendatang muslim dari Surabaya, Lamongan, Demak, Solo, Yogyakarta dan beberapa daerah lainnya di Jawa, menjadi penambah populasi muslim di sana. Mereka kebanyakan para pedagang yang kemudian tinggal menetap.
“Tidak apa-apa meskipun bermuatan politik. Tapi paling tidak kami sudah dianggap ’ada’ di kabupaten ini,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sabu Raijua ini.
Ketua Dewan Imam Masjid Jamik An-Nur ini bercerita, Islam masuk ke pulau ini dibawa oleh kakek buyutnya, H Ahmad Al Boneh. Dia seorang pedagang dari Pontianak (Kalimantan Barat), sekitar tahun 1888-an. Sebelumnya Ahmad Al Boneh berada di Belu, Pulau Timor,  untuk berdagang. Ketika mendengar di Sabu banyak kuda dan ternak lainnya, dia kemudian berlayar dan menetap di sana. Tahun itu juga dia mendirikan surau kecil, yang menjadi cikal-bakal Masjid Jamik An-Nur sekarang.
Setelah Ahmad Al Boneh meninggal, syiar Islam dilanjutkan oleh sang anak, H Saleh Al Boneh, ayah Muhammad Yasin. Begitu selanjutnya, setelah sang ayah meninggal, Yasin-lah yang memikul tanggung jawab itu hingga kini. Sejak masa sang kakek buyut, asimilasi dengan penduduk setempat terus dilakukan secara perlahan. Ahmad Al Boneh menikah dengan penduduk asli Sabu. Keturunannya juga banyak yang mengikuti jejaknya melakukan kawin-mawin dengan penduduk setempat yang sudah beragama Protestan dan ada yang masih menganut aliran kepercayaan tradisional, Jingitiu. 
“Tidak mudah syiar Islam di sini,” ujar Yasin ayah lima anak ini.
Itu terlihat dari tetap kecilnya populasi muslim di Sabu. Penduduk asli Sabu tak banyak yang mau masuk Islam karena Protestan amat kuat di sana. Yasin juga tak ingin terjadi konflik dengan agama lain. Maka, kawin-mawin antara orang Islam dengan penduduk setempat, menjadi jalan yang paling lazim dan alami. Sebab, baik penganut Protestan atau Jingitiu, tidak mempermasalahkan kalau umatnya pindah agama karena perkawinan. Mereka sangat menghormati pilihan itu.
Hal itu dirasakan sendiri oleh Ramly Ika, Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sabu Raijua. Lelaki asal Pulau Alor itu menikahi Victoria Mone yang asli Sabu. Victoria berasal dari keluarga Protestan yang taat. Mereka bertemu di Kupang saat sama-sama menjadi PNS di sana. Ketika Victoria memilih masuk Islam untuk menikah dengan Ramly, seluruh keluarga besarnya menyetujui. Kini mereka sudah dikaruniai tiga anak.
Di Sabu, jika ada lelaki dari luar Sabu yang menikahi wanita Sabu, dia akan dihormati dan dihargai oleh keluarga besarnya. Tak peduli agama dan sukunya apa. Meskipun si wanita harus keluar dari agama yang dianut keluarga besarnya.
“Saya merasakan itu. Sampai sekarang hubungan saya dan istri saya dengan keluarga besar istri saya baik-baik saja. Mereka sangat menghormati pilihan anggota keluarga terhadap agama,” jelas lelaki 54 tahun itu, Senin, 27 Mei 2019.
Toleransi yang terjaga dengan baik juga terlihat dalam komposisi pejabat setingkat dirinya di Sabu Raijua. Saat ini ada 4 pejabat setingkat kepala dinas/badan dari kaum Islam. Ramly menilai, dengan populasi yang hanya 0,70 persen, jumlah itu sudah cukup signifikan. Ini belum umat Islam yang memegang jabatan sebagai kepala bidang (kabid) atau kepala seksi (kasi) di banyak instansi. Jumlahnya lumayan banyak.
Toleransi yang terbangun karena hubungan kekerabatan (perkawinan campuran) ini membuat antarpemeluk agama di Sabu memiliki ikatan yang kuat. Hingga saat ini, tidak pernah terjadi konflik yang berlatar agama. Itu diakui juga oleh Muhammad Yasin. Banyak keturunan Ahmad Al Boneh yang menikah dengan penduduk asli, sehingga di keluarga besar mereka juga ada yang beragama Islam maupun Protestan.
Namun, karena jumlah muslim yang tak sampai 1 persen dari jumlah populasi Sabu Raijua sebesar 91.500 jiwa tersebut, sebagai minoritas, umat berusaha memahami jika dalam suasana Ramadan pun mereka tak mendapat perlakuan istimewa. Misalnya, hampir semua rumah makan dan warung minum maupun kantin-kantin di sekolah-sekolah dan perkantoran, buka seperti biasa. Libur menjelang Ramadan untuk sekolah pun tak berlaku di sini.
“Ini sebuah konsekuensi sebagai minoritas. Kami bisa memahami hal ini,” kata Muhammad Yasin.
Perlakuan agak “istimewa” didapat para ANS di Pemkab Sabu Raijua. Mereka yang muslim dapat dispensasi masuk kantor pukul 09.00 Wita sementara yang beragama lain masuk seperti biasa. “Dispensasi ini menurut saya sudah lumayanlah,” ujar Ramly Ika sambil tersenyum.
Baik Muhammad Yasin maupun Ramly sepakat bahwa toleransi kehidupan bergama di Sabu Raijua harus tetap dijaga agar kedamaian yang selama ini terjadi, terus terawat dengan baik.***
Baca Juga:  Balai POM Tarik Obat Lambung Ranitidin di Pasaran
Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari