JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muchammad Romahurmuziy, resmi bebas dari tahanan KPK, Rabu (29/4/2020) malam. Itu setelah JPU KPK menerima surat dari ketua pengadilan tindak pidana korupsi pada PN Jakarta Pusat pada hari yang sama, memerintahkan untuk segera mengeluarkan terdakwa dari tahanan.
“Maka KPK tidak punya pilihan lain sehingga harus mengeluarkan terdakwa dari tahanan. Hal ini karena masa tahanan yang dijalani terdakwa sama dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta,” ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada Riaupos.co, Kamis (30/4/2020).
Ia menjelaskan, amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No.9/PID.SUS-TPK/2020/PT.DKI tanggal 22 April 2020 telah menjatuhkan pidana kepada terdakwa Muchammad Romahurmuziy dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp100 juta. Dengan ketentuan, bila terdakwa tidak membayar denda tersebut maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Putusan itu turun dari putusan tingkat pertama. Yakni penjara selama 2 tahun.
“Sebelumnya KPK juga menerima informasi bahwa MA telah menerbitkan penetapan No.4877/2020/S.2464.Tah.Sus/PP/2020/MA tanggal 29 April 2020. Yaitu menetapkan memerintahkan untuk menahan terdakwa Muchammad Romahurmuziy dalam Rutan untuk paling lama 50 hari terhitung mulai tanggal 27 April 2020,” sambung Ali Fikri.
Namun, dalam surat pengantar MA ke PN Jakpus, di bagian keterangannya dicantumkan pada tanggal 28 April 2020, masa tahanan terdakwa Romy sudah sama dengan putusan PT DKI Jakarta yang memperbaiki putusan PN Jakarta Pusat selama 1 tahun. Karenanya, pada tanggal tersebut terdakwa dapat keluar demi hukum.
Meski begitu, lembaga antirasuah dikatakan Ali, memastikan tetap melanjutkan kasasi. KPK telah mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung sejak 27 April 2020 lalu. Pihaknya memandang terdapat sejumlah persoalan pada putusan banding PT DKI. Diantaranya Majelis Hakim Tingkat Banding dinilai tidak menerapkan hukum atau menerapkan hukum, tapi tidak sebagaimana mestinya.
“Hal itu terlihat dalam pertimbangan Mejelis Banding terkait penerimaan uang oleh terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa. Padahal jelas-jelas uang tersebut telah berpindah tangan dan beralih dalam penguasaan terdakwa,” jelas Ali.
Masih dikatakan Ali Fikri, Majelis Hakim Tingkat Banding juga tidak menerapkan hukum atau menerapkan hukum pembuktian. Tidak sebagaimana mestinya pada saat mempertimbangkan mengenai keberatan oenununtut umum terkait hukuman tambahan kepada terdakwa. Berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik, dengan tidak memberikan pertimbangan hukum yang jelas terkait ditolaknya keberatan penuntut umum tersebut.
“Selain itu, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak memberikan pertimbangan yang cukup terkait penjatuhan pidana kepada terdakwa yang terlalu rendah,” tuntasnya.
Laporan: Afiat Ananda (Pekanbaru)
Editor: Egp