Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Warga Rantau Binuang Mengadu ke DPD

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Warga Desa Rantau Binuang Sakti, Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu mengaku heran dengan pola kemitraan PT Perdana Inti Sawit Perkasa (PISP). Sebab, belum sempat menerima hasil perkebunan, warga sudah dibebani Rp100 juta oleh perusahaan untuk 1 hektar kebun sawit. Padahal, warga sendiri belum menerima hasil apapun dari 1.079 hektar lahan yang digarap sejak tahun 2013 lalu. 

Atas persoalan itu, warga kemudian meminta pertolongan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Instiawati Ayus agar hak-hak masyarakat bisa terpenuhi, Selasa (26/1/2021).

Melalui sebuah forum pertemuan, IA, begitu sapaan akrab Instiawati Ayus langsung mengundang para pihak terkait di kantor pribadinya di Kota Pekanbaru. Hadir dalam pertemuan perwakilan PT PISP, Kadis Perkebunan dan Perternakan Kabupaten Rohul Agung Nugroho, Kepala Desa Rantau Binuang Sakti Thamrin serta beberapa orang perwakilan warga.

Di awal, warga sempat menjelaskan persoalan yang sempat terjadi sejak tahun 2011 lalu. Mulai dari persoalan transparansi perusahaan, hitungan bagi hasil bersama warga hingga yang terbaru beban utang Rp100 juta yang harus ditanggung.

"Di dalam MoU (surat perjanjian, red) masa tanam sudah di mulai semenjak tahun 2013. Dalam MoU itu disampaikan bahwa dalam waktu 48 bulan perusahaan akan menyerahkan perkebunan yang telah di tanam kepada warga. Jika dihitunh, harusnya sudah diserahkan pada tahun 2017. Namun hingga 2021 ini belum terealisasi. Bahkan sudah di bebani Rp100 juta," ujar salah seorang perwakilan warga saat pertemuan.

Baca Juga:  Prabowo Bakal Libatkan Mendikbud Nadiem

Menanggapi pertanyaan warga tersebut, Asisten Manajer Kemitraan PT PSIP, Rahmad mengatakan bahwa uang Rp100 juta yang dibebankan kepada warga di hitung berdasarkan hasil konsultasi dengan konsultan independen. Jumlah tersebut sejatinya berada di angka Rp109 juta. Namun karena pertimbangan perusahaan, warga hanya di bebankan Rp100 juta saja. Mengenai kenapa uang sebanyak itu harus di bebankan kepada warga, Rahmad tidak menjawab secara terperinci. Ia mengatakan sudah memberikan rincian kepada pihak Koperasi Bunda yang memayungi kemitraan warga dengan perusahaan.

"Namun yang pasti disana ada biaya konversi perkebunan. Termasuk biaya pembangunan kebun dan biaya penggantian kepada perusahaan sebelum PT PISP, yakni PT GSI sebesar Rp20 miliar. Kemudian kami tanam dari awal. Ada juga ganti rugi perluasan lahan sebesar Rp2-3 miliar," sebut Rahmad.

Menimpali pernyataan tersebut, Kades Rantau Binuang Sakti Thamrin mengatakan, sesuai aturan yang ada, perusahaan boleh mewajibkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kebun maksimal Rp62 juta untuk satu hektar. Sementara PT PISP sendiri mematok harga hampir dua kali lipat. Keberatan itulah yang kemudian disampaikan warga. Bahkan sejak beberapa waktu lalu telah disampaikan pernyataan serupa ke PT PISP. Namun perusahaan tidak mau memberikan penjelasan kepada warga dengan alasan sudah melakukan komunikasi dengan pengurus koperasi.

Lebih jauh disampaikan kades, kerjasama antara warga desanya dengan PT PISP sebetulnya sudah terjalin sejak tahun 2011 lalu. Saat dalam perjanjian tersebut, kata dia, di sepakati tahun tanam di mulai pada tahun 2013. Dan dalam hitungan 48 bulan atau 4 tahun setelah masa tanam, maka kebun yang digarap sepenuhnya di serahkan kepada masyarakat. Namun yang terjadi hingga tahun 2020 warga juga tidak mendapatkan haknya. Bahkan belakangan malah di bebani Rp100 juta oleh perusahaan untuk satu hektar kebun.

Baca Juga:  Liuk Liat Gerak Tari dan Silat

"Padahal, hitungan kepemilikan kebun itu 1 jiwa, 1 hektar. Nah kalaun ada yang satu keluarga 7 orang, maka harus bayar Rp700 juta untuk mendapatkan kebun yang merupakan hak warga," ujar kades.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Instiawati Ayus berpendapat bahwa persoalan tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak. Seperti persoalan kepengurusan koperasi berkonflik dengan masyarakat. Untuk masalah itu, IA meminta agar masyarakat dapat menyelesaikan secara cepat konflik internal yang terjadi.

"Kepada perusahaan ada peraturan pada pola kemitraan, plasma dan inti. Ada standarnya. Kalau kita simak standarnya seperti yang disampaikan kades tadi, itu berkisar Rp51-62 juta. Tentu standar itu telah dibuat pemerintah berdasarkan kajian," sebutnya.

Maka dari itu, dirinya meminta perusahaan untuk membuat kronologi kerjasama dengan masyarakat, hingga rincian uang sebanyak Rp100 juta yang dibebankan kepada masyarakat.

"Saya hanya katakan tolong mereka lakukan kemitraan dengan harga yang patut. Saat harga itu tidak patut silahkan para pihak ambil jalan masing-masing. Karena saat disepakati harga ini, persoalan akan bergulir bertahun tahun. Bisa jadi belasan tahun. Toh di awal tidak sehat gimana kedepannya," tegasnya.

Laporan: Afiat Ananda (Pekanbaru)

Editor: M Ali Nurman

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Warga Desa Rantau Binuang Sakti, Kecamatan Kepenuhan, Kabupaten Rokan Hulu mengaku heran dengan pola kemitraan PT Perdana Inti Sawit Perkasa (PISP). Sebab, belum sempat menerima hasil perkebunan, warga sudah dibebani Rp100 juta oleh perusahaan untuk 1 hektar kebun sawit. Padahal, warga sendiri belum menerima hasil apapun dari 1.079 hektar lahan yang digarap sejak tahun 2013 lalu. 

Atas persoalan itu, warga kemudian meminta pertolongan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Instiawati Ayus agar hak-hak masyarakat bisa terpenuhi, Selasa (26/1/2021).

- Advertisement -

Melalui sebuah forum pertemuan, IA, begitu sapaan akrab Instiawati Ayus langsung mengundang para pihak terkait di kantor pribadinya di Kota Pekanbaru. Hadir dalam pertemuan perwakilan PT PISP, Kadis Perkebunan dan Perternakan Kabupaten Rohul Agung Nugroho, Kepala Desa Rantau Binuang Sakti Thamrin serta beberapa orang perwakilan warga.

Di awal, warga sempat menjelaskan persoalan yang sempat terjadi sejak tahun 2011 lalu. Mulai dari persoalan transparansi perusahaan, hitungan bagi hasil bersama warga hingga yang terbaru beban utang Rp100 juta yang harus ditanggung.

- Advertisement -

"Di dalam MoU (surat perjanjian, red) masa tanam sudah di mulai semenjak tahun 2013. Dalam MoU itu disampaikan bahwa dalam waktu 48 bulan perusahaan akan menyerahkan perkebunan yang telah di tanam kepada warga. Jika dihitunh, harusnya sudah diserahkan pada tahun 2017. Namun hingga 2021 ini belum terealisasi. Bahkan sudah di bebani Rp100 juta," ujar salah seorang perwakilan warga saat pertemuan.

Baca Juga:  Pemkab dan Dunia Usaha Bersinergi

Menanggapi pertanyaan warga tersebut, Asisten Manajer Kemitraan PT PSIP, Rahmad mengatakan bahwa uang Rp100 juta yang dibebankan kepada warga di hitung berdasarkan hasil konsultasi dengan konsultan independen. Jumlah tersebut sejatinya berada di angka Rp109 juta. Namun karena pertimbangan perusahaan, warga hanya di bebankan Rp100 juta saja. Mengenai kenapa uang sebanyak itu harus di bebankan kepada warga, Rahmad tidak menjawab secara terperinci. Ia mengatakan sudah memberikan rincian kepada pihak Koperasi Bunda yang memayungi kemitraan warga dengan perusahaan.

"Namun yang pasti disana ada biaya konversi perkebunan. Termasuk biaya pembangunan kebun dan biaya penggantian kepada perusahaan sebelum PT PISP, yakni PT GSI sebesar Rp20 miliar. Kemudian kami tanam dari awal. Ada juga ganti rugi perluasan lahan sebesar Rp2-3 miliar," sebut Rahmad.

Menimpali pernyataan tersebut, Kades Rantau Binuang Sakti Thamrin mengatakan, sesuai aturan yang ada, perusahaan boleh mewajibkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kebun maksimal Rp62 juta untuk satu hektar. Sementara PT PISP sendiri mematok harga hampir dua kali lipat. Keberatan itulah yang kemudian disampaikan warga. Bahkan sejak beberapa waktu lalu telah disampaikan pernyataan serupa ke PT PISP. Namun perusahaan tidak mau memberikan penjelasan kepada warga dengan alasan sudah melakukan komunikasi dengan pengurus koperasi.

Lebih jauh disampaikan kades, kerjasama antara warga desanya dengan PT PISP sebetulnya sudah terjalin sejak tahun 2011 lalu. Saat dalam perjanjian tersebut, kata dia, di sepakati tahun tanam di mulai pada tahun 2013. Dan dalam hitungan 48 bulan atau 4 tahun setelah masa tanam, maka kebun yang digarap sepenuhnya di serahkan kepada masyarakat. Namun yang terjadi hingga tahun 2020 warga juga tidak mendapatkan haknya. Bahkan belakangan malah di bebani Rp100 juta oleh perusahaan untuk satu hektar kebun.

Baca Juga:  Seorang WNI Luka-Luka Akibat Ledakan di Lebanon

"Padahal, hitungan kepemilikan kebun itu 1 jiwa, 1 hektar. Nah kalaun ada yang satu keluarga 7 orang, maka harus bayar Rp700 juta untuk mendapatkan kebun yang merupakan hak warga," ujar kades.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Riau Instiawati Ayus berpendapat bahwa persoalan tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak. Seperti persoalan kepengurusan koperasi berkonflik dengan masyarakat. Untuk masalah itu, IA meminta agar masyarakat dapat menyelesaikan secara cepat konflik internal yang terjadi.

"Kepada perusahaan ada peraturan pada pola kemitraan, plasma dan inti. Ada standarnya. Kalau kita simak standarnya seperti yang disampaikan kades tadi, itu berkisar Rp51-62 juta. Tentu standar itu telah dibuat pemerintah berdasarkan kajian," sebutnya.

Maka dari itu, dirinya meminta perusahaan untuk membuat kronologi kerjasama dengan masyarakat, hingga rincian uang sebanyak Rp100 juta yang dibebankan kepada masyarakat.

"Saya hanya katakan tolong mereka lakukan kemitraan dengan harga yang patut. Saat harga itu tidak patut silahkan para pihak ambil jalan masing-masing. Karena saat disepakati harga ini, persoalan akan bergulir bertahun tahun. Bisa jadi belasan tahun. Toh di awal tidak sehat gimana kedepannya," tegasnya.

Laporan: Afiat Ananda (Pekanbaru)

Editor: M Ali Nurman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari