JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kediaman Bupati Lingga, Alias Wello. Penggeledahan itu merupakan bagian proses penanganan perkara suap penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi dari Pemkab Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah.
“Salah satu rumah (digeledah) untuk kepentingan penyidikan di Kotawaringin Timur,” kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (27/11) malam.
Febri menyampaikan, penggeledahan itu merupakan salah satu tindak lanjut dari proses pemeriksaan yang telah dilakukan. Diketahui, Alias Ello pernah diperiksa penyidik di Mapolresta Barelang, Batam, Kepulauan Riau, pada Jumat (23/8). Saat itu, Wello bersaksi dalam kapasitasnya sebagai pihak swasta.
“Jadi penggeledahan ini bangian dari upaya administrasi. Ada surat yang kami sampaikan ke rumah di Jakarta, tetapi tidak ada orang, maka kami mendatangi rumah yang di Kepri,” ucap Febri
Kendati demikian, Febri belum dapat menjelaskan lebih rinci ihwal barang bukti yang disita penyidik dari penggeledahan tersebut. “Saya belum dapat info detail penggeledahan,” tukas Febri.
Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi. Diduga, Supian telah menyalahgunakan wewenang sebagai Bupati Kotawaringin Timur dengan menerbitkan surat keputusan IUP operasi produksi seluas 1.671 Hektar kepada PT Fajar Mentaya Abadi (FMA) yang berada di kawasan hutan.
Padahal, PT FMA belum memiliki sejumlah dokumen perizinan, seperti ijin lingkungan atau AMDAL dan segala persyaratan lainnya.
Atas perbuatannya, Supian dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Junto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam mengusut perkara itu, KPK telah melakukan penggeledahan di sebuah rumah yang berlokasi di Jalan Ir. Sutami, Kelurahan Tanjungpinang Timur, Bukit Bestari pada Rabu (21/8).
Sebagai informasi, Kerugian keuangan negara dalam kasus ini jauh lebih besar dari kasus korupsi penerbitan SKL BLBI yang menjerat Sjamsul Nursalim dengan nilai sebesar Rp 4,58 triliun, serta kasus pemberian FPJP dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang hanya mengalami kerugian sebesar Rp 7,4 triliun.
Setidaknya, total kerugian keuangan negara dalam perkara ini mencapai Rp 5,8 triliun dan US$711.000 yang dihitung dengan eksplorasi hasil pertambangan bauksit, kerusakan lingkungan dan kerugian kehutanan akibat produksi dan kegiatan pertambangan yang dilakukan PT FMA, PT BI dan PT AIM.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman