JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Hingga kini, Indonesia telah memiliki 792 laboratorium untuk meneliti sampel tes Covid-19. Namun, jumlah tes turun. Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Brigjen TNI (purn) dr Alexander K Ginting menyebut banyak variabel yang mempengaruhi penurunan tes PCR. Banyak faktor yang mempengaruhi operasional lab seperti long weekend dan hari libur nasional.
"Bisa juga karena laporan dari daerah berbeda-beda karena cut off time yang berbeda. Entry time unit, koneksi internet, cleansing time dan sebagainya,"jelas Ginting.
Ginting menyebut bahwa rumpun testing antigen dan PCR berbeda. Saat ini jumlah tes antigen terus meningkat meskipun banyak pelaporan yang belum komprehensif. Ginting juga menyebut bahwa pihaknya terus mendorong lab-lab di daerah untuk selalu mengoptimalkan pelaporan testing. "Selalu diigingatkan dalam rakor agar 3T terus ditingkatkan,"katanya.
Senada, co-founder kawalcovid.id Elina Tjiptadi menyebut pihaknya menganalisa bahwa dalam 2 bulan terakhir, tes PCR mengalami penurunan pasca dimasukkannya tes antigen sebagai supplemen dari tes harian Covid-19 di Indonesia. "Data antigen mulai dimasukkan akhir Februari. Setelah itu tes PCR mengalami penurunan,"katanya kemarin.
Elina menyebut, pada akhir Januari hingga Awal Februari, tes PCR bisa mencapai 40 ribuan per hari. Namun pada beberapa hari terakhir, total tes di Indonesia berkisar antara 30 hingga 50 ribuan tes per hari. Ini pun sudah termasuk dengan tes antigen.
Elina mengatakan bahwa kawalcovid-19 melihat memang ada tren penurunan tes PCR setelah menggunakan antigen. Padahal mereka yang negatif tes antigen justru harus dikonfirmasi dengan tes PCR untuk memastikan bahwa hasil tersebut bukan false negatif.
"Jadi mestinya banyaknya tes antigen negatif itu membuat tes PCR naik,"jelasnya.
Memang tes antigen tetap bisa digunakan untuk melacak kasus. Elina menyebut jika misalnya tes PCR susah didapatkan di daerah tersebut, maka mereka yang hasil antigen-nya negatif bisa dites ulang dengan antigen lagi beberapa hari kemudian. Namun tetap saja tes PCR harus diperluas. Utamanya di daerah-daerah yang sulit.
"Padahal mestinya antigen menambah kapasitas tes di tempat-tempat yang sulit PCR. Bukan menggantikan kapasitas PCR yang sudah ada,"jelasnya.
Penurunan angka testing Covid-19 mendapat respons dari Kementerian Kesehatan. Juru Bicara Kementerian Kesehatan terkait Covid-19 Siti Nadia Tarmizi menuturkan bahwa pihaknya akan mengingatkan dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah terkait hal ini. Dalam kegiatan ini pihaknya akan melibatkan satgas penanganan Covid-19 pusat maupun daerah.
Dia menegaskan bahwa pusat tak bisa berbuat banyak. Sebab kondisi di lapangan lebih banyak diketahui oleh pemerintah daerah. "Kewajiban penanggulangan pandemi ada di satgas daerah, yaitu pemda provinsi dan kabupaten atau kota,"katanya kemarin ketika dihubungi JPG.
Pemda menurut Nadia yang mengetahui kebutuhannya. Namun pusat bisa memantau dari positivity rate dapat diketahui apakah testing perlu ditambah atau tidak. "Kalau positivity rate tinggi maka testing perlu ditambah,"ujarnya.
Kalau dari sisi jumlah alat tes, Nadia menjamin kebutuhannya. Bahkan jika ada daerah yang mengusulkan maka Kemenkes akan mendistribusikannya.
"Anggaran daerah pun dapat digunakan untuk penyediaan alat bahkan rapid antigen,"ujarnya.
Sementara itu, WHO terus mempelajari lebih lanjut soal varian Covid-19 B.1.617. Dari data sementara, diketahui tiga jenis varian ini, yaitu B.1.617.1, B.1.617.2 dan B.1.617.3 ternyata lebih mudah menular menurut beberapa penelitian ilmiah. Data terbaru, dari Inggris tanggal 29 Maret sampai 28 April 2021 menunjukkan bahwa "secondary attack rates"varian B.1.617.2 lebih tinggi daripada B.1.1.7.
Namun, terkait dampaknya untuk membuat penyakit menjadi lebih berat dan parah, atau menyebabkan kematian, masih dalam status under investigation. "Artinya masih diperlukan data ilmiah yang lebih sahih untuk membuat kesimpulan akhir,"ujar Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Tjandra Yoga Aditama.
Terkait kemungkinan terinfeksi ulang sesudah sembuh pun, kata dia, statusnya sama. Masih dalam penelituan. Kendati begitu, WHO sudah menyatakan bahwa ada kemungkinan bahwa B.1.617.1 mengakibatkan penurunan aktifitas netralisasi.Disinggung mengenai sensitivitas terhadap alat deteksi Covid-19, Tjandra mengungkapkan, bahw sejauh ini belum ada laporan ilmiah yang sahih tentang dampak varian B.1.617 terhadap diagnosis Covid-19 dengan PCR ataupun rapid antigen.
Begitu pula dampak varian B.1.617 terhadap efikasi vaksin. Menurutnya, sudah ada laporan awal dari Inggris yang menunjukkan sedikit penurunaan efektifitas vaksin Pfizer BioNTech dan AstraZeneca terhadap B.1.617.2, dibandingkan dengan B.1.1.7. Data efikasi vaksin Pfizer BioNTech adalah 93,4 persen terhadap B.1.1.7 dan 87,9 persen terhadap B.1.617.2. Sementara, untuk vaksin AstraZeneca sebesar 66,1 persen terhadap B.1.1.7 dan juga sedikit lebih rendah 59,8 persen terhadap B.1.617.2.
Lalu, ada pula penelitian berskala kecil yang menunjukkan penurunan dua kali dari kapasitas netralisasi terhadap varian B.1.617.1 sesudah 2 dosis vaksin SII – Covishield, dibandingkan dengan terhadap lineage B.1 secara umum. Ada juga penelitian skala kecil lain yang juga menunjukkan penurunan netralisasi terhadap B.1.617.1 pada vaksin Moderna- mRNA-1273 (hanya 15 sample) dan Pfizer BioNTech (hanya 10 sample). Juga ada data penurunan netralisasi juga terhadap varian B.1.617 pada vaksin Bharat – Covaxin, bila dibandingkan dengan varian VOC 202012/01 (B.1.1.7).
"Karena data-data masih awal maka WHO menyatakan bahwa bukti ilmiah dampak efikasi vaksin pada varian B.1.617.1, B.1.617.2 or B.1.617.3 memang masih amat terbatas. Artinya perlu ditunggu perkembangan hasil penelitian selanjutnya,"pungkas Mantan Direktur WHO SEARO tersebut.(mia/lyn/tau/jpg)