Minggu, 7 Juli 2024

Dulu Susah Makan, Kini Jadi Jutawan

Di era tahun 1980-an, sawit  di Riau belum menjadi primadona. Penyumbang devisa negara ini juga belum berkembang seperti sekarang. Kini, Provinsi Riau tercatat dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Jutaan masyarakat mengantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.

SIAK (RIAUPOS.CO) — ANGIN bertiup pelan, pertengahan Februari lalu. Laki-laki 65 tahun itu menarik selang dari gulungannya. Mesin pompa Robin RTG 200 dinyalakan. Selang berukuran 1/2 inci berdenyut. Awalnya pipih dan tak bergerak, menjadi melingkar dan hidup di tangannya. Selang sepanjang 100 meter memuntahkan air berwarna kuning kecoklatan. Menyembur. Permukaan tanah basah.

- Advertisement -

Dia melintas di sela-sela pohon sawit. Dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Selang air disemprotnya ke permukaan tanah melingkar di gawangan, sekitar dua meter dari pohon sawit. Laki-laki paruh baya itu, H Muhammad Handoko. Petani sawit di Kampung Sialang Palas, Kecamatan Lubuk Dalam, Kabupaten Siak.

Pagi menjelang siang itu, dibantu Jajang dan Daniel, Handoko menyiramkan pupuk organik cair (POC) di lahan perkebunan sawit miliknya seluas dua hektare itu.”Jang, tarik selangnya ke sini (pohon sawit, red),” ucap Handoko memberikan aba-aba kepada Jajang (40). Pekerjanya dari Jawa Barat ini langsung menarik selang ke arah Handoko.

Cucuran peluh yang ditimpa sinar matahari pagi itu membuat tubuhnya kian mengkilat. laki-laki berpeci haji ini menyekakan lengan baju ke dahinya. Perlahan,  ia terus menyusuri gawangan (jalan akses) di sela-sela kebunnya itu. Menyemprot urine sapi dari pohon ke pohon. Sesekali ia berhenti sejenak, bernaung di bawah pelepah sawit. Berjam-jam menyiram urine sapi membuat anggota tubuhnya pegal. Apalagi, luas lahan yang ditempuhnya, sangat menguras tenaga.

- Advertisement -

Sekitar pukul 12.00 WIB, sebagian lahan sawit sudah disemprot urine sapi. Ia sudah melewati hampir seratus pohon sawit. Memang tidak semua pohon hari itu bisa dituntaskannya. Sisanya dilakukan periode penyemprotan berikutnya

"Menyemprot lahan satu kapling (dua hektare, red) menghabiskan waktu hampir tiga hari. Menghabiskan 9.000 liter air kencing sapi," sebut suami Siti Nursiah ini.

Handoko menyudahi pekerjaanya. Ia bergegas beranjak pulang ke rumah. Dua anggotanya itu mengemasi peralatan kerja. Mesin pompa dimatikan, selang digulung dan diangkut ke dalam bak truk Cold Diesel Mitsubishi. Melaju pulang ke rumah.

H Muhammad Handoko adalah salah seorang kepala keluarga (KK) yang datang dari Pulau Jawa. Tiga puluh empat tahun lalu, keluarganya ikut program transmigrasi. Ia tergabung dalam 40 KK dari Jawa Timur yang diberangkatkan ke Riau.

"Kami dari Jawa Timur. Saya dari Tuban. Istri dari Mojokerto. Dulu, di kampung (Tuban, red) saya kerja jadi sopir," katanya kepada Riau Pos yang menemuinya, siang itu di rumahnya, Jalan Jati Kampung Sialang Palas, Lubuk Dalam.

Bapak lima anak ini menceritakan awal ikut transmigrasi ke Lubuk Dalam, setiap KK mendapatkan jatah lahan tiga hektare dari pemerintah. Rincinya, 2 hektare (1 kapling) untuk lahan garapan kebun sawit berukuran 20.000 meter per segi, 3/4 hektare lahan untuk bercocok tanam dan 1/4 hektare lahan rumah. Masing-masing KK juga mendapatkan jatah hidup berupa beras 10 kilogram selama 1,5 tahun.

Baca Juga:  Hadapi Gelombang Kedua Covid-19 dengan Mitigasi yang Tepat

"Boleh dikatakan waktu itu sangat berat. Makan saja susah. Beli ikan seadanya. Iris bawang merah dan sedikit cabai untuk lauk. Untuk mengurangi beban hidup, saat istri mengandung anak keempat, istri pulang dulu ke Jawa," katanya.

Himpitan ekonomi dan keterbatasan di lokasi transmigrasi menyebabkan hilangnya kesabaran warga transmigran. Sebagian besar lebih memilih kembali pulang ke kampung halaman masing-masing. Tinggal tersisa 15 KK yang masih memilih bertahan, termasuk keluarga Handoko.

"Dari satu kabupaten, hanya kami yang masih tersisa. Yang lain sudah pada pulang kampung. Bahkan ada yang belum menerima kebun sawit tapi sudah pulang duluan. Banyak cobaan. Lahan sawit juga diserang hama babi," tuturnya.

Ia menyakini pilihannya merantau ke Pulau Sumatera akan indah pada waktunya. Asisten mandor yang memberinya pekerjaan, juga selalu memotivasinya agar bersabar hingga perjuangan Handoko berbuah manis. Apalagi Handoko dinilai sebagai pekerja ulet dan bertanggung jawab. "Saya yakin tak mungkin pemerintah bodohi rakyatnya. Makanya sama istri, kami putuskan tidak akan pulang kampung," sebutnya.

Untuk menutupi biaya hidup bulanan, Handoko dan istrinya, Siti Nursiah (62) bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan inti. Mereka masing-masing menerima upah Rp1.500 per hari. Handoko, juga pernah mencoba bercocok tanam di ladang 1/4 hektare. Tanam cabai, kacang-kacangan, ubi kayu, nanas hingga jagung. Namun tanamannya tidak laku dijual. Malah banyak warga sekitar yang meminta hasil tanamannya dan ia berikan cuma-cuma.

"Kami beralih tanam pisang yang lebih laku dijual. Dahulu juga pernah buka jasa cas baterai. Istri buat es dan dijual anak pertama saya, Wakid ke sekolahnya," kata Handoko.

Handoko juga pernah menjadi buruh pelansir bibit akasia di perusahaan bubur kertas di Perawang. Ia juga melakoni pekerjaan menebang kayu di lahan perusahaan perkebunan sawit dengan upah Rp40 ribu per hektare. Masih tradisional menggunakan kapak. Selama tiga bulan, mereka berhasil membersihkan lahan 11 hektare.

"Ada kejadian menarik dan tak terlupakan. Saat saya saat tertidur pulas di pondok, ada harimau di bawah pondok. Kawan-kawan yang menginformasikan kepada saya setelah harimaunya pergi. Sejak kejadian itu awalnya kami lima pekerja, dua orang memilih pulang, takut mati diterkam harimau," kenangnya.

Perjuangan Handoko bertahun-tahun, tidaklah sia-sia. Perlahan ekonomi perantau bersuku Jawa ini bangkit dan bergeliat. Sekapling kebun sawit jatahnya dari PTPN II (kini PTPN V, red) mulai berbuah dan menghasilkan uang. Sebulan panen 200 kilogram. Sejalan, usaha sampingan ternak sapi yang dirintis keluarga ini juga mulai membuahkan hasil. Hasil berkebun sawit ditabung Handoko untuk membeli menambah dan memperluas areal garapan kebun sawit miliknya. Handoko juga memberanikan diri meminjam uang, bila ada petani yang menjual lahan kebun sawit. Perlahan luas sawitnya pun “beranak” dan berkembang.

Kini, setelah 34 tahun, luas lahan garapan sawitnya sudah 60 hektare (30 kapling). Sekapling kebun sawitnya bisa menghasilkan 1,5-2 ton per panen. Tonase buah tergantung perawatan (pupuk) dan musim. Bila tidak sedang musim trek (buah sedikit di pohon), dalam satu bulan bisa mencapai tiga kali panen. Bila harga TBS Rp1.500 per kilogram, berarti Handoko bisa meraih penghasilan kotor Rp100 jutaan per bulannya.

Baca Juga:  Tingkatkan Imunitas lewat Makanan Bergizi Seimbang

"Dahulu kebutuhan pupuk per tiga bulan sekitar Rp50 jutaan. Tapi sekarang sudah beralih pupuk urine dan kotoran sapi. Bisa lebih hemat 85 persen. Tinggal Rp15 juta untuk beli pupuk kimia," ucapnya.

Handoko bersyukur, rezekinya berlimpah sejak menjadi petani sawit. Dari hasil kebunnya bisa menafkahi keluarganya dan juga menyekolahkan kelima anaknya. "Alhamdulillah dari hasil sawit, kelima anak saya bersekolah semuanya. Dari lima anak, hanya satu yang tidak tamat S1 karena memang pilihannya ingin langsung bekerja. Anak pertama sekarang di Kalimantan Selatan, anak kedua laki-laki dan anak kelima perempuan tinggal sama kami di Lubuk Dalam. Anak ketiga perempuan tinggal di Jogjakarta dan anak keempat perempuan tinggal di Jatibarang. Masing-masing anak sudah kami belikan rumah dan mobil," ujarnya bangga.

Kisah sukses menjadi petani sawit, juga diceritakan Br Tarigan, 70 tahun. Akhir 2007 lalu, perantau asal Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara ini membeli lahan kosong seluas 14 hektare di Kecamatan Minas, Siak. "Lahan kosong waktu itu per hektare harganya masih Rp4 juta. Saya mengumpulkan uang tabungan, lalu saya beli lahan tersebut," katanya.

Hamparan tanah kuning dan berbukit itu diolahnya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Lahan dibersihkan menggunakan alat berat dengan upah Rp5 juta per hektare. Secara bertahap, lahan ditanam bibit sawit marihat berumur 1 tahun. Sebagian bibit dibelinya dari penangkar bibit sawit. Sisanya, bibit sawit yang dipelihara dari kecambah.

Awalnya, nenek bercucu 16 orang ini mengaku belum tertarik menjadi petani sawit. Dengan kondisi usianya yang sudah sepuh, ia khawatir tidak bisa merawat sawit secara maksimal. Bayangnya, bukan untung, nanti malah ujung-ujungnya. Namun kekhawatirannya itu perlahan bergeser. Ia sering mendengar langsung cerita dan pengalaman langsung dari saudara dan teman-temannya yang mendapat untung dari kebun kelapa sawit. Janda beranak enam ini akhirnya ikut terjun menjadi petani sawit.

"Harus banyak belajar, maklum baru terjun menjadi petani sawit. Belajar memilih bibit yang bagus, perawatan seperti pemupukan, pembersihan lahan sawit gulma, termasuk belajar bagaimana cara membasmi hama sawit. Saya dibantu pekerja dari Nias. Dulu pekerja dari Jawa," ucapnya.

Kebun sawitnya menghasilkan rata-rata 2 ton setiap panen per kapling. Dalam sebulan, dua kali panen, wanita kelahiran Kabanjahe, 31 Desember 1950 ini meraih pemasukan sekitar Rp35 juta hingga Rp45 juta. "Bahkan saat masa panen lagi bagus, sampai dapat Rp23 juta sekali panen. Uangnya saya tabung dan buat jalan-jalan. Sebagian lagi buat bayar jula-jula (arisan, red) Rp10 juta per bulan," ungkap warga Pekanbaru ini.

Keberhasilan wanita yang akrab disapa Mama Tigan ini, kini jejaknya diikuti anak-anaknya. Tiga dari enam anaknya juga sudah memiliki kebun sawit yang sudah berproduksi. Luasnya masing-masing 18 hektare, 12 hektare dan 6 hektare. Dia menargetkan semua anak dan menantunya bisa memiliki kebun sawit.

Di era tahun 1980-an, sawit  di Riau belum menjadi primadona. Penyumbang devisa negara ini juga belum berkembang seperti sekarang. Kini, Provinsi Riau tercatat dengan luas perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Jutaan masyarakat mengantungkan hidupnya dari perkebunan sawit.

SIAK (RIAUPOS.CO) — ANGIN bertiup pelan, pertengahan Februari lalu. Laki-laki 65 tahun itu menarik selang dari gulungannya. Mesin pompa Robin RTG 200 dinyalakan. Selang berukuran 1/2 inci berdenyut. Awalnya pipih dan tak bergerak, menjadi melingkar dan hidup di tangannya. Selang sepanjang 100 meter memuntahkan air berwarna kuning kecoklatan. Menyembur. Permukaan tanah basah.

Dia melintas di sela-sela pohon sawit. Dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Selang air disemprotnya ke permukaan tanah melingkar di gawangan, sekitar dua meter dari pohon sawit. Laki-laki paruh baya itu, H Muhammad Handoko. Petani sawit di Kampung Sialang Palas, Kecamatan Lubuk Dalam, Kabupaten Siak.

Pagi menjelang siang itu, dibantu Jajang dan Daniel, Handoko menyiramkan pupuk organik cair (POC) di lahan perkebunan sawit miliknya seluas dua hektare itu.”Jang, tarik selangnya ke sini (pohon sawit, red),” ucap Handoko memberikan aba-aba kepada Jajang (40). Pekerjanya dari Jawa Barat ini langsung menarik selang ke arah Handoko.

Cucuran peluh yang ditimpa sinar matahari pagi itu membuat tubuhnya kian mengkilat. laki-laki berpeci haji ini menyekakan lengan baju ke dahinya. Perlahan,  ia terus menyusuri gawangan (jalan akses) di sela-sela kebunnya itu. Menyemprot urine sapi dari pohon ke pohon. Sesekali ia berhenti sejenak, bernaung di bawah pelepah sawit. Berjam-jam menyiram urine sapi membuat anggota tubuhnya pegal. Apalagi, luas lahan yang ditempuhnya, sangat menguras tenaga.

Sekitar pukul 12.00 WIB, sebagian lahan sawit sudah disemprot urine sapi. Ia sudah melewati hampir seratus pohon sawit. Memang tidak semua pohon hari itu bisa dituntaskannya. Sisanya dilakukan periode penyemprotan berikutnya

"Menyemprot lahan satu kapling (dua hektare, red) menghabiskan waktu hampir tiga hari. Menghabiskan 9.000 liter air kencing sapi," sebut suami Siti Nursiah ini.

Handoko menyudahi pekerjaanya. Ia bergegas beranjak pulang ke rumah. Dua anggotanya itu mengemasi peralatan kerja. Mesin pompa dimatikan, selang digulung dan diangkut ke dalam bak truk Cold Diesel Mitsubishi. Melaju pulang ke rumah.

H Muhammad Handoko adalah salah seorang kepala keluarga (KK) yang datang dari Pulau Jawa. Tiga puluh empat tahun lalu, keluarganya ikut program transmigrasi. Ia tergabung dalam 40 KK dari Jawa Timur yang diberangkatkan ke Riau.

"Kami dari Jawa Timur. Saya dari Tuban. Istri dari Mojokerto. Dulu, di kampung (Tuban, red) saya kerja jadi sopir," katanya kepada Riau Pos yang menemuinya, siang itu di rumahnya, Jalan Jati Kampung Sialang Palas, Lubuk Dalam.

Bapak lima anak ini menceritakan awal ikut transmigrasi ke Lubuk Dalam, setiap KK mendapatkan jatah lahan tiga hektare dari pemerintah. Rincinya, 2 hektare (1 kapling) untuk lahan garapan kebun sawit berukuran 20.000 meter per segi, 3/4 hektare lahan untuk bercocok tanam dan 1/4 hektare lahan rumah. Masing-masing KK juga mendapatkan jatah hidup berupa beras 10 kilogram selama 1,5 tahun.

Baca Juga:  Tingkatkan Imunitas lewat Makanan Bergizi Seimbang

"Boleh dikatakan waktu itu sangat berat. Makan saja susah. Beli ikan seadanya. Iris bawang merah dan sedikit cabai untuk lauk. Untuk mengurangi beban hidup, saat istri mengandung anak keempat, istri pulang dulu ke Jawa," katanya.

Himpitan ekonomi dan keterbatasan di lokasi transmigrasi menyebabkan hilangnya kesabaran warga transmigran. Sebagian besar lebih memilih kembali pulang ke kampung halaman masing-masing. Tinggal tersisa 15 KK yang masih memilih bertahan, termasuk keluarga Handoko.

"Dari satu kabupaten, hanya kami yang masih tersisa. Yang lain sudah pada pulang kampung. Bahkan ada yang belum menerima kebun sawit tapi sudah pulang duluan. Banyak cobaan. Lahan sawit juga diserang hama babi," tuturnya.

Ia menyakini pilihannya merantau ke Pulau Sumatera akan indah pada waktunya. Asisten mandor yang memberinya pekerjaan, juga selalu memotivasinya agar bersabar hingga perjuangan Handoko berbuah manis. Apalagi Handoko dinilai sebagai pekerja ulet dan bertanggung jawab. "Saya yakin tak mungkin pemerintah bodohi rakyatnya. Makanya sama istri, kami putuskan tidak akan pulang kampung," sebutnya.

Untuk menutupi biaya hidup bulanan, Handoko dan istrinya, Siti Nursiah (62) bekerja sebagai buruh harian lepas di perkebunan inti. Mereka masing-masing menerima upah Rp1.500 per hari. Handoko, juga pernah mencoba bercocok tanam di ladang 1/4 hektare. Tanam cabai, kacang-kacangan, ubi kayu, nanas hingga jagung. Namun tanamannya tidak laku dijual. Malah banyak warga sekitar yang meminta hasil tanamannya dan ia berikan cuma-cuma.

"Kami beralih tanam pisang yang lebih laku dijual. Dahulu juga pernah buka jasa cas baterai. Istri buat es dan dijual anak pertama saya, Wakid ke sekolahnya," kata Handoko.

Handoko juga pernah menjadi buruh pelansir bibit akasia di perusahaan bubur kertas di Perawang. Ia juga melakoni pekerjaan menebang kayu di lahan perusahaan perkebunan sawit dengan upah Rp40 ribu per hektare. Masih tradisional menggunakan kapak. Selama tiga bulan, mereka berhasil membersihkan lahan 11 hektare.

"Ada kejadian menarik dan tak terlupakan. Saat saya saat tertidur pulas di pondok, ada harimau di bawah pondok. Kawan-kawan yang menginformasikan kepada saya setelah harimaunya pergi. Sejak kejadian itu awalnya kami lima pekerja, dua orang memilih pulang, takut mati diterkam harimau," kenangnya.

Perjuangan Handoko bertahun-tahun, tidaklah sia-sia. Perlahan ekonomi perantau bersuku Jawa ini bangkit dan bergeliat. Sekapling kebun sawit jatahnya dari PTPN II (kini PTPN V, red) mulai berbuah dan menghasilkan uang. Sebulan panen 200 kilogram. Sejalan, usaha sampingan ternak sapi yang dirintis keluarga ini juga mulai membuahkan hasil. Hasil berkebun sawit ditabung Handoko untuk membeli menambah dan memperluas areal garapan kebun sawit miliknya. Handoko juga memberanikan diri meminjam uang, bila ada petani yang menjual lahan kebun sawit. Perlahan luas sawitnya pun “beranak” dan berkembang.

Kini, setelah 34 tahun, luas lahan garapan sawitnya sudah 60 hektare (30 kapling). Sekapling kebun sawitnya bisa menghasilkan 1,5-2 ton per panen. Tonase buah tergantung perawatan (pupuk) dan musim. Bila tidak sedang musim trek (buah sedikit di pohon), dalam satu bulan bisa mencapai tiga kali panen. Bila harga TBS Rp1.500 per kilogram, berarti Handoko bisa meraih penghasilan kotor Rp100 jutaan per bulannya.

Baca Juga:  PLN Buka Informasi Perkiraan Kompensasi Blackout

"Dahulu kebutuhan pupuk per tiga bulan sekitar Rp50 jutaan. Tapi sekarang sudah beralih pupuk urine dan kotoran sapi. Bisa lebih hemat 85 persen. Tinggal Rp15 juta untuk beli pupuk kimia," ucapnya.

Handoko bersyukur, rezekinya berlimpah sejak menjadi petani sawit. Dari hasil kebunnya bisa menafkahi keluarganya dan juga menyekolahkan kelima anaknya. "Alhamdulillah dari hasil sawit, kelima anak saya bersekolah semuanya. Dari lima anak, hanya satu yang tidak tamat S1 karena memang pilihannya ingin langsung bekerja. Anak pertama sekarang di Kalimantan Selatan, anak kedua laki-laki dan anak kelima perempuan tinggal sama kami di Lubuk Dalam. Anak ketiga perempuan tinggal di Jogjakarta dan anak keempat perempuan tinggal di Jatibarang. Masing-masing anak sudah kami belikan rumah dan mobil," ujarnya bangga.

Kisah sukses menjadi petani sawit, juga diceritakan Br Tarigan, 70 tahun. Akhir 2007 lalu, perantau asal Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara ini membeli lahan kosong seluas 14 hektare di Kecamatan Minas, Siak. "Lahan kosong waktu itu per hektare harganya masih Rp4 juta. Saya mengumpulkan uang tabungan, lalu saya beli lahan tersebut," katanya.

Hamparan tanah kuning dan berbukit itu diolahnya menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Lahan dibersihkan menggunakan alat berat dengan upah Rp5 juta per hektare. Secara bertahap, lahan ditanam bibit sawit marihat berumur 1 tahun. Sebagian bibit dibelinya dari penangkar bibit sawit. Sisanya, bibit sawit yang dipelihara dari kecambah.

Awalnya, nenek bercucu 16 orang ini mengaku belum tertarik menjadi petani sawit. Dengan kondisi usianya yang sudah sepuh, ia khawatir tidak bisa merawat sawit secara maksimal. Bayangnya, bukan untung, nanti malah ujung-ujungnya. Namun kekhawatirannya itu perlahan bergeser. Ia sering mendengar langsung cerita dan pengalaman langsung dari saudara dan teman-temannya yang mendapat untung dari kebun kelapa sawit. Janda beranak enam ini akhirnya ikut terjun menjadi petani sawit.

"Harus banyak belajar, maklum baru terjun menjadi petani sawit. Belajar memilih bibit yang bagus, perawatan seperti pemupukan, pembersihan lahan sawit gulma, termasuk belajar bagaimana cara membasmi hama sawit. Saya dibantu pekerja dari Nias. Dulu pekerja dari Jawa," ucapnya.

Kebun sawitnya menghasilkan rata-rata 2 ton setiap panen per kapling. Dalam sebulan, dua kali panen, wanita kelahiran Kabanjahe, 31 Desember 1950 ini meraih pemasukan sekitar Rp35 juta hingga Rp45 juta. "Bahkan saat masa panen lagi bagus, sampai dapat Rp23 juta sekali panen. Uangnya saya tabung dan buat jalan-jalan. Sebagian lagi buat bayar jula-jula (arisan, red) Rp10 juta per bulan," ungkap warga Pekanbaru ini.

Keberhasilan wanita yang akrab disapa Mama Tigan ini, kini jejaknya diikuti anak-anaknya. Tiga dari enam anaknya juga sudah memiliki kebun sawit yang sudah berproduksi. Luasnya masing-masing 18 hektare, 12 hektare dan 6 hektare. Dia menargetkan semua anak dan menantunya bisa memiliki kebun sawit.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari