Oleh: Raja Saleh
DUNIA sedang berduka. Panik. Penyakit menular yang konon berasal dari negeri tirai bambu itu kini sudah merambah ke 145 negara di dunia. Sudah merenggut ribuan nyawa. Telinga kita sudah sangat akrab dengan virus itu, virus corona, atau disebut juga Covid-19. Virus ini awalnya berasal dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, dan akhirnya menyebar ke hampir seluruh penjuru dunia. Tak ayal, dunia pun heboh. Televisi dan media sosial pun penuh oleh berita Covid-19.
Tidak hanya menyerang negara-negara maju, Indonesia sebagai negara berkembang pun tidak luput dari serangan virus ini. Pada saat artikel ini ditulis, di Indonesia sudah tercatat 227 orang terinfeksi dan 19 orang meninggal dunia. Korban paling banyak adalah 12 orang di ibu kota. Selebihnya tersebar di berbagai kabupaten/kota, di antaranya Banten, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara masing-masing satu orang meninggal, dan Jawa Tengah dua orang meninggal dunia, di Riau pun juga sudah ada yang dinyatakan positif corona. Tidak ada ada yang tahu, kapan wabah ini akan mereda.
Sebagai langkah preventif, pemerintah Indonesia telah meliburkan sekolah dan kampus-kampus. Sebagian pegawai pun sudah memilih bekerja di rumah sesuai dengan kebijakan kepala daerah masing-masing. Aktivitas seolah lumpuh, jalanan lengang, dan sebagian orang hanya memilih di rumah.
Artikel ini tidak akan berbicara panjang lebar soal kepanikan dunia tersebab Covid-19 ini. Ada satu hal yang menggelitik hati ingin membahas, yaitu terkait dengan istilah social distancing yang lahir dari kasus Covid-19. Keinginan menulis artikel ini pun muncul setelah membaca status facebook tentang social distancing. Obing Katubi, seorang peneliti senior LIPI, menulis status yang intinya mempertanyakan penggunaan istilah social distancing. Menurut Obing, lebih tepat menggunakan istilah physical distancing. Alasannya adalah yang perlu dibatasi itu bukanlah jarak sosial atau pembatasan sosial yang memiliki implikasi renggangnya hubungan antarpribadi secara sosial, tetapi jarak fisik antarindividu ketika berinteraksi.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Center for Disease Control (CDC), Departemen Kesehatan dan Layanan Masyarakat Amerika Serikat, menjelaskan bahwa social distancing adalah menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak antarmanusia. Sementara itu physical distancing adalah mengurangi atau membatasi kontak fisik. Seorang pakar keperawatan kesehatan masyarakat dari UI, Agus Setiawan, pun sependapat dengan Obing. Agus mengatakan bahwa social distancing kurang tepat, sebab yang seharusnya dibatasi adalah kontak fisik, bukan interaksi sosial. Barangkali, dua orang dengan kepakaran yang berbeda tersebut sudah cukup meyakinkan bahwa istilah yang lebih pas digunakan untuk kasus ini adalah physical distancing.
Para ahli mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia sangat membutuhkan interaksi antarsesamanya. Tidak akan ada satu pun manusia yang dapat hidup tanpa adanya manusia lain. Dari pendapat itu, dapat diartikan bahwa manusia sampai kapan pun akan membutuhkan manusia lain untuk dapat bertahan hidup.
Diketahui bahwa perkembangan teknologi telah banyak mengubah bentuk interaksi antarmanusia. Bahkan, generasi milenial yang sangat akrab dengan teknologi tersebut sering dikatakan sudah luntur jiwa sosialnya. Pendapat ini tentu masih berpeluang untuk dibahas, karena sesungguhnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini merupakan bentuk modern hubungan sosial antarmanusia.
Melalui media sosial, dua orang yang secara jarak berjauhan bisa berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Sekelompok orang yang tergabung dalam suatu komunitas bisa berkomunikasi, bercanda, atau berdiskusi secara bersama-sama walaupun tidak berada di tempat yang sama. Dengan ketersediaan teknologi saat ini, justru sangat memudahkan manusia untuk berkomunikasi atau berinterkasi. Bahkan, melalui berbagai aplikasi, rapat kantor, belajar secara daring, dan bentuk interaksi lainnya sudah sangat sering dilakukan. Artinya, secara sosial manusia tidak akan pernah dan tidak perlu dibatasi. Manusia akan tetap menjadi makhluk sosial.
Kembali ke isitilah social distancing dan physical distancing. Masalahnya dari segi kebahasaan, kedua istilah tersebut, baik social distancing maupun physical distancing sama-sama menggunakan istilah asing (bahasa Inggris). Sudah barang tentu tidak akan semua orang serta merta paham dengan istilah itu jika menggunakan bahasa asing. Padahal, istilah itu sangat penting disampaikan kepada masyarakat dalam kondisi saat ini. Jika masyarakat tidak paham, tentu instruksi itu tidak akan diindahkan, dan masyarakat tetap cuek terhadap imbauan pemerintah.
Melalui artikel ini, penulis ingin menyarankan untuk menggunakan istilah dalam bahasa Indonesia. Apalagi jika istilah itu digunakan dalam surat atau imbauan resmi dari pemerintah dalam hal ini kepala daerah. Misalnya, batasi/kurangi kontak fisik atau gunakan istilah lain yang lebih mudah dipahami orang banyak.
Undang-undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta lagu kebangsaan pasal 27 mengamanatkan bahwa bahasa Indonesia wajib dalam dokumen resmi negara. Kemudian pada pasal 28 juga dikatakan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. Dan banyak lagi pasal-pasal lain tentang kewajiban penggunaan bahasa Indonesia.
Sebagai penutup, mungkin hari ini bukan saatnya mendebatkan soal penggunaan istilah itu. Jauh lebih penting adalah agar pemerintah harus terus berupaya untuk menyelamatkan warga negaranya dari ancaman virus yang sangat menakutkan ini. Masyarakat harus terus diingatkan dan diimbau untuk tidak terlalu banyak melakukan kontak fisik dengan siapa pun. Akan tetapi, interaksi sosial, kegiatan-kegiatan sosial harus tetap berjalan meski tidak harus bersua, karena hakikat manusia adalah makhluk sosial. Semoga wabah ini cepat berlalu, anak-anak dapat sekolah lagi, dan beribadah ke masjid tanpa ada perasaan takut. Aamiin…***
*Peneliti di Balai Bahasa Riau