Jumat, 20 September 2024

Tak Hanya Komnas HAM, LPSK Ikut Kirim Tim ke Langkat

JAKARTA  (RIAUPOS.CO) – Komisi Nasional Hak Asas Manusia (Komnas HAM) memastikan bakal mendalami laporan Migrant Care. Mereka sudah menyiapkan tim untuk berangkat ke Langkat, Sumatera Utara. Koordinator Bidang Dukungan Pemantauan dan Penyelidikan Enang Sri Melani, tim dari Komnas HAM akan bergerak cepat menindaklanjuti laporan tersebut.

Saat diwawancarai oleh Jawa Pos (JPG) kemarin (25/1) Melani menyatakan bahwa pihaknya akan bertolak ke Langkat pekan ini. "Kami sudah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendalami informasi awal yang sudah kami peroleh," terang dia. Aspek-aspek yang akan dicek, lanjut dia, bergantung hasil koordinasi yang sudah dilaksanakan oleh instansinya.

Yang pasti, Komnas HAM akan melakukan identifikasi. Kemudian meminta keterangan dari pihak-pihak terkait dan merencanakan penyelidikan. Semua itu dilakukan berlandas laporan dari Migrant Care. Mereka menarget, tugas-tugas tersebut selesai dalam waktu satu pekan. "Tergantung situasi di lapangan. Kisarannya empat sampai enam hari atau lebih," jelas dia.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan, dari laporan itu pula pihaknya memutuskan untuk mengirim tim ke Langkat. Dia menegaskan, pihaknya harus bergerak cepat. "Kalau ada dugaan terjadi penyiksaan. Terlambat sedikit kami, akan semakin meruntuhkan kemanusiaannya," terang dia. Komnas HAM tidak ingin terlambat bertindak.

- Advertisement -

Untuk itu, Komnas HAM menindaklanjuti aduan Migrant Care menggunakan skema urgent response. Di antara banyak hal yang bakal diperdalam oleh Komnas HAM, Anam menyebutkan bahwa pihaknya bakal mencari tahu alasan pembangunan kerangkeng atau penjara di rumah bupati Langkat nonaktif. "Kalau memang ditemukan ada kasus penyiksaan, ditemukan ada perdagangan orang, ya tentu saja kasus ini berbeda dengan kasus korupsinya," terang Anam.

Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin memang tengah diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang bersangkutan ditangkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT). Meski temuan kerangkeng atau penjara di rumah Terbit berawal dari OTT, Anam menegaskan bahwa penanganan kasusnya berbeda. Terpisah antara satu dengan lainnya.

- Advertisement -

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut buka suara atas temuan kerangkeng atau penjara tersebut. Serupa dengan Komnas HAM, mereka akan mengirimkan tim ke Langkat. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengungkapkan, secara resmi LPSK memang belum menerima tentang laporan faktual tentang temuan itu. Namun demikian, mereka sudah melihat ada indikasi pelanggaran.

Baca Juga:  WHO: Anak Muda yang Bersenang-senang Sebabkan Lonjakan Covid-19

Sebab, laporan dari Migrant Care menyebut terjadi praktik kerja paksa. Tidak sampai di situ, mereka juga melihat ada dugaan para pekerja tersebut dikerangkeng. "Apapun motivasinya, itu bentuk penyekapan. Itu yang kami duga sementara," jelas Hasto. Menurut dia, informasi tersebut sudah cukup menjadi dasar bagi LPSK untuk melakukan pendalaman.

Menurut Hasto, perlu dipastikan lebih lanjut alasan di balik kehadiran kerangkeng di rumah bupati Langkat nonaktif. Kemudian harus diungkap pula alasan ada orang-orang yang ditempatkan di dalam kerangkeng tersebut. "Itu harus diinvestigasi," tegasnya. Dia memastikan pihaknya akan memberi ruang kepada orang-orang di dalam kerangkeng itu untuk berbicara.

Kesempatan serupa juga akan diberikan LPSK kepada keluarga mereka. Bila dugaan telah terjadi perbudakan modern di lokasi tersebut, Hasto menambahkan, negara harus hadir melindungi para korban. "Kalau ada korban atau keluarga korban yang merasa perlu untuk mendapatkan perlindungan ke LPSK, kami terbuka, silakan informasi diberikan kepada kami," jelasnya.

Kisah kerangkeng manusia di rumah pribadi Bupati Langkat (nonaktif) Terbit Rencana Perangin Angin sekilas mirip cerita film 7 Prisoners. Dalam film yang menyorot perbudakan modern di Brazil itu, tokoh Mateus dkk dipaksa bekerja tanpa gaji yang layak. Dan tinggal dalam ruangan terkunci persis penjara. Hak-hak mereka sebagai pekerja tak dipenuhi.

Pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia (HAM) Asfinawati mengatakan perbudakan semacam itu termasuk kejahatan serius (serious crime) dalam hukum internasional. Kejahatan itu menjadi lebih serius seiring perkara korupsi yang menjerat Terbit saat ini. "Korupsi umum digunakan untuk menutupi kejahatan yang lain, salah satunya perbudakan atau perdagangan orang," ujarnya.

Mantan ketua umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu menilai kejahatan ganda serius yang diduga dilakukan bupati Langkat harus diusut tuntas. Sebab, kejahatan semacam itu mestinya sudah tidak ada lagi di era sekarang. "Dalam kasus ini menunjukkan jika bupati punya watak jahat yang serakah," terangnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menyayangkan sikap institusi negara di Langkat, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), yang seolah mendukung praktik penjara budak yang sudah berlangsung sejak lama tersebut. "Padahal jelas bahwa bupati tidak memiliki otoritas melakukan rehabilitasi pengguna narkotika," ujarnya.

Baca Juga:  Terjerat Seling, Harimau Sumatera Membusuk di Areal Hutan Produksi

Fatia juga menyoroti kinerja kepolisian yang selama bertahun-tahun terkesan tutup mata melihat kondisi perbudakan tersebut. Padahal, locus atau tempat perbudakan berada di rumah bupati yang relatif mudah diakses oleh aparat keamanan. "Apalagi sudah jelas ada dugaan tindakan penyiksaan yang dialami para pekerja," paparnya.

Sementara Mabes Polri turut menurunkan tim untuk bergabung dengan Polda Sumut dalam kasus dugaan perbudakan Bupati Langkat. Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadan menuturkan, berdasarkan hasil penyelidikan awal, belum ditemukan adanya dugaan perbudakan. "Namun, penyelidikan masih berlangsung," tuturnya.

Penyidik belum bisa memberikan kesimpulan terkait proses kasus tersebut. Karena itu dalam perjalanannya akan dilihat bagaimana kasus tersebut. "TIdak bisa cepat-cepat memberikan kesimpulan," ungkapnya.

Saat ini petugas menemukan fakta bahwa kerangkeng tersebut didirikan atas inisiatif dari Bupati Langkat sejak 2012. Namun, pembangunan kerangkeng tersebut dilakukan secara ilegal, tanpa adanya izin. "Tujuan mendirikannya untuk rehabilitas pecandu narkotika dan pembinaan remaja nakal," paparnya.

Jumlah warga binaan yang berada di kerangkeng milik bupati itu ada 48 orang. Semua warga binaan itu diklaim diserahkan sendiri oleh keluarga masing-masing. "Untuk dibina bahkan menyertakan surat pernyataan," jelasnya.

Warga binaan tersebut memang sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik bupati. Mereka dipekerjakan dengan tujuan agar memiliki kemampuan dan keahlian setelah nanti keluar dari tempat pembinaan. "Memang tidak diberikan upah seperti biasa, tapi diberikan makan," urainya.

Menurutnya, dari 48 warga binaan tersebut hanya tinggal 30 orang. Yang paling baru sekarang semua warga binaan telah diserahkan kembali ke keluarganya. "Polri menawarkan tempat pembinaan resmi di rehabilitas BNN," jelasnya.

Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri menerangkan kerangkeng manusia itu memang diungkap oleh tim penindakan KPK saat operasi tangkap tangan (OTT) bupati Langkat pekan lalu. Dalam OTT tersebut, pihaknya sempat mendokumentasikan penjara budak itu. "Kemudian kami koordinasikan dan komunikasikan dengan Polda (Sumut, red)," jelasnya.

Ali menyatakan pihaknya siap bekerjasama mengusut dugaan perbudakan itu. Setidaknya memfasilitasi Polri dan Komnas HAM dalam meminta keterangan bupati Langkat yang tengah ditahan KPK saat ini. KPK juga siap memberikan data yang dimiliki yang berkaitan dengan perbudakan tersebut. (syn/tyo/idr/far/mia/jpg)

JAKARTA  (RIAUPOS.CO) – Komisi Nasional Hak Asas Manusia (Komnas HAM) memastikan bakal mendalami laporan Migrant Care. Mereka sudah menyiapkan tim untuk berangkat ke Langkat, Sumatera Utara. Koordinator Bidang Dukungan Pemantauan dan Penyelidikan Enang Sri Melani, tim dari Komnas HAM akan bergerak cepat menindaklanjuti laporan tersebut.

Saat diwawancarai oleh Jawa Pos (JPG) kemarin (25/1) Melani menyatakan bahwa pihaknya akan bertolak ke Langkat pekan ini. "Kami sudah berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendalami informasi awal yang sudah kami peroleh," terang dia. Aspek-aspek yang akan dicek, lanjut dia, bergantung hasil koordinasi yang sudah dilaksanakan oleh instansinya.

Yang pasti, Komnas HAM akan melakukan identifikasi. Kemudian meminta keterangan dari pihak-pihak terkait dan merencanakan penyelidikan. Semua itu dilakukan berlandas laporan dari Migrant Care. Mereka menarget, tugas-tugas tersebut selesai dalam waktu satu pekan. "Tergantung situasi di lapangan. Kisarannya empat sampai enam hari atau lebih," jelas dia.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menjelaskan, dari laporan itu pula pihaknya memutuskan untuk mengirim tim ke Langkat. Dia menegaskan, pihaknya harus bergerak cepat. "Kalau ada dugaan terjadi penyiksaan. Terlambat sedikit kami, akan semakin meruntuhkan kemanusiaannya," terang dia. Komnas HAM tidak ingin terlambat bertindak.

Untuk itu, Komnas HAM menindaklanjuti aduan Migrant Care menggunakan skema urgent response. Di antara banyak hal yang bakal diperdalam oleh Komnas HAM, Anam menyebutkan bahwa pihaknya bakal mencari tahu alasan pembangunan kerangkeng atau penjara di rumah bupati Langkat nonaktif. "Kalau memang ditemukan ada kasus penyiksaan, ditemukan ada perdagangan orang, ya tentu saja kasus ini berbeda dengan kasus korupsinya," terang Anam.

Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin memang tengah diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yang bersangkutan ditangkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT). Meski temuan kerangkeng atau penjara di rumah Terbit berawal dari OTT, Anam menegaskan bahwa penanganan kasusnya berbeda. Terpisah antara satu dengan lainnya.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut buka suara atas temuan kerangkeng atau penjara tersebut. Serupa dengan Komnas HAM, mereka akan mengirimkan tim ke Langkat. Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengungkapkan, secara resmi LPSK memang belum menerima tentang laporan faktual tentang temuan itu. Namun demikian, mereka sudah melihat ada indikasi pelanggaran.

Baca Juga:  Banyak Lulusan LPTK Menganggur atau Menjadi Guru Honorer

Sebab, laporan dari Migrant Care menyebut terjadi praktik kerja paksa. Tidak sampai di situ, mereka juga melihat ada dugaan para pekerja tersebut dikerangkeng. "Apapun motivasinya, itu bentuk penyekapan. Itu yang kami duga sementara," jelas Hasto. Menurut dia, informasi tersebut sudah cukup menjadi dasar bagi LPSK untuk melakukan pendalaman.

Menurut Hasto, perlu dipastikan lebih lanjut alasan di balik kehadiran kerangkeng di rumah bupati Langkat nonaktif. Kemudian harus diungkap pula alasan ada orang-orang yang ditempatkan di dalam kerangkeng tersebut. "Itu harus diinvestigasi," tegasnya. Dia memastikan pihaknya akan memberi ruang kepada orang-orang di dalam kerangkeng itu untuk berbicara.

Kesempatan serupa juga akan diberikan LPSK kepada keluarga mereka. Bila dugaan telah terjadi perbudakan modern di lokasi tersebut, Hasto menambahkan, negara harus hadir melindungi para korban. "Kalau ada korban atau keluarga korban yang merasa perlu untuk mendapatkan perlindungan ke LPSK, kami terbuka, silakan informasi diberikan kepada kami," jelasnya.

Kisah kerangkeng manusia di rumah pribadi Bupati Langkat (nonaktif) Terbit Rencana Perangin Angin sekilas mirip cerita film 7 Prisoners. Dalam film yang menyorot perbudakan modern di Brazil itu, tokoh Mateus dkk dipaksa bekerja tanpa gaji yang layak. Dan tinggal dalam ruangan terkunci persis penjara. Hak-hak mereka sebagai pekerja tak dipenuhi.

Pegiat antikorupsi dan hak asasi manusia (HAM) Asfinawati mengatakan perbudakan semacam itu termasuk kejahatan serius (serious crime) dalam hukum internasional. Kejahatan itu menjadi lebih serius seiring perkara korupsi yang menjerat Terbit saat ini. "Korupsi umum digunakan untuk menutupi kejahatan yang lain, salah satunya perbudakan atau perdagangan orang," ujarnya.

Mantan ketua umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu menilai kejahatan ganda serius yang diduga dilakukan bupati Langkat harus diusut tuntas. Sebab, kejahatan semacam itu mestinya sudah tidak ada lagi di era sekarang. "Dalam kasus ini menunjukkan jika bupati punya watak jahat yang serakah," terangnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti menyayangkan sikap institusi negara di Langkat, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), yang seolah mendukung praktik penjara budak yang sudah berlangsung sejak lama tersebut. "Padahal jelas bahwa bupati tidak memiliki otoritas melakukan rehabilitasi pengguna narkotika," ujarnya.

Baca Juga:  Bersama Wujudkan Visi Misi Rohul Maju

Fatia juga menyoroti kinerja kepolisian yang selama bertahun-tahun terkesan tutup mata melihat kondisi perbudakan tersebut. Padahal, locus atau tempat perbudakan berada di rumah bupati yang relatif mudah diakses oleh aparat keamanan. "Apalagi sudah jelas ada dugaan tindakan penyiksaan yang dialami para pekerja," paparnya.

Sementara Mabes Polri turut menurunkan tim untuk bergabung dengan Polda Sumut dalam kasus dugaan perbudakan Bupati Langkat. Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Ahmad Ramadan menuturkan, berdasarkan hasil penyelidikan awal, belum ditemukan adanya dugaan perbudakan. "Namun, penyelidikan masih berlangsung," tuturnya.

Penyidik belum bisa memberikan kesimpulan terkait proses kasus tersebut. Karena itu dalam perjalanannya akan dilihat bagaimana kasus tersebut. "TIdak bisa cepat-cepat memberikan kesimpulan," ungkapnya.

Saat ini petugas menemukan fakta bahwa kerangkeng tersebut didirikan atas inisiatif dari Bupati Langkat sejak 2012. Namun, pembangunan kerangkeng tersebut dilakukan secara ilegal, tanpa adanya izin. "Tujuan mendirikannya untuk rehabilitas pecandu narkotika dan pembinaan remaja nakal," paparnya.

Jumlah warga binaan yang berada di kerangkeng milik bupati itu ada 48 orang. Semua warga binaan itu diklaim diserahkan sendiri oleh keluarga masing-masing. "Untuk dibina bahkan menyertakan surat pernyataan," jelasnya.

Warga binaan tersebut memang sebagian dipekerjakan di pabrik kelapa sawit milik bupati. Mereka dipekerjakan dengan tujuan agar memiliki kemampuan dan keahlian setelah nanti keluar dari tempat pembinaan. "Memang tidak diberikan upah seperti biasa, tapi diberikan makan," urainya.

Menurutnya, dari 48 warga binaan tersebut hanya tinggal 30 orang. Yang paling baru sekarang semua warga binaan telah diserahkan kembali ke keluarganya. "Polri menawarkan tempat pembinaan resmi di rehabilitas BNN," jelasnya.

Sementara itu, Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri menerangkan kerangkeng manusia itu memang diungkap oleh tim penindakan KPK saat operasi tangkap tangan (OTT) bupati Langkat pekan lalu. Dalam OTT tersebut, pihaknya sempat mendokumentasikan penjara budak itu. "Kemudian kami koordinasikan dan komunikasikan dengan Polda (Sumut, red)," jelasnya.

Ali menyatakan pihaknya siap bekerjasama mengusut dugaan perbudakan itu. Setidaknya memfasilitasi Polri dan Komnas HAM dalam meminta keterangan bupati Langkat yang tengah ditahan KPK saat ini. KPK juga siap memberikan data yang dimiliki yang berkaitan dengan perbudakan tersebut. (syn/tyo/idr/far/mia/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari