Perjalanan ke Sabu Timur untuk melihat beberapa fasilitas yang dibangun, seperti perusahaan air minum dan tempat-tempat penting lainnya akhirnya gagal karena mobil mogok. Sebuah perjuangan yang berakhir kurang manis.
Oleh Hary B Koriun
KITA sering tidak tahu mau ke mana melangkah. Atau, sampai di mana perjalanan kita, sebelum kita benar-benar tersadar bahwa kita ada di suatu tempat pada suatu waktu. Kadang kita ingin ke suatu tempat yang kita ingin dan impikan, tetapi sering harapan itu hanyalah sebuah angan. Perjalanan hari ini contohnya.
Setelah berusaha beberapa kali, Bang Brother akhirnya bisa membuat mobil hidup dan berjalan. Tentu, Sabtu Timur akan menjadi tujuan akhir. Meskipun panas memanggang jalan, tetapi itu sudah menjadi hal yang biasa di pulau ini. Bahkan di tengah rasa lapar karena menjalani ibadah puasa Ramadan, kondisi itu tak berpengaruh besar. Rasa lapar bisa dilawan, tetapi sampai ke suatu tempat yang kemungkinan besar akan sulit diulangi lagi bisa ke sana nantinya, adalah sebuah harapan yang harus ditunaikan.
Namun…
Setelah melewati jembatan di Jembatan Elkedu, Desa Jiwuwu, masih Kecamatan Sabu Tengah, tiba-tiba laju kendaraan tersendat. Semakin diinjak gasnya, semakin menyendat. Lalu, tiba-tiba mesinnya mati. Tepat di pendakian dari jembatan. Dari awal tadi saya sudah curiga, ada yang tak beres dengan mesin mobil ini. Bang Brother mengatakan kemungkinan minyaknya kotor. Saya curiga akinya bermasalah. Atau sistem perapian di busi. Lalu dia berusaha membuka bangku, mencari posisi mesin. Tak ada yang bisa dilakukan karena tak bawa kunci apa pun.
Lalu sebuah mobil dobel kabin merek Strada lewat. Si abang yang membawa mobil turun dan berusaha membantu. Dia kenal dengan Bang Brother. Inilah hebatnya Bang Brother. Di mana pun dia berada, ada saja orang yang dikenalnya, meskipun jauh dari Seba (tempat tinggalnya) atau Minea (kantor tempat dia bekerja di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sabu Raijua).
Ternyata si abang ini bekerja di Manggala Agni, Kementerian Lingkungan dan Kehutanan. Itu juga terlihat dari logo dan tulisan “Manggala Agni” di dinding kedua pintu depannya. Mobilnya penuh dengan muatan.
“Susah juga. Beta juga tidak membawa kunci…” katanya kemudian setelah mengecek bagian busi di bawah jok kiri. “Kemungkinan tangkinya kotor…” katanya lagi.
Dia bilang, biasanya kalau tangki kotor –otomatis minyaknya juga kotor— mesin masih masih bisa hidup. Harus menunggu beberapa lama. Sambil minta maaf, dia kemudian pergi melanjutkan perjalanan ke Sabu Timur. Tinggalah kami berdua di jalan berdebu, di bawah panas terik yang memanggang.
“Kayaknya kita tak bisa ke Sabu Timur hari ini…” kata Bang Brother kemudian.
“Iya, Bang. Jika pun mobil ini bisa hidup lagi, saya juga tak mau ambil risiko,” jawab saya.
Kami kemudian berjalan ke arah sebuah rumah kosong. Berteduh di berandanya sambil menunggu mesin agak dingin. Tadi Bang Brother juga menelpon kawannya yang bekerja di sebuah bengkel mobil di Seba. Katanya, tunggu mesinnya dingin dulu, baru dihidupkan lagi. Setelah sekitar 10 menit kami berteduh, dia mencoba menghidupkan mesin mobil. Dan, syukurlah, akhirnya mobil itu hidup. Kami kemudian putar arah, kembali ke Minea.