Virus korona alias 2019-novel coronavirus (2019-nCoV) diduga berasal dari kelelawar atau ular. Itu seperti terjadi di pasar ikan Wuhan, pusat persebaran virus tersebut di China. Namun, sejumlah pedagang, khususnya yang menjual olahan daging kelelawar, di Indonesia belum mengetahui virus yang mematikan tersebut.
Laporan: JPG, Jogjakarta
Di Pasar Beringharjo, Jogjakarta, misalnya. Wagiyem, 63, mengaku tidak tahu soal virus korona. Dia mengaku telah lama menjual olahan daging tersebut. ”Sudah sejak dulu, saya tinggal meneruskan dari orang tua saya,” tutur warga Panggang, Gunungkidul, seperti dilaporkan Radar Jogja.
Dia mendapatkan kelelawar dari daerah tempat tinggalnya. Olahan daging kelelawar tersebut dijual dengan harga rata-rata Rp15 ribu sampai Rp20 ribu per ekor. ”Tapi tergantung yang beli, kalau dengan penduduk lokal kadang saya kasih murah,” ungkapnya.
Pembeli olahan kelelawar tersebut tidak hanya dari penduduk lokal Jogja. Ada juga pembeli dari luar kota. Bahkan, ada juga wisatawan mancanegara yang beli. Mereka membeli olahan kelelawar untuk dijadikan obat. Misalnya, mengobati asma dan kecapekan. Banyak pembeli yang cocok. ”Ada yang penasaran juga,” ujarnya.
Wagiyem tidak menjual daging olahan tersebut dalam jumlah banyak. Hanya sebaskom ukuran sedang. Sebab, pembeli daging tersebut tidak pasti. Tidak setiap hari ada yang beli. Dia hanya menyediakan bagi orang-orang yang butuh saja, bukan sebagai jualan pokoknya. ”Tapi, kalau benar-benar ada yang butuh, kadang habis,” ungkap dia.
Hal serupa terjadi di Bantul, Jogjakarta. Doni Iswanto, 33, dan Romiyati, 33, warga Tirtonirmono, Kasihan, Bantul, mengaku mengetahui mewabahnya virus korona melalui pemberitaan media. Namun, secara detail, mereka tidak tahu virus korona itu. Termasuk salah satu penyebarannya melalui kelelawar.
Doni dan Romi merupakan pedagang tongseng codot, jenis kelelawar. Menurut mereka, codot yang diolah bukan sembarangan. Pemilihan codot begitu selektif. Jenis codot yang diolah itu bukan pemakan serangga ataupun bunga. Melainkan buah. ”Jadi, saya pikir ini aman,” ungkap Doni kepada Radar Jogja.
Selama sepuluh tahun berdagang, kata dia, tidak ada masalah apa pun. Semua aman. Bahkan, kebutuhan makanan olahan codot semakin besar. Peminatnya banyak. Sebab, codot memiliki fungsi bagi kesehatan. Misalnya, obat asma. ”Kalau turun peminatnya sih enggak. Justru bertambah ini. Kalaupun ada virus itu, pasti udah ramai dan belum ada imbauan,” ungkap Romi.
Doni mengungkapkan, codot yang dijual berasal dari wilayah lokal. Diambil dari gua-gua di Gunungkidul. Dipasok warga Klampok, Panggang, Gunungkidul. ”Jadi, hanya pemakan buah. Dijamin aman. Mungkin di China itu jenis kelelawar pemakan serangga, jadi banyak bakterinya,” tutur Doni mencoba menelaah.
Apabila memang virus tersebut ditemukan di Jogjakarta, dia meminta pemerintah setempat turun tangan. Memberikan informasi dengan detail dan memberikan solusi. Dengan begitu, masyarakat benar-benar paham. ”Apalagi, kan codot ini dikonsumsi peminatnya khusus sebagai obat. Toh banyak juga pesanan dari rumah sakit,” katanya.
Ketidakpahaman informasi mengenai virus korona juga diungkapkan pedagang satwa Riyanto, 43. Dia mengaku hanya menjual kelelawar hidup. Kelelawar yang dia jual pun juga kelelawar codot (pemakan buah). ”Iya. Ini codot buat obat asma. Saya ambil dari Sumatera,” ucapnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman