JAKARTA, (RIAUPOS.CO) – Pengaturan toa masjid yang disampaikan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat. Banyak pihak menyayangkan sekaligus mengecam pernyataan itu. Bahkan mereka menilai pernyataan Yaqut dapat melukai perasaan umat Islam. Meski tujuan awalnya untuk menjaga kerukunan dan keharmonisan, namun pernyataan itu dinilai jauh dari kearifan dan kebijaksanaan.
"Saya sebagai umat Islam dan berasal dari negeri Melayu. Saya mengecam keras bahasa dan perumpamaan yang digunakan Menag Yaqut yang membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing," kata Anggota Komisi VIII DPR RI Achmad, Kamis (24/2).
Achmad menilai, Yaqut tidak cakap dalam pemilihan kata-kata dan perumpamaan. Sehingga apa yang disampaikan dia itu kontroversial dan bikin gaduh.
"Banyak perumpamaan lain yang mesti digunakan selain suara hewan. Jadi apapun alasannya, itu sangat tidak pantas dikeluarkan di tempat umum. Apalagi membandingkan dengan suara azan," ujarnya.
Pendiri Masjid Agung Islamic Centre (MAMIC) Pasirpengaraian Rokan Hulu itu menyatakan selama ini rakyat Indonesia hidup damai berdampingan dengan baik tanpa mempersoalkan suara toa masjid/musala atau bahkan gereja. Bahkan di daerah-daerah tertentu yang minoritas umat Islam tidak pernah dengar mereka protes.
"Masyarakat selama ini hidupnya rukun kok. Oknum-oknum saja yang mencoba membenturkan. Selama ini tidak ada yang mempersoalkan toa masjid. Banyak kok masjid di tengah permukiman saudara kita yang beda aqidah, tapi nggak ada protes dari mereka. Kenapa kita yang persoalkan?" kata legislator Demokrat daerah pemilihan Riau 1 itu.
Untuk itu, ia minta Yaqut fokus saja pada kinerja untuk kepentingan umat. Tidak usah membuat gaduh dengan pernyataan dan aturan bersifat tendensius yang menimbulkan gesekan pada masyarakat. Dia meminta agar Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala itu ditinjau kembali. Hal tersebut cukup level KUA saja yang mengatur dan disesuaikan dengan daerah masing-masing. Ia menilai terlalu kecil urusan yang begini diurus seorang menteri dan lebih banyak hal-hal yang mendasar di Kemenag RI yang harus ditangani dengan sangat serius.
Diketahui, Yaqut menerbitkan surat edaran terkait pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid atau musala. Yaqut menilai suara-suara toa di masjid selama ini adalah bentuk syiar. Hanya, jika dinyalakan dalam waktu bersamaan, akan timbul gangguan.
"Kita bayangkan lagi, saya muslim, saya hidup di lingkungan nonmuslim. Kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita nonmuslim menghidupkan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang, itu rasanya bagaimana," kata Yaqut usai melakukan pertemuan dengan tokoh agama seluruh Provinsi Riau terkait surat edaran Menteri Agama tentang penggunaan pengeras suara di masjid atau musala, Rabu (23/2) lalu.
Sementara itu, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) juga menganggap persoalan ini serius dan mereka langsung mengadakan rapat untuk menentukan sikap terhadap ucapan Yaqut tersebut. Dari hasil rapat yang ditandatangani langsung oleh Majelis Kerapatan Adat, Datuk Seri HR Marjohan Yusuf dan Datuk Taufik Ikram Jamil selaku pimpinan rapat mengeluarkan sikap tegas.
Pertama, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) sangat menyayangkan pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang suara azan yang dianalogikan dengan gonggongan anjing. Hal ini diucapkan justru ketika berada di Pekanbaru atau di tanah Melayu yang adatnya bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, sedangkan azan merupakan ucapan suci umat muslim
Kedua, secara bahasa, analogi yang disebut butir satu di atas, menyinggung perasaan masyarakat Melayu Riau karena objek suci dan mulia dalam Islam yakni azan dianalogikan dengan suara hewan yang tidak pantas diucapkan.
Ketiga, berkaitan dengan pernyataan di atas, LAMR meminta Presiden Joko Widodo yang juga adalah Datuk Setia Amanah Negara Masyarakat Adat Melayu Riau, untuk mengevalaluasi dan memepertimbangkan kembali posisi Yaqut selaku Menteri Agama.
Terakhir, LAMR juga mendorong sekaligus mendukung pihak-pihak yang telah mengambil langkah hukum terhadap Yaqut.
Laporkan Yaqut
Sementara itu DPD KNPI Riau mencoba menempuh jalur hukum untuk memperkarakan pernyataan Menag saat berkunjung ke Riau tersebut. Wakil Ketua DPD KNPI Riau Thabrani Al-Indragiri langsung membuat laporan ke Polda Riau terkait pernyataan yang dinilai kontroversial tersebut. "Hari ini (kemarin, red) kami dari KNPI Riau secara resmi laporkan Menag RI Yaqut Cholil Qoumas atas dugaan penistaan agama,’’ ujar Thabrani, Kamis (24/2).
Tabrani mengatakan, laporan ini dibuat berdasarkan jo Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau Pasal 156 H KUHP tentang Penistaan Agama. Pihaknya menilai pernyataan Menag Yaqut tidak pantas karena menganalogikan suara azan dengan suara hewan.
"Anak SD pun tahu kalau pernyataan seperti itu tidak pantas diucapkan. Apalagi keluar dari mulut seorang menteri. Lantas ada apa dia membawa bahasa seperti itu saat dia berkunjung ke Riau,’’ ucap Tabrani soal alasan pelaporan KNPI Riau tersebut.
DPD KNPI Riau, sebut Tabrani, berharap agar laporan yang mereka buat ke Polda Riau atas dugaan penistaan agama tersebut dapat ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan hukum berlaku. Bahkan Tabrani menilai Menag Yaqut harus dicopot dari jabatannya
Menanggapi hal tersebut, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag Thobib Al Asyhar menegaskan bahwa Menag Yaqut Cholil Qoumas sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara hewan. Pemberitaan yang mengatakan Menag membandingkan dua hal tersebut adalah sangat tidak tepat.
"Menag sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara hewan, tapi Menag sedang mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara," kata Thobib Al-Asyhar di Jakarta.
Menurut Thobib, saat ditanya wartawan tentang Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushola dalam kunjungan kerjanya di Pekanbaru, Menag menjelaskan bahwa dalam hidup di masyarakat yang plural diperlukan toleransi. Sehingga perlu pedoman bersama agar kehidupan harmoni tetap terawat dengan baik, termasuk tentang pengaturan kebisingan pengeras suara apa pun yang bisa membuat tidak nyaman.
"Dalam penjelasan itu, Yaqut memberi contoh sederhana, tidak dalam konteks membandingkan satu dengan lainnya, makanya beliau menyebut kata misal. Yang dimaksud Yaqut adalah misalkan umat muslim tinggal sebagai minoritas di kawasan tertentu, di mana masyarakatnya banyak memelihara anjing, pasti akan terganggu jika tidak ada toleransi dari tetangga yang memelihara," jelasnya.
"Jadi Menag mencontohkan, suara yang terlalu keras apalagi muncul secara bersamaan, justru bisa menimbulkan kebisingan dan dapat mengganggu masyarakat sekitar. Karena itu perlu ada pedoman penggunaan pengeras suara, perlu ada toleransi agar keharmonisan dalam bermasyarakat dapat terjaga. Jadi dengan adanya pedoman penggunaan pengeras suara ini, umat muslim yang mayoritas justru menunjukkan toleransi kepada yang lain. Sehingga, keharmonisan dalam bermasyarakat dapat terjaga," tuturnya.
Menag, lanjut Thobib, tidak melarang masjid-musala menggunakan pengeras suara saat azan. Sebab, itu memang bagian dari syiar agama Islam. Edaran yang Menag terbitkan hanya mengatur antara lain terkait volume suara agar maksimal 100 dB (desibel). Selain itu, mengatur tentang waktu penggunaan disesuaikan di setiap waktu sebelum azan.
"Jadi yang diatur bagaimana volume speaker tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai gunakan speaker itu sebelum dan setelah azan. Jadi tidak ada pelarangan," tegasnya.
"Dan pedoman seperti ini sudah ada sejak 1978, dalam bentuk Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam," pungkasnya.(yus/ali/end)