Panas begitu menyengat di sekeliling perempuan itu. Sudah bertahun-tahun berlalu, tapi siang itu tak pernah lepas dari ingatan Hera Rosmiati. Saat dia harus menapaki medan yang terik, ada beragam jenis senjata di sekelilingnya.
"Saya harus bawa-bawa senjata, menyiapkan senjata, dan itu perempuannya cuma dua orang di lapangan," kenangnya.
Siang pada 2012 di Baturaja, Lampung, itulah untuk kali pertama Hera ikut pengujian senjata yang diadakan oleh PT Pindad, tempatnya bekerja sejak setahun sebelumnya, bareng dengan PT Dirgantara Indonesia. Sempat ragu, Hera mau tidak mau akhirnya harus ikut ke tempat pengujian tersebut.
Sebagai angkatan pertama yang diterima setelah bertahun-tahun Pindad melakukan moratorium penerimaan pegawai baru, Hera sering kali mendapat masukan dari para senior. Termasuk soal pengujian. Bahwa engineer tidak cukup hanya bisa membuat. Lebih dari itu, dia harus tahu betul performa senjata buatannya ketika dipakai.
"Sehingga user benar-benar maksimal saat menggunakan senjata tersebut," tutur Hera, mengutip nasihat para senior.
Tepat di Hari Ibu, Hera adalah salah satu pengingat bagaimana stigma bisa ditendang jauh-jauh. Stigma yang bekerja diam-diam, memenuhi kepala orang dengan ide diskriminatif: bahwa suatu bidang pekerjaan tertentu "sangat maskulin" atau hanya cocok untuk laki-laki.
Sudah delapan tahun Hera menjadi bagian penting dari Divisi Senjata Pindad. Berkutat dengan urusan produksi senjata. Mengujinya bersama para personel TNI dan Polri. Bahkan, di masa-masa awal bekerja, dia harus berhadapan dengan tungku pengolahan baja setiap hari.
Tangan dingin ibu satu anak itu turut berada di balik pembuatan Senapan Serbu 2 alias SS2, salah satu produk unggulan Pindad. Selain SS2 yang merupakan pengembangan SS1, ada SS3, SPR-2, dan G2.
"Yang ini SS2 customized," kata perempuan 32 tahun itu sambil menunjukkan SS2 bercorak mencolok, agak kecokelatan, di ruang display PT Pindad, Bandung, Jawa Barat.
Dia menjelaskan, senapan tersebut sudah disesuaikan dengan keinginan user. Karena itu, warnanya tidak hitam serupa SS2 yang belum di-customize.
Produsen senjata seperti Pindad memang harus banyak mendengar. Khususnya dari konsumen yang memakai produknya. Walau sudah punya pakem untuk setiap senjata, mereka tidak boleh kaku.
"Harus mau menerima masukan apabila user menginginkan penyesuaian," terang dia.
Setelah menuntaskan studi di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB), Hera memang langsung mengarahkan pandangan ke perusahaan BUMN. Nasib kemudian membawa dia ke Pindad.
Sebelum pindah ke posisi sekarang, Hera pernah ditempatkan di bagian SHT atau surface and heat treatment. "Di situ adalah divisi produksi banget, yang kerjaannya pelapisan, pengecatan, dan pengolahan panas," kata dia.
Kini Hera lebih banyak bergelut dengan pemilihan material dan proses. Menerjemahkan produk-produk baru Pindad supaya bisa diproduksi secara masal. "Bisa dibikin, bisa diproses, bisa dimanufaktur," ujar perempuan kelahiran Maret 1987 itu.
Memang dia tidak ikut merakit setiap senjata yang dibuat Pindad. Namun, Hera tetap harus punya kemampuan merakit. Bahkan, dia juga harus bisa menembakkan senjata yang dibuat.
Dari ruang display, tempat uji tembak senjata Pindad tidak jauh. Di sela-sela perbincangan dengan Hera dan tim produksi Pindad lainnya Rabu siang lalu itu, desing peluru beberapa kali terdengar.
Di tempat itu pula Hera pernah menjajal SPR-2, senjata dengan kaliber besar 12,7 mm. "Saya harus tahu ketika ditembakkan seperti apa," imbuhnya.
Pengalaman menguji coba SPR-2 sebelum dipakai prajurit TNI adalah salah satu momen berkesan bagi Hera. Sebab, SPR-2 merupakan senjata kaliber besar yang pertama dia buat.
"Biasanya saya di 5,56 mm dan 9 mm," ungkap dia. "Dan saya nyobain nembak pada saat awal untuk pertama kali," tambahnya.
Ada lima perempuan dari sekitar 45 staf di divisi tempatnya bekerja sekarang. Menurut Hera, bekerja membuat senjata bukan hal yang mustahil bagi perempuan.
Dia sudah membuktikan itu. Meski kebanyakan perempuan yang masuk Pindad ditempatkan di balik meja kerja, Hera tidak merasa canggung saat harus turun ke tempat produksi. Mendesain senjata, merakit, menjajal, sampai ikut uji di lapangan bersama user. Tentu ada yang pernah meragukan kemampuannya saat pertama masuk divisi senjata. Maklum, yang dia masuki dunia yang dicitrakan sangat maskulin.
Aktivis kesetaraan gender Kalis Mardiasih dalam kolomnya di Jawa Pos (21/12) mengaku juga pernah secara tak sadar sangat diskriminatif kepada perempuan. Saat menyusun undangan untuk kalangan penerbit dan media, nama-nama yang dia tulis semuanya laki-laki.
Demikianlah stigma bekerja. Namun, keyakinan dan tekad kuat Hera untuk terus bekerja dan belajar membawa dirinya sampai di posisi saat ini. Menjadi salah seorang yang diandalkan oleh Pindad. Membuat senjata kelas atas yang mampu bersaing, bahkan melampaui kualitas senjata buatan produsen di negara lain.
Sumber : Jawa Pos
Editor : Rinaldi