Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Luas Hutan dan Lahan yang Terbakar Meningkat 160 Persen di September

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Delapan ratus ribu lebih hutan dan lahan di Indonesia telah terbakar sepanjang 2019 hingga akhir September silam. Data ini diungkap Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Raffles Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Senin (21/10).

Raffles menyatakan, total luas yang terbakar hingga akhir September 2019 mencapai 857.756 hektare. Luas tersebut meliputi 630.451 hektare lahan mineral dan 227.304 hektare lahan gambut. Artinya, terjadi kenaikan sekira 160 persen dibandingkan bulan sebelumnya yaitu Agustus yang tercatat 328.724 hektare.

“Memang kemarau paling tinggi itu di bulan Juli, Agustus, dan September. Memang di September itu sangat kering. Kemarin sampai ada hari tanpa hujan sampai 120 hari. Tiga bulan itu tidak ada hujan, bayangkan,” urai Raffles.

Ketiadaan hujan inilah yang disebut sangat menyulitkan dalam upaya pemadaman karhutla yang terjadi. Sehingga meskipun terdapat petugas dan alat pemadam yang siaga di lokasi karhutla, menjadi percuma ketika tidak ada air untuk memadamkan apinya. Karena itu Raffles menyimpulkan ketiadaan air sebagai problem utama dalam penanganan karhutla yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya.

Baca Juga:  Waduhhh...Juru Masak Mogok, Pasien Rumah Sakit Kelaparan

Sementara pada bulan Oktober berjalan ini, diakui masih terjadi karhutla di beberapa wilayah di Indonesia. Namun dari pantauan sementara, bisa disimpulkan bila jumlahnya mengalami penurunan drastis bila dibandingkan September lalu. Hal ini dilihat dari jumlah titik panas (hotspot) hingga Senin kemarin.

“Sudah sangat drastis turunnya. Kemarin di bulan September itu 16 ribuan untuk jumlah hotspotnya, sementara di Oktober ini sampai tanggal 20 hanya tiga ribuan sekian,” terang Raffles.

Penurunan ini diperkirakan akan terus terjadi lantaran hujan yang sudah berangsur-angsur turun, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan yang sebelumnya mengalami karhutla. Sedangkan untuk wilayah Jawa dan timur Indonesia, diperkirakan masih terjadi karhutla karena kondisi cuacanya yang masih kering dan belum turun hujan.
Raffles beranggapan, kenaikan lahan terbakar seluas 529.032 hektare pada September itu terjadi karena beberapa faktor. Termasuk faktor cuaca dan iklim yang membuat lahan lebih mudah terbakar. "Masih ada El Nino, juga ada pergerakan arus panas dari Australia ke Asia, termasuk ke Indonesia,” sebutnya.

Baca Juga:  Embarkasi Batam Siap Layani 5.371 Jemaah Haji

Pola-pola lama yang masih digunakan masyarakat dalam membersihkan lahan yaitu dengan cara membakar juga disebut berperan besar dalam peningkatan luas hutan dan lahan yang terbakar. Hal inilah yang menjadi perhatian KLHK untuk melakukan pencegahan agar masyarakat tidak lagi membakar lahan untuk berkebun.

Adapun untuk data luas hutan dan lahan yang terbakar hingga Oktober, Raffles menyebut sejauh ini belum bisa diketahui. Pasalnya dalam menghitung luas yang terbakar tersebut bukanlah hal mudah. Karena penghitungannya dilakukan di seluruh Indonesia dengan penuh akurasi.

“Kami juga mesti memastikan dengan datang ke wilayah-wilayah yang dilaporkan terbakar. Hal ini kerap terkendala aksesnya yang sulit. Tapi yang pasti akan kami ungkap setelah penghitungan selesai dilakukan,” tandasnya.(ADV)

 

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Delapan ratus ribu lebih hutan dan lahan di Indonesia telah terbakar sepanjang 2019 hingga akhir September silam. Data ini diungkap Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Raffles Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Senin (21/10).

Raffles menyatakan, total luas yang terbakar hingga akhir September 2019 mencapai 857.756 hektare. Luas tersebut meliputi 630.451 hektare lahan mineral dan 227.304 hektare lahan gambut. Artinya, terjadi kenaikan sekira 160 persen dibandingkan bulan sebelumnya yaitu Agustus yang tercatat 328.724 hektare.

- Advertisement -

“Memang kemarau paling tinggi itu di bulan Juli, Agustus, dan September. Memang di September itu sangat kering. Kemarin sampai ada hari tanpa hujan sampai 120 hari. Tiga bulan itu tidak ada hujan, bayangkan,” urai Raffles.

Ketiadaan hujan inilah yang disebut sangat menyulitkan dalam upaya pemadaman karhutla yang terjadi. Sehingga meskipun terdapat petugas dan alat pemadam yang siaga di lokasi karhutla, menjadi percuma ketika tidak ada air untuk memadamkan apinya. Karena itu Raffles menyimpulkan ketiadaan air sebagai problem utama dalam penanganan karhutla yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Gempa M 6,9 Picu Peringatan Dini Tsunami

Sementara pada bulan Oktober berjalan ini, diakui masih terjadi karhutla di beberapa wilayah di Indonesia. Namun dari pantauan sementara, bisa disimpulkan bila jumlahnya mengalami penurunan drastis bila dibandingkan September lalu. Hal ini dilihat dari jumlah titik panas (hotspot) hingga Senin kemarin.

“Sudah sangat drastis turunnya. Kemarin di bulan September itu 16 ribuan untuk jumlah hotspotnya, sementara di Oktober ini sampai tanggal 20 hanya tiga ribuan sekian,” terang Raffles.

Penurunan ini diperkirakan akan terus terjadi lantaran hujan yang sudah berangsur-angsur turun, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan yang sebelumnya mengalami karhutla. Sedangkan untuk wilayah Jawa dan timur Indonesia, diperkirakan masih terjadi karhutla karena kondisi cuacanya yang masih kering dan belum turun hujan.
Raffles beranggapan, kenaikan lahan terbakar seluas 529.032 hektare pada September itu terjadi karena beberapa faktor. Termasuk faktor cuaca dan iklim yang membuat lahan lebih mudah terbakar. "Masih ada El Nino, juga ada pergerakan arus panas dari Australia ke Asia, termasuk ke Indonesia,” sebutnya.

Baca Juga:  Ahli Setuju Booster Jadi Syarat Perjalanan-Masuk Mal, Ini Alasannya

Pola-pola lama yang masih digunakan masyarakat dalam membersihkan lahan yaitu dengan cara membakar juga disebut berperan besar dalam peningkatan luas hutan dan lahan yang terbakar. Hal inilah yang menjadi perhatian KLHK untuk melakukan pencegahan agar masyarakat tidak lagi membakar lahan untuk berkebun.

Adapun untuk data luas hutan dan lahan yang terbakar hingga Oktober, Raffles menyebut sejauh ini belum bisa diketahui. Pasalnya dalam menghitung luas yang terbakar tersebut bukanlah hal mudah. Karena penghitungannya dilakukan di seluruh Indonesia dengan penuh akurasi.

“Kami juga mesti memastikan dengan datang ke wilayah-wilayah yang dilaporkan terbakar. Hal ini kerap terkendala aksesnya yang sulit. Tapi yang pasti akan kami ungkap setelah penghitungan selesai dilakukan,” tandasnya.(ADV)

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari