RWANDA (RIAUPOS.CO) — Wabah ebola terdeteksi 1 Agustus tahun lalu di Kongo untuk kali ke-10. Wabah itu masih sulit dikendalikan. Tak adanya obat dan ketidakpercayaan terhadap petugas kesehatan merupakan sebagian faktor penyebaran.
Mobil milik Kementerian Kesehatan Kongo itu gosong. Hanya rangka mobil yang tersisa. Orang-orang di dalamnya tewas. Bukan karena kecelakaan. Namun, sengaja diserang dan dihabisi.
Mereka yang mengendarai jip itu adalah personel kesehatan yang bertugas mencegah penularan wabah ebola. Setiap kali bertugas, mereka harus bertaruh nyawa. Sebab, tak semua penduduk percaya dengan mereka. Terlebih, sebagian merupakan orang asing atau berasal dari provinsi yang berbeda.
â€Ini adalah lingkungan yang kompleks dengan sejarah panjang tentang kekerasan dan konflik. Jadi, ada banyak ketidakpercayaan pada orang asing dari luar area,†ujar Trish Newport dari Medecins Sans Frontieres (MSF) alias Dokter Lintas Batas seperti dikutip BBC.
Sejak Januari hingga pertengahan Juli, ada 198 serangan ke petugas kesehatan maupun fasilitas penanganan ebola. Tujuh orang tewas dan 58 lainnya luka-luka. Serangan terakhir terjadi Senin (15/7) di Provinsi North Kivu. Beberapa petugas kesehatan lainnya meninggal karena tak sengaja tertular saat merawat pasien.
Newport menegaskan bahwa semua petugas harus membangun kepercayaan dengan para penduduk. Tapi, itu tentu tidak mudah. Wabah ebola sudah 10 kali terjadi di Kongo, tapi masih banyak penduduk yang tak percaya bahwa virus itu ada.
Berdasar penelitian yang dimuat di jurnal Lancet Infectious Diseases, diketahui bahwa 36 persen responden yakin bahwa virus ebola hanya khayalan untuk membuat situasi di Kongo tidak stabil. Ketidakpercayaan itu membuat penduduk yang terjangkit tak segera mencari pengobatan.
Sekitar sepertiga kematian akibat ebola terjadi di lingkungan penduduk, bukan di pusat perawatan penyakit mematikan tersebut. Mereka yang menyembunyikan penyakitnya itu berisiko menularkan kepada keluarganya dan orang lain. Mereka yang memakamkan dengan menyentuh langsung tubuh pasien juga berpotensi tertular.
Berbagai usaha dilakukan untuk mencegah virus ebola meluas. Orang-orang yang keluar masuk Kongo harus dicek lebih dulu. Di dalam negeri juga terdapat banyak tempat pemeriksaan. Namun, tetap saja, virus itu terus menyebar tak terkendali. Dalam beberapa kasus, ada orang yang terjangkit meski tak bersentuhan dengan penderita. ‘’Sudah hampir satu tahun dan situasinya tidak membaik,†tegas Newport. Yang ada, justru kian melonjak.
Sebut saja kisah salah seorang pastor di Butembo, wilayah yang paling parah terdampak ebola. Dia berkhotbah di tujuh lokasi dan menyentuh salah seorang penderita ebola. Pastor yang tidak disebutkan namanya itu pergi ke Goma dengan menggunakan bus. Dia sudah tertular, tapi belum terdeteksi. Di berbagai pos pemeriksaan, dia menggunakan nama yang berbeda-beda. Begitu tiba di Goma, dia langsung ambruk. Senin nyawanya tak bisa terselamatkan. Sekitar 60 orang yang kontak dengan pastor tersebut sudah divaksin.
Di Kongo dan beberapa negara sekitarnya, kelompok militan lumayan banyak. Karena itu, petugas kesehatan biasanya didampingi polisi dan militer. Tapi, hal tersebut justru membuat penduduk kian menaruh kecurigaan.
â€Kami harus menurunkan jumlah kehadiran pasukan keamanan yang mendampingi tim respons karena saat ini itu lebih banyak menimbulkan keburukan daripada kebaikan,†tegas Direktur Mercy Corps Kongo Jean-Philippe Marcoux.
Karena wabah yang kian tak terkendali itu, Rabu (17/7) WHO mendeklarasikan status darurat kesehatan global untuk wabah ebola. Sebagai respons, Uni Afrika berencana mengirimkan anggota Korps Relawan Kesehatan Afrika ke Kongo. Saat wabah ebola terjadi di Afrika Barat 2014-2016, korps itu punya peran penting untuk mencegah penyebaran dan memulihkan situasi.