JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Ketua Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Nurullah Koswara mengingatkan bahwa sekolah didirikan bukan untuk membela Palestina.
Sekolah didirikan untuk membela semua anak dari kebodohan, kenakalan dan masa depan yang suram.
"Saya prihatin melihat seorang anak sekolah dikeluarkan dari sekolah karena menghina Palestina," kata Ketua PGRI Dudung di Jakarta, Sabtu (22/5/2021).
Dia menegaskan, tidak ada anak yang salah, orang dewasa di sekitarnya yang bersalah. Dudung juga mengingatkan bahwa fungsi sekolah adalah mendidik siswa jadi orang baik.
Karena itu, menyingkirkan siswa yang berperilaku tidak baik jelas bertentangan dengan fungsi sekolah.
“Menjadi guru hanya ingin mengajar dan mendidik anak baik sangatlah picik," ucapnya.
Dia lantas mengaitkan dengan kisah Nabi Muhammad SAW yang diludahi pembencinya. Nabi Muhammad tidak marah malah membalas dengan menjenguk saat pembencinya itu sakit.
Kini kata Dudung, seorang anak yang bermasalah menghina Palestina dengan kata yang sangat kasar, dikeluarkan dari sekolah. Ini jadi suatu bahan kajian bagi semua, terutama bagi para guru.
Menurut Dudung, sekolah yang tidak paham spirit pendidikan inklusif tentu akan sangat alergi pada dinamika nakal anak.
"Bahkan guru-guru yang tidak punya kompetensi pedagogik akan gagal mengajar dan mendidik," kata kepala SMA Negeri 1 Parungpanjang ini lagi.
Upaya pemerintah saat ini dengan menghadirkan program Guru Penggerak, Sekolah Pengerak, lanjutnya, ending-nya adalah melahirkan pelajar berkahlak mulia. Tiada lain adalah mengupayakan semua sekolah dapat melahirkan Pelajar Pancasila.
"Pelajar Pancasila bukanlah pelajar yang sejak masuk sekolah sampai diwisuda baik-baik saja," cetusnya.
Lebih lanjut dikatakan, sekolah adalah sebuah organisasi pembelajaran yang dipimpin kepala satuan pendidikan pembelajaran dan guru-guru pembelajar. Sebagai organisasi pembelajaran maka semua hal harus berwajah pembelajaran.
Anak yang nakal, sangat nakal dan hampir di luar batas adalah bagian dari tugas entitas guru dan kepala sekolah agar anak tetap dilayani dengan baik. Tentu dengan layanan variatif sesuai karakter anak.
"Mengajar anak yang sudah baik, pintar, cerdas dan lahir dari keluarga baik-baik sangatlah mudah," ucapnya.
Nilai ibadah sebuah pekerjaan, kata Dudung, tentu bisa dilihat dari kesulitan dan kompleksitas pekerjaannya. Mengajari anak yang autis dengan menghina bangsa Palestina adalah bagian dari ibadah tenaga pendidik untuk membimbing dan mengarahkannya agar lebih baik.
Dia menegaskan, sekolah yang baik sejatinya sangat inklusif tidak eksekusif. Sekolah yang baik tidak banyak menghakimi anak didik.
"Namanya juga anak didik, anak yang harus dididik, bukan dihardik," tandasnya.
Sumber: JPNN/News/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun