JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan proses hukum pidana dalam kasus dugaan korupsi di PT Asuransi Jiwasraya akan terus berlanjut apabila ditemukan bukti-bukti kuat. Dia menyebut kasus tersebut tidak bisa dialihkan melalui jalur perdata.
"Kalau sudah masuk ke ranah hukum pidana tentu tidak bisa dibelokkan ke perdata kalau memang ada unsur pidananya," kata Mahfud usai bertemu Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/1).
Mahfud menerangkan, jalur pidana dan perdata merupakan dua hal berbeda. Apabila ada gugatan secara perdata tidak akan menghentikan proses pidana yang berjalan. Namun, dalam kasus ini korban berhak mengajukan gugatan perdata setelah proses pidana selesai.
"Kalau memang ada unsur pidananya. Perdatanya biar diselesaikan, pidana itu tidak berubah hanya karena sesudah diketahui lalu ditempuh ke langkah-langkah keperdataan, itu tidak boleh di dalam hukum pidana," jelasnya.
Senada dengan itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin memastikan akan melanjutkan pengungkapan kasus Jiwasraya. Dia pun tidak menutup kemungkinan akan meminta keterangan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Ya kalau peluang (keterlibatan manajemen investasi, red) selalu ada. Masih dalam pengembangan," kata Burhanuddin.
Meski begitu, Burhanuddin mengatakan, saat ini jajarannya baru sebatas meminta data kepada OJK. Belum ada jadwal resmi pemanggilan sebagai saksi kepada pihak OJK.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, kerugian Jiwasraya timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yakni terkait dengan pengelolaan dana yang berhasil dihimpun melalui program asuransi.
Hal ini terlihat dari pelanggaran prinsip-prinsip kehati-hatian berinvestasi yang dilakukan oleh Jiwasraya, dengan cara banyak melakukan investasi pada aset-aset dengan risiko tinggi. Hal ini untuk mengejar high grade atau keuntungan tinggi. Adapun caranya dilakukan penempatan saham sebanyak 22,4 persen senilai 5,7 triliun, namun mayoritas saham tersebut dikelola oleh perusahaan dengan kinerja buruk.
"Dari aset finansial dan jumlah tersebut 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik. Dan sebanyak 95 persen dana ditempatkan di saham yang berkinerja buruk," imbuh Burhanuddin.
Penyebab kebangkrutan Jiwasraya lainnya yakni penempatan reksadana sebanyak 59,1 persen senilai Rp 14,9 triliun dari aset finansial. Dari jumlah tesebut, hanya 2 persen yang dikelola oleh manager investasi Indonesia dengan kerja baik, sedangkan 98 persen dikelola oleh manajer investasi dengan kinerja buruk.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal