Kabar mengejutkan datang dari pemerintah awal 2020 ini. Rencananya pemerintah bakal mencabut subsidi elpiji 3 kilogram. Awalnya pemerintah memang mewacanakan pencabutan subsidi listrik. Lalu beralih ke gas melon.
Pemerintah beralasan subsidi elpiji sudah pantas dicabut, karena penyalurannya tidak tepat sasaran. Banyak orang kaya dan pengusaha menengah ke atas yang memakai gas 3 kg. Padahal peruntukannya adalah masyarakat kelas bawah dan usaha kecil.
Pemerintah menjanjikan akan tetap mensubsidi masyarakat miskin, tapi dalam versi lain. Bisa saja dalam bentuk uang tunai atau lainnya sehingga masih bisa memakai gas seharga masih disubsidi. Apakah metode ini bisa tepat sasaran? Tak ada yang bisa menjamin.
Memang tak bisa dipungkiri, gas melon ini sering langka padahal Pertamina mengaku penyaluran sesuai kuota. Usut punya usut, setelah diselidiki ke lapangan, ditemukan indikasi penyimpangan penggunaannya. Selain dipakai orang mampu, juga kerap diborong oleh pengusaha menengah ke atas. Modusnya, mereka diduga โmain mataโ di tingkat agen atau pangkalan. Begitu gas datang di-drop Pertamina, sudah ada permainan sehingga warga yang berhak mendapatkan jadi tak dapat haknya.

Sayangnya, pihak berwenang kerap kecolongan seakan tak mampu menertibkan kasus ini sehingga selalu terjadi berulang-ulang. Dengan alasan itulah pemerintah mengambil langkah. Mencabut subsidi. Jika subsidi dicabut, biasanya beli gas melon Rp18 ribu per tabung bisa jadi hargnya naik mencapai dua kali lipat. Harga itu sangat memukul bagi kalangan bawah, yang selama ini memang berhak menikmati subsidi. Bisa-bisa mahalnya harga gas membuka kalangan ini semakin kesusahan. Karena gas adalah termasuk keperluan pokok tiap rumah tangga. Begitupun usaha kecil, bakal kelimpungan.
Karena itu, mencermati masih labilnya ekonomi masyarakat di tengah turun naiknya harga-harga keperluan pokok, hendaknya pemerintah memperhitungkan dengan matang rencana ini. Apalagi awal tahun ini masyarakat pengguna JKN-KIS BPJS sudah dibebani dengan kenaikan iuran JKN-KIS mencapai duakali lipat. Mereka umumnya adalah kalangan menengah ke bawah. Karena penghasilan tidak bertambah yang bisa dilakukan adalah mengencangkan ikat pinggang, menghemat pengeluaran. Jika harus dibebani lagi dengan kenaikan harga gas, tentu saja ikat pinggang tambah dikencangkan lagi.
Imbasnya, belanja makin dikurangi. Jelas akibatnya daya beli masyarakat akan menurun, ekonomi lesu dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.***