Jumat, 20 September 2024

Titah Raja, Jaga Hutan Kita

Setelah lighting (pencahayaan) dari langit menghiasi panggung Festival Subayang 2020 hari pertama, Sabtu (14/11) malam, gemuruh datang. Hujan membubarkan tenda dan peserta untuk pindah ke tempat lebih aman. Sungai Subayang pun pasang. Dua piyau (perahu) sudah dihias. Kerbau sudah dipotong, dagingnya dimasak, dimakan bajombau (bersama). Kepala kerbau dan isi perut diantar langsung sang Raja Kerajaan Gunung Sahilan dua jam menaiki piyau ke hulu sungai.

Laporan: EKA G PUTRA (Kampar)

TANGAN kiri Dudul menggenggam kemudi piyau,  sesekali mengangkat kayu sepanjang satu meter yang di ujungnya ada baling-baling tersebut. Dengan cekatan mengarahkan ke kiri dan ke kanan sesuai alur Sungai Subayang. Kakinya mencengkeram erat sembari duduk di ujung paling belakang piyau, bagian kiri ditekukkan dekat jemari kaki kanan.

Air mulai memenuhi piyau tepat di depannya. Tangan kanan Dudul mengambil gayung. Menimba air untuk dibuang kembali ke sungai. Dua, tiga hingga delapan kali menimba, namun tak juga kering. Bermesin Robin, piyaunya hanya boleh diisi lima penumpang.

- Advertisement -

Ahad (15/11) pagi, langit cerah setelah hujan semalaman. Piyau Dudul bergerak dari Desa Gema, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Satu setengah jam menyusuri hulu sungai, sesekali riak air memercik ke badan, baru tiba di sebuah desa bernama Tanjung Harapan. Satu dari sembilan desa di kawasan Taman Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.

Melawan arus sungai tentu tak gampang saat air pasang menggunakan perahu kecil dan rendah. Apalagi saat sedang pasang. Kiri kanan pemandangan bukit menjulang dan masih hijau. Burung-burung bernyanyi mengiringi calempong oguang yang juga satu rombongan dengan sebuah piyau. Monyet asyik bermain di dahan-dahan. Biawak tampak lebih besar dari buaya muara.

- Advertisement -

Di Desa Tanjung Harapan, iringan piyau berhenti. Gubernur Riau H Syamsuar bersama istri, Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi dan istri membawa serta dua anaknya pun turun. Disambut Raja Kerajaan Gunung Sahilan H Tengku Muhammad Nizar dan rombongan. Juga ada Bupati Kampar Catur Sugeng, pihak Dinas Pariwisata Provinsi Riau dan Kabupaten Kampar lengkap pejabatnya.

Pelabuhan kecil yang ada gerbang sudah dipasang umbul-umbul khas Gunung Sahilan. Di desa ini rombongan hanya singgah sebentar, guna ziarah makam dan berdoa. Kemudian melanjutkan perjalanan. Dengan piyau yang sudah berhias dinaiki raja dan kepala daerah.

Menariknya di salah satu piyau, membawa kepala dan isi perut kerbau. Dagingnya sudah dimakan saat makan bajombau Sabtu malam. Perjalanan kali ini tanpa turun ke darat. Hanya menyusuri sungai. Sesekali berhenti sejenak, Raja Kerajaan Gunung Sahilan saja yang turun, rombongan lain tetap di atas piyau.  "Singgah ke situ (sebuah tempat setelah menyusuri arus sungai 20 menit, red) sebentar saja, jadi itu diadatkan dari dahulu kala. Lebih pada kebiasaan raja pertama dulu, tak ada yang istimewa," kata orang tua Datuk Khalifah Ludai Muhammad Yulis.

Baca Juga:  Dilaporkan Istri, Bayu Takut, Lalu Gantung Diri

Yulis yang berbincang dengan Riau Pos di sela acara menyebut kegiatan yang dijalani disebut Semah Rantau. Setelah berhenti sejenak tadi, rombongan kembali meneruskan perjalanan. Tiba di daerah yang disebut Negeri Gajah Bertalut yang berbatasan dengan Muaro Bio. Tak sedikit pula yang menyebut Bukit Harimau. Seluruh rombongan berhenti di sisi kiri sungai. Piyau raja berhenti di sebelah kanan. Setiap perjalanan dan di manapun berhenti, piyau raja selalu di depan dan tidak ada yang boleh mendahului. Di sinilah kepala kerbau dibuang. Dibuang begitu saja ke sungai.

"Kepala kerbau itu tadi, kepalanya saja, dagingnya sudah diambil. Rantau ini disemah dengan kepala itu, tujuannya agar ikan banyak datang ke sini, karena ikan ini penghidupan masyarakat. Kita berdoa, untuk keselamatan negeri, aman sentosa, dan dianugerahi rezeki berlimpah oleh Allah," sambung Yulis.

Setelah kurang satu jam perjalanan dan kepala kerbau dibuang, rombongan kembali ke Desa Tanjung Harapan. Di sini makan siang dan sedikit acara sambutan. Dilanjutkan dengan panen ikan larangan yang dilakukan Gubernur Riau dan Kapolda Riau dengan cara melempar jala ke dalam sungai.

Menurut Raja Gunung Sahilan H Tengku Muhammad Nizar, Semah Rantau yang dibalut dengan kegiatan Festival Subayang ini pada intinya adalah kunjungan raja. Di mana raja melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang masuk dalam wilayahnya.

"Kalau ada masalah di rantau yang tak bisa diselesaikan, raja akan memberi solusi, dan itu veto, kalau raja bilang A, itu harus ditaati. Begitulah patuhnya masyarakat adat, saling menghormati dan saling mentaati dan takut, karena di kerajaan ada sumpah soti (sakti), yang mereka taati," beber Nizar usai acara.

Ditambahkannya, apabila masyarakat melanggar menurutnya memang akan berdampak ke kehidupan yang tidak baik. Hal ini pun sudah terbukti sebelum-sebelumnya.

"Karena memang ini sumpah yang dibikin raja pertama, dan bunyi sumpah itu disaksikan hantu serimbonya, harimau sekuntunya, buaya semuaronya, dan gajah serantaunya. Karena itu raja turun, melihat langsung kehidupan masyarakatnya," sambung Nizar.

Wilayah Raja Kerajaan Gunung Sahilan meliputi dari Sungai Pagar hingga Pangkalan Serai. Di mana hampir separuhnya berada di kawasan Hutan Rimbang Baling dan berada di tepian Sungai Subayang. Di beberapa daerah terdapat lima khalifah yang mewakili raja.

Sebagai acara adat istiadat, sebelum semah rantau pihak kerajaan melakukan ziarah makam. Di mana ada dua makam yang sangat dihormati oleh ninik mamak sejak dulu kala. Pertama Datuk Darah Putih, dulu seorang tabib, atau sekarang dokter. Kemudian Datuk Pagar, datuk yang bisa menjinakkan harimau.

"Karena in sya Allah anak kemenakan kita yang cari makan di hutan tidak ada yang diganggu harimau. Jadi itu bagian dalam rangkaian semah rantau," sambungnya.

Baca Juga:  Bencana Ekonomi Lebih Buruk dari 98 Mengintai

Raja Gunung Sahilan berharap, Gubernur dan Bupati Kampar sesekali dapat bermalam di salah satu desa. Sehingga dapat merasakan keindahan dan suasana alam di desa-desa sekitar tepian Sungai Subayang. Kemudian dapat berdialog dengan warga tentang hidup dan kehidupan. Disinggung mengenai kepala kerbau, menurut Nizar tidak ada makna apa-apa. Karena dagingnya sudah diambil semua, sudah dimakan bersama masyarakat.  

"Intinya tadi doa, shalawat agar Allah memberi kesehatan dan kebaikan bagi seluruh masyarakat," katanya.

Mengenai kehidupan masyarakat yang berada di hutan Rimbang Baling, menurut Raja Gunung Sahilan, memang masyarakatnya dan hutan tak bisa dipisahkan. Ya, karena hutan merupakan penghidupan, mulai dari menyadap karet, damar, rotan.

"Jadi harga-harga produk hutan ini diharapkan dapat dijagalah oleh pemerintah. Supaya masyarakat dapat bertahan. Kami berharap ada dibuat pabrik di sini. Sehingga harganya lebih mahal, warga bisa menyekolahkan anak tinggi. Mudah-mudahan ini bisa menjadi pemikiran dan perhatian semua kepala daerah," harapnya di tengah hutan Rimbang Baling nan memesona.

Karena arti penting keberadaan hutan tersebut, kepada seluruh masyarakat di tepian Sungai Subayang, Kabupaten Kampar dan kepada kepala daerah yang hadir, ia mengingatkan supaya tetap menjaga hutan.  "Jagalah hutan, rumah kita," pesannya.

Sementara itu Bupati Kampar Catur Sugeng mengatakan pihaknya tetap memperhatikan pembangunan di wilayah tersebut. Seperti sekarang ini listrik yang terus diupayakan.

"Mudah-mudahan tradisi ini dapat terus dipertahankan demi sejarah besar negeri ini. In sya Allah pembangunan akan terus kami perhatikan," sambungnya.

Subayang Festival 2020, Gubernur Riau H Syamsuar pun berpesan agar warisan tradisi yang dijalani dalam Semah Rantau dan seluruh rangkaian kegiatan dapat dibukukan. Sehingga turis-turis asing bisa memahami, ia pun berharap nantinya bisa dibuatkan dua bahasa.  "Agar ke depan dapat meningkatkan potensi daerah kita. Ya, benar, lingkungan dan alam harus dijaga. Agar tanaman-tanaman hutan kita bisa dijual lebih baik," katanya.

Dengan Kementerian LHK RI, ditegaskan Gubernur dirinya selalu berkoordinasi tentang keberadaan kampung-kampung di tengah hutan. Sehingga tidak dirusak tangan-tangan jahil. Pernyataan Gubri ini pun disambut dengan dukungan penuh semangat Kapolda Riau yang sudah basah-basah menyusuri sungai. Menurutnya banyak hal di desa yang berada di tengah hutan dimana masyarakat bisa hidup bersama alam.

"Alam bisa menghidupi dan dia bisa menjaga kita. Acara yang dilaksananan ini tentu kita ingin mempertahankan nilai-nilai adat dan budaya yang harus dioptimalkan. Saya akan jadi bagian untuk menjaga alam itu, masukan-masukan dari banyak pihak akan menjadi sebuah perhatian bersama untuk alam Riau yang indah ini," tegas jenderal bintang dua tersebut.***

Setelah lighting (pencahayaan) dari langit menghiasi panggung Festival Subayang 2020 hari pertama, Sabtu (14/11) malam, gemuruh datang. Hujan membubarkan tenda dan peserta untuk pindah ke tempat lebih aman. Sungai Subayang pun pasang. Dua piyau (perahu) sudah dihias. Kerbau sudah dipotong, dagingnya dimasak, dimakan bajombau (bersama). Kepala kerbau dan isi perut diantar langsung sang Raja Kerajaan Gunung Sahilan dua jam menaiki piyau ke hulu sungai.

Laporan: EKA G PUTRA (Kampar)

TANGAN kiri Dudul menggenggam kemudi piyau,  sesekali mengangkat kayu sepanjang satu meter yang di ujungnya ada baling-baling tersebut. Dengan cekatan mengarahkan ke kiri dan ke kanan sesuai alur Sungai Subayang. Kakinya mencengkeram erat sembari duduk di ujung paling belakang piyau, bagian kiri ditekukkan dekat jemari kaki kanan.

Air mulai memenuhi piyau tepat di depannya. Tangan kanan Dudul mengambil gayung. Menimba air untuk dibuang kembali ke sungai. Dua, tiga hingga delapan kali menimba, namun tak juga kering. Bermesin Robin, piyaunya hanya boleh diisi lima penumpang.

Ahad (15/11) pagi, langit cerah setelah hujan semalaman. Piyau Dudul bergerak dari Desa Gema, Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau. Satu setengah jam menyusuri hulu sungai, sesekali riak air memercik ke badan, baru tiba di sebuah desa bernama Tanjung Harapan. Satu dari sembilan desa di kawasan Taman Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.

Melawan arus sungai tentu tak gampang saat air pasang menggunakan perahu kecil dan rendah. Apalagi saat sedang pasang. Kiri kanan pemandangan bukit menjulang dan masih hijau. Burung-burung bernyanyi mengiringi calempong oguang yang juga satu rombongan dengan sebuah piyau. Monyet asyik bermain di dahan-dahan. Biawak tampak lebih besar dari buaya muara.

Di Desa Tanjung Harapan, iringan piyau berhenti. Gubernur Riau H Syamsuar bersama istri, Kapolda Riau Irjen Pol Agung Setya Imam Effendi dan istri membawa serta dua anaknya pun turun. Disambut Raja Kerajaan Gunung Sahilan H Tengku Muhammad Nizar dan rombongan. Juga ada Bupati Kampar Catur Sugeng, pihak Dinas Pariwisata Provinsi Riau dan Kabupaten Kampar lengkap pejabatnya.

Pelabuhan kecil yang ada gerbang sudah dipasang umbul-umbul khas Gunung Sahilan. Di desa ini rombongan hanya singgah sebentar, guna ziarah makam dan berdoa. Kemudian melanjutkan perjalanan. Dengan piyau yang sudah berhias dinaiki raja dan kepala daerah.

Menariknya di salah satu piyau, membawa kepala dan isi perut kerbau. Dagingnya sudah dimakan saat makan bajombau Sabtu malam. Perjalanan kali ini tanpa turun ke darat. Hanya menyusuri sungai. Sesekali berhenti sejenak, Raja Kerajaan Gunung Sahilan saja yang turun, rombongan lain tetap di atas piyau.  "Singgah ke situ (sebuah tempat setelah menyusuri arus sungai 20 menit, red) sebentar saja, jadi itu diadatkan dari dahulu kala. Lebih pada kebiasaan raja pertama dulu, tak ada yang istimewa," kata orang tua Datuk Khalifah Ludai Muhammad Yulis.

Baca Juga:  Kejar KKTB Pembunuh Nakes, Satgas Tambah Pasukan

Yulis yang berbincang dengan Riau Pos di sela acara menyebut kegiatan yang dijalani disebut Semah Rantau. Setelah berhenti sejenak tadi, rombongan kembali meneruskan perjalanan. Tiba di daerah yang disebut Negeri Gajah Bertalut yang berbatasan dengan Muaro Bio. Tak sedikit pula yang menyebut Bukit Harimau. Seluruh rombongan berhenti di sisi kiri sungai. Piyau raja berhenti di sebelah kanan. Setiap perjalanan dan di manapun berhenti, piyau raja selalu di depan dan tidak ada yang boleh mendahului. Di sinilah kepala kerbau dibuang. Dibuang begitu saja ke sungai.

"Kepala kerbau itu tadi, kepalanya saja, dagingnya sudah diambil. Rantau ini disemah dengan kepala itu, tujuannya agar ikan banyak datang ke sini, karena ikan ini penghidupan masyarakat. Kita berdoa, untuk keselamatan negeri, aman sentosa, dan dianugerahi rezeki berlimpah oleh Allah," sambung Yulis.

Setelah kurang satu jam perjalanan dan kepala kerbau dibuang, rombongan kembali ke Desa Tanjung Harapan. Di sini makan siang dan sedikit acara sambutan. Dilanjutkan dengan panen ikan larangan yang dilakukan Gubernur Riau dan Kapolda Riau dengan cara melempar jala ke dalam sungai.

Menurut Raja Gunung Sahilan H Tengku Muhammad Nizar, Semah Rantau yang dibalut dengan kegiatan Festival Subayang ini pada intinya adalah kunjungan raja. Di mana raja melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang masuk dalam wilayahnya.

"Kalau ada masalah di rantau yang tak bisa diselesaikan, raja akan memberi solusi, dan itu veto, kalau raja bilang A, itu harus ditaati. Begitulah patuhnya masyarakat adat, saling menghormati dan saling mentaati dan takut, karena di kerajaan ada sumpah soti (sakti), yang mereka taati," beber Nizar usai acara.

Ditambahkannya, apabila masyarakat melanggar menurutnya memang akan berdampak ke kehidupan yang tidak baik. Hal ini pun sudah terbukti sebelum-sebelumnya.

"Karena memang ini sumpah yang dibikin raja pertama, dan bunyi sumpah itu disaksikan hantu serimbonya, harimau sekuntunya, buaya semuaronya, dan gajah serantaunya. Karena itu raja turun, melihat langsung kehidupan masyarakatnya," sambung Nizar.

Wilayah Raja Kerajaan Gunung Sahilan meliputi dari Sungai Pagar hingga Pangkalan Serai. Di mana hampir separuhnya berada di kawasan Hutan Rimbang Baling dan berada di tepian Sungai Subayang. Di beberapa daerah terdapat lima khalifah yang mewakili raja.

Sebagai acara adat istiadat, sebelum semah rantau pihak kerajaan melakukan ziarah makam. Di mana ada dua makam yang sangat dihormati oleh ninik mamak sejak dulu kala. Pertama Datuk Darah Putih, dulu seorang tabib, atau sekarang dokter. Kemudian Datuk Pagar, datuk yang bisa menjinakkan harimau.

"Karena in sya Allah anak kemenakan kita yang cari makan di hutan tidak ada yang diganggu harimau. Jadi itu bagian dalam rangkaian semah rantau," sambungnya.

Baca Juga:  Jabatan Kabareskrim Disarankan untuk Jenderal Senior

Raja Gunung Sahilan berharap, Gubernur dan Bupati Kampar sesekali dapat bermalam di salah satu desa. Sehingga dapat merasakan keindahan dan suasana alam di desa-desa sekitar tepian Sungai Subayang. Kemudian dapat berdialog dengan warga tentang hidup dan kehidupan. Disinggung mengenai kepala kerbau, menurut Nizar tidak ada makna apa-apa. Karena dagingnya sudah diambil semua, sudah dimakan bersama masyarakat.  

"Intinya tadi doa, shalawat agar Allah memberi kesehatan dan kebaikan bagi seluruh masyarakat," katanya.

Mengenai kehidupan masyarakat yang berada di hutan Rimbang Baling, menurut Raja Gunung Sahilan, memang masyarakatnya dan hutan tak bisa dipisahkan. Ya, karena hutan merupakan penghidupan, mulai dari menyadap karet, damar, rotan.

"Jadi harga-harga produk hutan ini diharapkan dapat dijagalah oleh pemerintah. Supaya masyarakat dapat bertahan. Kami berharap ada dibuat pabrik di sini. Sehingga harganya lebih mahal, warga bisa menyekolahkan anak tinggi. Mudah-mudahan ini bisa menjadi pemikiran dan perhatian semua kepala daerah," harapnya di tengah hutan Rimbang Baling nan memesona.

Karena arti penting keberadaan hutan tersebut, kepada seluruh masyarakat di tepian Sungai Subayang, Kabupaten Kampar dan kepada kepala daerah yang hadir, ia mengingatkan supaya tetap menjaga hutan.  "Jagalah hutan, rumah kita," pesannya.

Sementara itu Bupati Kampar Catur Sugeng mengatakan pihaknya tetap memperhatikan pembangunan di wilayah tersebut. Seperti sekarang ini listrik yang terus diupayakan.

"Mudah-mudahan tradisi ini dapat terus dipertahankan demi sejarah besar negeri ini. In sya Allah pembangunan akan terus kami perhatikan," sambungnya.

Subayang Festival 2020, Gubernur Riau H Syamsuar pun berpesan agar warisan tradisi yang dijalani dalam Semah Rantau dan seluruh rangkaian kegiatan dapat dibukukan. Sehingga turis-turis asing bisa memahami, ia pun berharap nantinya bisa dibuatkan dua bahasa.  "Agar ke depan dapat meningkatkan potensi daerah kita. Ya, benar, lingkungan dan alam harus dijaga. Agar tanaman-tanaman hutan kita bisa dijual lebih baik," katanya.

Dengan Kementerian LHK RI, ditegaskan Gubernur dirinya selalu berkoordinasi tentang keberadaan kampung-kampung di tengah hutan. Sehingga tidak dirusak tangan-tangan jahil. Pernyataan Gubri ini pun disambut dengan dukungan penuh semangat Kapolda Riau yang sudah basah-basah menyusuri sungai. Menurutnya banyak hal di desa yang berada di tengah hutan dimana masyarakat bisa hidup bersama alam.

"Alam bisa menghidupi dan dia bisa menjaga kita. Acara yang dilaksananan ini tentu kita ingin mempertahankan nilai-nilai adat dan budaya yang harus dioptimalkan. Saya akan jadi bagian untuk menjaga alam itu, masukan-masukan dari banyak pihak akan menjadi sebuah perhatian bersama untuk alam Riau yang indah ini," tegas jenderal bintang dua tersebut.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari