Kamis, 19 September 2024

Giliran Pimpinan Gugat UU KPK

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Upaya membatalkan hasil revisi UU KPK lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK) belum usai. Upaya itu tidak hanya datang dari masyarakat, namun juga dari internal KPK sendiri. Rabu (20/11), tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif memasukkan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

 

Total ada 13 pemohon untuk uji formil itu. Dari pimpinan KPK hanya 3 yang terdaftar sebagai pemohon. Yakni Laode M Syarif, Saut Situmorang dan Agus Rahardjo.

Sementara Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan tidak ikut serta. Laode mengatakan nama keduanya memang tidak dimasukkan sebagai pemohon. "(Alex dan Basaria) tidak memasukkan nama, tapi mendukung," kata Laode.

- Advertisement -

Selain pimpinan KPK, pihak yang terdaftar sebagai pemohon diantaranya adalah mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan M. Jasin. Kemudian mantan pansel capim KPK Betti Alisjahbana. Ada pula tokoh lain seperti Ismid Hadad. "Dan bukan kami yang pengusungnya, jadi (pengusungnya) dari koalisi," imbuh akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut.

Agus memastikan bahwa dia dan para pemohon lain datang sebagai pribadi warga negara Indonesia. Tidak mewakili institusi KPK. mereka menguji konstitusionalitas UU KPK yang baru. "Walaupun kami masih berharap presiden mengeluarkan Perppu," terangnya di MK kemarin.

- Advertisement -

Senada, Laode juga menjelaskan perihal status mereka dalam perkara tersebut. Mengingat ada kaitannya dengan kedudukan hukum pemohon. Menurut dia, selain warga negara, yang berurusan langsung dengan KPK adalah pegawainya. "Sebagai pegawai KPK, sebagai pribadi, kami mengajukan (permohonan)," terangnya.

Baca Juga:  Kapolri: Jika Kapolda dan Jajarannya Korupsi, Saya Pidanakan

Menurut dia, yang paling memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menggugat UU KPK adalah pegawai KPK dan komisioner KPK. Sebab, mereka terkait langsung. Itulah mengapa ketiga pimpinan maju sebagai pemohon. Ada kerugian konstitusional di mana UU tersebut akan menghambat kerja KPK. Dalam hal ini pimpinan dan para pegawainya.

Mengenai substansi, Laode menyebut ada beberapa hal yang membuat UU KPK harus batal dari sisi formil. Misalnya, proses pembahasan yang dilakukan dengan terburu-buru dan tidak melibatkan konsultasi publik. "DIM (Daftar Isian Masalah)-nya saja tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder utama dari Undang-Undang KPK," terangnya.

Bahkan, tiak ada naskah akademik dari UU tersebut. juga tidak masuk dalam prolegnas. Ada pula sejumlah pasal yang tidak sinkron satu sama lain. ’’Misalnya pasal 69 dan 70 itu bertentangan,’’ lanjutnya. Khususnya antara pasal 69D dan 70C. Pasal 69D menyebut, sebelum ada dewan pengawas, tugas dan wewenang KPKdilaksanakan menggunakan UU lama. Namun, pasal 70C mengatur bahwa setelah UU revisi berlaku, semua tindakan lidik, sidik, dan penuntutan yang belum selesai harus dijalankan berdasarkan ketentuan UU revisi. "Itulah kalau kita membuat undang-undang secara terburu-buru dan sembunyi-sembunyi," tutur Laode.

Baca Juga:  Tim Abdimas Unri Pasang PLTS untuk Kelompok Peternak Ayam Petelur

Kemudian, ada pembentukan dewan pengawas. Salah satu wewenangnya yang paling menonjol adalah memberi izin penyidik untuk melakukan tugasnya. Padahal, UU tidak menyebutkan bahwa pengawas memiliki wewenang pro justisia. Wewenang tersebut sebelumnya ada pada pimpinan KPK yang memang diberikan mandat sebagai penyidik dan penuntut. Misalnya, ke depan penyidik bila akan memulai penyelidikan tertutup, harus melakukan gelar perkara bersama dewan pengawas. Padahal, barang yang akan digelar belum ada karena baru akan diselidiki. "Apa yang mau digelar," tambahnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menegaskan pihaknya sementara hanya mengajukan gugatan uji formil terhadap UU KPK. Sementara untuk uji materil, pihaknya masih terus mengumpulkan beberapa bukti untuk memperkuat permohonan. "Jadi, kami resmi mengajukan judicial review untuk ranah formil, ya," tegasnya. Ada 39 orang yang menjadi lawyer para pemohon tersebut.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, dia saat ini sedang melakukan sejumlah langkah terkait gugatan itu. Yang utama adalah mendekati para pemohon lain yang sama-sama mengujikan UU KPK untuk mencabut permohonannya. Sebelum Laode dkk, sudah ada enam gugatan yang masuk ke MK.(byu/tyo/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Upaya membatalkan hasil revisi UU KPK lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK) belum usai. Upaya itu tidak hanya datang dari masyarakat, namun juga dari internal KPK sendiri. Rabu (20/11), tiga pimpinan KPK, Agus Rahardjo, Saut Situmorang, dan Laode M Syarif memasukkan permohonan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.

 

Total ada 13 pemohon untuk uji formil itu. Dari pimpinan KPK hanya 3 yang terdaftar sebagai pemohon. Yakni Laode M Syarif, Saut Situmorang dan Agus Rahardjo.

Sementara Alexander Marwata dan Basaria Panjaitan tidak ikut serta. Laode mengatakan nama keduanya memang tidak dimasukkan sebagai pemohon. "(Alex dan Basaria) tidak memasukkan nama, tapi mendukung," kata Laode.

Selain pimpinan KPK, pihak yang terdaftar sebagai pemohon diantaranya adalah mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan M. Jasin. Kemudian mantan pansel capim KPK Betti Alisjahbana. Ada pula tokoh lain seperti Ismid Hadad. "Dan bukan kami yang pengusungnya, jadi (pengusungnya) dari koalisi," imbuh akademisi Universitas Hasanuddin (Unhas) tersebut.

Agus memastikan bahwa dia dan para pemohon lain datang sebagai pribadi warga negara Indonesia. Tidak mewakili institusi KPK. mereka menguji konstitusionalitas UU KPK yang baru. "Walaupun kami masih berharap presiden mengeluarkan Perppu," terangnya di MK kemarin.

Senada, Laode juga menjelaskan perihal status mereka dalam perkara tersebut. Mengingat ada kaitannya dengan kedudukan hukum pemohon. Menurut dia, selain warga negara, yang berurusan langsung dengan KPK adalah pegawainya. "Sebagai pegawai KPK, sebagai pribadi, kami mengajukan (permohonan)," terangnya.

Baca Juga:  Kapolri: Jika Kapolda dan Jajarannya Korupsi, Saya Pidanakan

Menurut dia, yang paling memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk menggugat UU KPK adalah pegawai KPK dan komisioner KPK. Sebab, mereka terkait langsung. Itulah mengapa ketiga pimpinan maju sebagai pemohon. Ada kerugian konstitusional di mana UU tersebut akan menghambat kerja KPK. Dalam hal ini pimpinan dan para pegawainya.

Mengenai substansi, Laode menyebut ada beberapa hal yang membuat UU KPK harus batal dari sisi formil. Misalnya, proses pembahasan yang dilakukan dengan terburu-buru dan tidak melibatkan konsultasi publik. "DIM (Daftar Isian Masalah)-nya saja tidak diperlihatkan kepada KPK sebagai stakeholder utama dari Undang-Undang KPK," terangnya.

Bahkan, tiak ada naskah akademik dari UU tersebut. juga tidak masuk dalam prolegnas. Ada pula sejumlah pasal yang tidak sinkron satu sama lain. ’’Misalnya pasal 69 dan 70 itu bertentangan,’’ lanjutnya. Khususnya antara pasal 69D dan 70C. Pasal 69D menyebut, sebelum ada dewan pengawas, tugas dan wewenang KPKdilaksanakan menggunakan UU lama. Namun, pasal 70C mengatur bahwa setelah UU revisi berlaku, semua tindakan lidik, sidik, dan penuntutan yang belum selesai harus dijalankan berdasarkan ketentuan UU revisi. "Itulah kalau kita membuat undang-undang secara terburu-buru dan sembunyi-sembunyi," tutur Laode.

Baca Juga:  Kejari Kuansing Geledah Rumah Tersangka Dugaan Korupsi di Disdikpora

Kemudian, ada pembentukan dewan pengawas. Salah satu wewenangnya yang paling menonjol adalah memberi izin penyidik untuk melakukan tugasnya. Padahal, UU tidak menyebutkan bahwa pengawas memiliki wewenang pro justisia. Wewenang tersebut sebelumnya ada pada pimpinan KPK yang memang diberikan mandat sebagai penyidik dan penuntut. Misalnya, ke depan penyidik bila akan memulai penyelidikan tertutup, harus melakukan gelar perkara bersama dewan pengawas. Padahal, barang yang akan digelar belum ada karena baru akan diselidiki. "Apa yang mau digelar," tambahnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menegaskan pihaknya sementara hanya mengajukan gugatan uji formil terhadap UU KPK. Sementara untuk uji materil, pihaknya masih terus mengumpulkan beberapa bukti untuk memperkuat permohonan. "Jadi, kami resmi mengajukan judicial review untuk ranah formil, ya," tegasnya. Ada 39 orang yang menjadi lawyer para pemohon tersebut.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, dia saat ini sedang melakukan sejumlah langkah terkait gugatan itu. Yang utama adalah mendekati para pemohon lain yang sama-sama mengujikan UU KPK untuk mencabut permohonannya. Sebelum Laode dkk, sudah ada enam gugatan yang masuk ke MK.(byu/tyo/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari