Pada dekade terakhir ini, ada fenomena yang sungguh memprihatinkan dalam penggunaan bahasa daerah atau bahasa ibu. Hati penulis miris melihat fakta penggunaan bahasa Indonesia yang meluas ke ranah keluarga. Ranah keluarga yang seharusnya menjadi benteng terakhir pemertahanan bahasa ibu sudah disusupi oleh bahasa Indonesia. Dewi, seorang anak yang dilahirkan oleh orang tua yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa sehari-hari, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibunya. Lebih miris lagi, Dewi hidup dalam lingkungan masyarakat yang juga berbahasa daerah. Andaikata saya disuruh menjadi hakim untuk kasus ini (dapat disebut kasus pemunahan bahasa ibu), tunjuk saya akan mengarah kepada kedua orang tua mereka sebagai terdakwa utama dan para pemegang kebijakan dengan tidak menafikan kondisi kebahasaan yang ada.
Para orang tua, terutama orang tua muda zaman sekarang, saya anggap menjadi terduga bersalah dalam kasus akan punahnya bahasa daerah. Mereka mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan bahasa daerah sebagai bahasa kedua (kalaupun ada) bagi anaknya. Mereka beranggapan bahwa andaikata anak mereka tidak diajarkan bahasa Indonesia sedari kecil, pada saat usia sekolah anak mereka akan kesulitan berkomunikasi atau menyerap pelajaran di sekolah. Kesalahan ini didasarkan pada ketidaktahuan mereka tentang teori pemerolehan bahasa dan penggunaan bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Dalam teori pemerolehan bahasa, anak memperoleh bahasa ibu tanpa disengaja dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (dalam hal ini ayah dan ibunya). Dia memperoleh bahasa melalui bunyi-bunyi yang didengarnya tanpa disengaja dan diperintah. Kemampuan berbahasa si anak akan semakin berkembang dengan bertambahnya usia.
Kesalahan orang tua ini akan besar pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa anak. Anak yang ibu, bapak, kakek, nenek, paman, dan bibinya berbahasa dan sudah sedari bayi mendengar percakapan dalam bahasa daerah tetapi sewaktu berbicara, bahkan sebelum bisa bicara si anak diajarkan bahasa Indonesia. Maka, anak bisa saja mengalami gegar bahasa yaitu kondisi terguncang karena adanya benturan perlakuan bahasa dari orang tuanya. Perbendaharaan bahasa daerah yang sudah masuk ke memori otaknya sewaktu bayi tidak dapat digunakan karena orang tuanya mengajak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
Ketakutan orang tua bahwa anaknya akan sulit berkomunikasi pada waktu awal masuk sekolah sangatlah tidak beralasan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 12 Tahun 2018 terdapat aturan bahwa bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar kelas rendah (kelas satu sampai dengan kelas tiga). Guru diperbolehkan memakai bahasa daerah untuk menyampaikan materi pelajaran agar siswa mudah memahami mata pelajaran tersebut. Ada juga kekhawatiran orang tua bahwa anak mereka sulit berkomunikasi kalau ada kawannya yang bukan pengguna bahasa daerahnya. Seandainya mereka tinggal di kota, alasan ini sah-sah saja. Namun, bagi mereka yang tinggal di desa, hal ini jelas terlalu mengada-ada karena pada umumnya masyarakat yang berasal dari luar daerah mereka dapat dihitung dengan jari jumlahnya.
Penulis ingin berbagi pengalaman dengan pembaca yang merasa khawatir dengan kemampuan berbahasa Indonesia anaknya di masa datang. Penulis dan istri bersuku Minangkabau. Penulis lahir di rantau sedangkan istri lahir di wilayah Minangkabau. Walaupun kami tinggal di rantau, kami memakai bahasa Minangkabau sebagai bahasa dalam ranah keluarga. Artinya, komunikasi antara saya dan istri serta anak-anak saya berlangsung dalam bahasa Minangkabau, begitu juga sebaliknya. Awalnya, kami bermastuin di Bandaaceh selama 10 tahun. Kemudian, kami pindah ke Pekanbaru. Kekhawatiran bahwa anak tidak dapat berbahasa Indonesia dengan kawan sebayanya kalau tidak diajarkan bahasa Indonesia dari awal sangat tidak terbukti. Sejak taman kanak-kanak (TK) sampai sekarang memasuki jenjang SLTP, anak saya tidak mempunyai kesulitan yang berarti dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan kawan sebaya ataupun di sekolah.
Anak saya akhirnya menjadi dwibahasawan bahasa Minangkabau dan bahasa Indonesia. Bahasa Minangkabau menjadi bahasa ibu dan bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua bagi anak saya. Tampaknya, pengayaan bahasa Indonesia anak saya saat kecil diperoleh dari menonton siaran televisi dan mendengarkan siaran radio. Tidak saja kemampuan sebagai dwibahasawan, saya menganggap bahwa anak saya mempunyai nilai tambah karena sejak kecil sudah menerapkan alih kode. Dia tahu saat harus berbahasa Indonesia dan saat harus berbahasa Minangkabau. Dia tidak akan mau diajak berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia apabila dia tahu bahwa orang yang berbicara dengannya adalah pemakai bahasa Minangkabau. Hanya saja anak saya tidak bisa berbahasa Aceh karena kawan sepermainannya sewaktu di Aceh tidak berbahasa Aceh. Mereka dibiasakan oleh orang tua mereka berbahasa Indonesia.
Pengalaman saya di atas merupakan salah satu upaya saya mempertahankan bahasa ibu. Pengalaman tersebut ingin saya bagi dengan pembaca dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada 21 Februari ini. Penulis berharap semua pihak yang prihatin terhadap nasib bahasa daerah atau bahasa ibu di tahun-tahun mendatang harus tetap meningkatkan kepedulian mereka. Jangan sampai bahasa daerah/ibu punah karena penggunanya semakin hari semakin berkurang. Kepunahan bahasa daerah akan berimbas pada punahnya budaya daerah. Pada akhirnya keberagaman yang menjadi pengokoh Indonesia akan hilang juga. Para orang tua, mari kita ajarkan anak kita berbahasa daerah, selalu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah dengan mereka, dan jangan takut anak kita tidak mampu berbahasa Indonesia saat dia memasuki usia sekolah! Selamat Hari Bahasa Ibu dan selamatkan bahasa daerah!
Fitriandi Piliang (Pengkaji Bahasa dan Sastra pada Balai Bahasa Provinsi Riau, Pengurus PW FTBM Riau)