Senin, 15 Juli 2024

Karena Perusahaan Tak Tertib Bayar Pesangon

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengubah aturan pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah berdalih, itu dilakukan lantaran rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan untuk membayar pesangon pekerja yang di-PHK.

Meski begitu, buruh tetap menolak rancangan ketentuan baru tersebut.

- Advertisement -

Dalam pasal 156 RUU Ciptaker disebutkan, komponen perhitungan pesangon bagi pekerja yang mengalami PHK berbeda dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di pasal yang sama. Dalam RUU Ciptaker, hanya dua komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan. Yaitu, pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh.

Sementara itu, di UU 13/2003, komponen perhitungan kompensasi PHK mencakup uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti.

Namun, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pada 2019 terdapat sekitar 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja. Dari jumlah itu, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003 hanya sekitar 147 persetujuan bersama atau sekitar 27 persen. Sisanya, 389 persetujuan bersama (73 persen), tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan tersebut.

- Advertisement -

Data itu sejalan dengan laporan World Bank yang mengutip data Sakernas BPS 2018. Berdasar laporan pekerja, 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon, 27 persen pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003, dan hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.

”Data kami menunjukkan tingkat kepatuhan perusahaan rendah. Karena perusahaan tidak mampu membayar pesangon,” ujar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah ditemui di sela-sela sosialisasi RUU Ciptaker di Jakarta kemarin (20/2).

Karena itu, kata dia, perlu ada solusi dari masalah tersebut. Ida menyebutkan, RUU Ciptaker bakal memberikan kepastian bagi pekerja untuk perlindungan pesangon. Selain itu, ada manfaat baru yang akan diberikan kepada mereka yang terkena PHK. Yakni, jaminan kehilangan pekerjaan berupa pemberian cash benefit uang saku, pelatihan vokasi, dan akses penempatan. ”Ini yang tidak ada di UU lama. Ini salah satu bentuk perlindungan yang baru di UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Karena itu, bukan hanya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimasukkan draf RUU Ciptaker yang bersifat omnibus law. Tapi, ada juga UU tentang BPJS dan SJSN. ”Kami memang ingin memperluas lapangan kerja buat yang menganggur. Tapi, jangan salah, UU ini juga berusaha semaksimal mungkin memberikan perlindungan kepada teman-teman yang sedang eksis bekerja,” terang dia.

Baca Juga:  DPD RI Apresiasi Gagasan RUU Perubahan Iklim Menjadi Rekomendasi Muktamar Ke-34 NU

Perlindungan itu berlaku pula bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Diakui, RUU Ciptaker memang tidak akan mengatur bisnis prosesnya. Namun, waktu kerja PKWT dengan waktu tertentu akan diatur pemerintah. Kemudian, akan ada perlindungan apabila sudah bekerja 12 bulan berupa kompensasi satu bulan gaji. PKWT juga akan mendapatkan jaminan keselamatan, jaminan kematian, dan jaminan kecelakaan kerja.

Masalahnya, kelompok buruh menilai hilangnya kejelasan soal lama masa kontrak di pasal 59 UU 13/2003 bisa memberikan celah bagi pengusaha nakal. Mereka bisa saja ogah-ogahan mengangkat pekerja menjadi pegawai tetap. Risikonya, pesangon bisa melayang ketika terjadi PHK. Sebab, pesangon hanya diberikan kepada pegawai tetap.

Merespons hal itu, Menaker menegaskan bahwa sesuai dengan esensinya, PKWT untuk pekerjaan tertentu dan waktu tertentu. Dengan demikian, tidak akan bebas diberikan kelonggaran untuk bisa memberikan kontrak dalam waktu sangat lama. ”Pengusaha dan pekerja mempunyai pilihan setelah waktu tertentunya habis, apakah mau meneruskan atau tidak. Punya pilihan,” katanya.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Haiyani Rumondang meminta masyarakat tidak menduga-duga soal kemungkinan perusahaan nakal. Menurut dia, bisnis itu akan terjadi sesuai dengan pasar.

”Dan, jangan samakan dengan outsourcing ya. Ini beda,” tegasnya.

Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Karena itu, lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah berupaya meningkatkan ekosistem investasi dan membenahi kegiatan berusaha. Dengan begitu, tantangan perekonomian global dapat teratasi.

Perihal amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), dalam RUU Cipta Kerja diatur bahwa usaha dengan risiko rendah cukup menyatakan persetujuan akan memenuhi persyaratan. ”Khusus untuk kawasan industri yang sudah punya amdal dan izin industri yang dibangun sudah sesuai dengan peruntukan kawasan industri tersebut,” katanya.

Terkait perizinan, Airlangga menyatakan bahwa pengurusannya tetap ada di daerah masing-masing. Pihaknya juga berharap semua pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bisa menjalankan online single submission (OSS) sehingga perizinan di setiap daerah terstandardisasi.

Sebagaimana diketahui, dalam RUU Cipta Kerja ada sejumlah pasal yang mengatur investasi dan perizinan berusaha. Jumlahnya 80 pasal. Lalu, pengadaan lahan 17 pasal, investasi pemerintah dan proyek strategis nasional 20 pasal, serta penguatan UMKM dan koperasi 15 pasal. Dengan demikian, porsi substansi terkait kemudahan berusaha, investasi, dan UMKM mencapai 84,5 persen. ”Karena yang terkait hal ini jumlahnya banyak dan tersebar merata,” kata Airlangga.

Baca Juga:  Beli Seragam di Sekolah Jadi Pilihan

Konflik Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, RUU Ciptaker akan memperluas ketimpangan dan konflik agraria. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengungkapkan sejumlah masalah pokok RUU Ciptaker. Mulai masalah pengadaan tanah, diskriminasi atas petani dan masyarakat adat, terhambatnya realisasi reformasi agraria, hingga memperparah konflik agraria struktural.

Berdasar catatan akhir tahun KPA pada 2019, sepanjang 2019 terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektare yang berdampak pada 109.042 kepala keluarga. Selama lima tahun terakhir, terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur, dan properti.

Sementara itu, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68. Artinya, 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah di Indonesia. ’’Apabila disahkan, RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi krisis agraria di atas,’’ jelas Dewi.

Menurut dia, kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis seperti yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan konflik agraria serta ketimpangan dan kemiskinan struktural.

RUU tersebut berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah. Hal itu tertuang dalam perubahan pasal 14 dan penghapusan pasal 15 dan 16 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Selain itu, dengan perubahan tersebut, menurut Dewi, proses pengukuhan kawasan hutan berpotensi hanya dilakukan dengan pendekatan teknologi informasi dan satelit. Tanpa pelibatan masyarakat atau pemerintah desa dan mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan.

’’Hal itu akan membuka kesempatan pada perampasan tanah masyarakat adat dan petani di pinggiran atau dalam klaim kawasan hutan. Masyarakat akan lebih gampang kehilangan tanah mereka atas nama pembangunan infrastruktur dan bisnis.’’

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, saat ini masih dimungkinkan untuk memberikan masukan perbaikan terhadap isi RUU Cipta Kerja tersebut.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja mengubah aturan pesangon bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah berdalih, itu dilakukan lantaran rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan untuk membayar pesangon pekerja yang di-PHK.

Meski begitu, buruh tetap menolak rancangan ketentuan baru tersebut.

Dalam pasal 156 RUU Ciptaker disebutkan, komponen perhitungan pesangon bagi pekerja yang mengalami PHK berbeda dengan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di pasal yang sama. Dalam RUU Ciptaker, hanya dua komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan. Yaitu, pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh.

Sementara itu, di UU 13/2003, komponen perhitungan kompensasi PHK mencakup uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti.

Namun, merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), pada 2019 terdapat sekitar 536 persetujuan bersama (PB) pemutusan hubungan kerja. Dari jumlah itu, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003 hanya sekitar 147 persetujuan bersama atau sekitar 27 persen. Sisanya, 389 persetujuan bersama (73 persen), tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan tersebut.

Data itu sejalan dengan laporan World Bank yang mengutip data Sakernas BPS 2018. Berdasar laporan pekerja, 66 persen pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon, 27 persen pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003, dan hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.

”Data kami menunjukkan tingkat kepatuhan perusahaan rendah. Karena perusahaan tidak mampu membayar pesangon,” ujar Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah ditemui di sela-sela sosialisasi RUU Ciptaker di Jakarta kemarin (20/2).

Karena itu, kata dia, perlu ada solusi dari masalah tersebut. Ida menyebutkan, RUU Ciptaker bakal memberikan kepastian bagi pekerja untuk perlindungan pesangon. Selain itu, ada manfaat baru yang akan diberikan kepada mereka yang terkena PHK. Yakni, jaminan kehilangan pekerjaan berupa pemberian cash benefit uang saku, pelatihan vokasi, dan akses penempatan. ”Ini yang tidak ada di UU lama. Ini salah satu bentuk perlindungan yang baru di UU Cipta Kerja,” tegasnya.

Karena itu, bukan hanya UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimasukkan draf RUU Ciptaker yang bersifat omnibus law. Tapi, ada juga UU tentang BPJS dan SJSN. ”Kami memang ingin memperluas lapangan kerja buat yang menganggur. Tapi, jangan salah, UU ini juga berusaha semaksimal mungkin memberikan perlindungan kepada teman-teman yang sedang eksis bekerja,” terang dia.

Baca Juga:  Eks Koruptor Bisa Maju Pilkada setelah 5 Tahun, KPK Apresiasi MK

Perlindungan itu berlaku pula bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Diakui, RUU Ciptaker memang tidak akan mengatur bisnis prosesnya. Namun, waktu kerja PKWT dengan waktu tertentu akan diatur pemerintah. Kemudian, akan ada perlindungan apabila sudah bekerja 12 bulan berupa kompensasi satu bulan gaji. PKWT juga akan mendapatkan jaminan keselamatan, jaminan kematian, dan jaminan kecelakaan kerja.

Masalahnya, kelompok buruh menilai hilangnya kejelasan soal lama masa kontrak di pasal 59 UU 13/2003 bisa memberikan celah bagi pengusaha nakal. Mereka bisa saja ogah-ogahan mengangkat pekerja menjadi pegawai tetap. Risikonya, pesangon bisa melayang ketika terjadi PHK. Sebab, pesangon hanya diberikan kepada pegawai tetap.

Merespons hal itu, Menaker menegaskan bahwa sesuai dengan esensinya, PKWT untuk pekerjaan tertentu dan waktu tertentu. Dengan demikian, tidak akan bebas diberikan kelonggaran untuk bisa memberikan kontrak dalam waktu sangat lama. ”Pengusaha dan pekerja mempunyai pilihan setelah waktu tertentunya habis, apakah mau meneruskan atau tidak. Punya pilihan,” katanya.

Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Haiyani Rumondang meminta masyarakat tidak menduga-duga soal kemungkinan perusahaan nakal. Menurut dia, bisnis itu akan terjadi sesuai dengan pasar.

”Dan, jangan samakan dengan outsourcing ya. Ini beda,” tegasnya.

Sementara itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, tanpa reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Karena itu, lewat RUU Cipta Kerja, pemerintah berupaya meningkatkan ekosistem investasi dan membenahi kegiatan berusaha. Dengan begitu, tantangan perekonomian global dapat teratasi.

Perihal amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), dalam RUU Cipta Kerja diatur bahwa usaha dengan risiko rendah cukup menyatakan persetujuan akan memenuhi persyaratan. ”Khusus untuk kawasan industri yang sudah punya amdal dan izin industri yang dibangun sudah sesuai dengan peruntukan kawasan industri tersebut,” katanya.

Terkait perizinan, Airlangga menyatakan bahwa pengurusannya tetap ada di daerah masing-masing. Pihaknya juga berharap semua pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) bisa menjalankan online single submission (OSS) sehingga perizinan di setiap daerah terstandardisasi.

Sebagaimana diketahui, dalam RUU Cipta Kerja ada sejumlah pasal yang mengatur investasi dan perizinan berusaha. Jumlahnya 80 pasal. Lalu, pengadaan lahan 17 pasal, investasi pemerintah dan proyek strategis nasional 20 pasal, serta penguatan UMKM dan koperasi 15 pasal. Dengan demikian, porsi substansi terkait kemudahan berusaha, investasi, dan UMKM mencapai 84,5 persen. ”Karena yang terkait hal ini jumlahnya banyak dan tersebar merata,” kata Airlangga.

Baca Juga:  Proyek Rp36 M Alirkan 4.000 Sambungan Air Bersih

Konflik Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, RUU Ciptaker akan memperluas ketimpangan dan konflik agraria. Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengungkapkan sejumlah masalah pokok RUU Ciptaker. Mulai masalah pengadaan tanah, diskriminasi atas petani dan masyarakat adat, terhambatnya realisasi reformasi agraria, hingga memperparah konflik agraria struktural.

Berdasar catatan akhir tahun KPA pada 2019, sepanjang 2019 terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektare yang berdampak pada 109.042 kepala keluarga. Selama lima tahun terakhir, terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur, dan properti.

Sementara itu, ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0,68. Artinya, 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah di Indonesia. ’’Apabila disahkan, RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi krisis agraria di atas,’’ jelas Dewi.

Menurut dia, kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis seperti yang tercantum dalam RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan konflik agraria serta ketimpangan dan kemiskinan struktural.

RUU tersebut berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan, dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah. Hal itu tertuang dalam perubahan pasal 14 dan penghapusan pasal 15 dan 16 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Selain itu, dengan perubahan tersebut, menurut Dewi, proses pengukuhan kawasan hutan berpotensi hanya dilakukan dengan pendekatan teknologi informasi dan satelit. Tanpa pelibatan masyarakat atau pemerintah desa dan mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan.

’’Hal itu akan membuka kesempatan pada perampasan tanah masyarakat adat dan petani di pinggiran atau dalam klaim kawasan hutan. Masyarakat akan lebih gampang kehilangan tanah mereka atas nama pembangunan infrastruktur dan bisnis.’’

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengatakan, saat ini masih dimungkinkan untuk memberikan masukan perbaikan terhadap isi RUU Cipta Kerja tersebut.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: E Sulaiman

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari