Riau memiliki tiga taman nasional yakni Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dan Taman Nasional Zamrud di Siak. Kementrian Kehutanan RI telah menetapkan kawasan TNBT sebagai taman konservasi bagi flora dan fauna yang beraneka ragam. Tim liputan Riau Pos berkesempatan melakukan ekspedisi menyusuri pedalaman salah satu taman nasional itu yakni TNBT beberapa waktu lalu.
Laporan HELFIZON ASSYAFEI, Rantau Langsat
MALAM baru saja menanggalkan jubah hitamnya. Fajar menyingsing menimbulkan safak merah dan kuning di ufuk Timur. Suatu pagi yang asri dan segar di pedalaman hutan Bukit Tigapuluh. Embun pagi masih menetes di dedaunan. Angin bertiup pelan membawa hawa dingin yang menerpa kulit. Jejak hujan tertinggal pada ceruk-ceruk jalan setapak yang tergenang air. Suara satwa hutan terdengar saling bersahutan.
Ketika itu kami (tim liputan Riau Pos, red) sedang berada di pedalaman hutan. Tepatnya di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). TNBT merupakan kawasan hutan tropis dataran rendah yang ada di Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Lokasinya berbatasan dengan Provinsi Jambi. Taman ini memiliki luas 144.223 hektar yang sebagian besar wilayahnya perbukitan yang berjajar rapi di bagian timur Sumatera.
Kawasan ini terletak pada ketinggian 60 – 843 meter di atas permukaan laut dengan puncak tertinggi terdapat pada Bukit Supin. Daerah perbukitan ini terpisah dengan rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang memanjang dari Selatan ke Utara Pulau Sumatera. Secara administratif kawasan hutan Bukit Tigapuluh ini terletak di dua provinsi yaitu Provinsi Riau pada Kabupaten Indragiri Hulu (81. 223 ha) dan Indragiri Hilir (30.000 ha) serta Provinsi Jambi pada Kabupaten Tanjung Jabung Barat (10.000 ha) dan Tebo ( 23.000 ha).
TNBT terbilang kaya dengan flora dan fauna. Di dalam hutan ini terdapat sedikitnya 660 spesies tumbuhan, 246 di antaranya merupakan spesies obat-obatan yang sering dimanfaatkan oleh warga sekitar. 550 spesies yang ada di taman ini merupakan spesies yang sudah langka dan dilindungi, di antaranya jernang (daemonorops draco), pohon nibung(oncosperma tigilarium), getah merah (palaguyum sopi), cendawan muka rimau (rafflessia hasselti), jelutung(dyeracosculata), dan sebagainya.
Di taman ini tumbuh nibung berumpun, tegak lurus dengan ketinggiannya mencapai 20 hingga 30 meter. Pohon ini memiliki makna sendiri bagi orang Riau, yakni melambangkan semangat persatuan dan persaudaraan. Maka, pohon ini pun dijadikan salah satu mascot provinsi Riau. Ini merupakan keindahan sekaligus kekayaan alam yang berharga dan perlu dilestarikan.
Kami pun mulai menyusuri pedalaman TNBT dari Dusun Sadan ketika itu. Jalan setapak di dalam hutan itu tidak rata, basah, licin dan dipenuhi akar pepohonan yang bermunculan di permukaan tanah. Bunyi ranting patah dipijak orang sesekali terdengar dikesunyian hutan pagi itu. Bunyi itu berasal dari kaki-kaki kecil tak beralas yang melangkah selincah kijang hutan. Berjalan seperti orang yang memiliki ilmu meringankan tubuh dalam cerita silat. Kami ikut rombongan kecil yang sedang melintas hutan. Rombongan kecil itu terdiri anak-anak berseragam sekolah yang sedang berjalan paling depan. Di belakang mereka ada Suwandi penduduk lokal.
Bersama kami ada Andi Moenandar seorang staf dari Kantor Balai TNBT dan Riau Pos mengikuti. Ketika itu kami ingin tahu rute yang ditempuh anak-anak di sana untuk mencapai sebuah sekolah marjinal di Dusun Sadan, sebuah dusun kecil di tepi Sungai Gangsal di kaki Bukit Tigapuluh. Rute yang dilewati cukup menantang. Jalan setapak dalam hutan itu tidak seperti jalan setapak umumnya. Tidak mudah dikenali karena sebagian besar nyaris tidak kelihatan ditutupi rimbun semak belukar dan akar yang menjuntai dari pepohonan. Meski demikian anak-anak itu tahu caranya. Hanya dengan melihat semak yang rebah lebih rendah dari yang lain mereka tahu itu kode jalan setapak dalam hutan.
Mereka terus berjalan. Sementara kami tercecer di belakang dengan badan yang basah oleh keringat. Medan yang dilalui memang tidak mudah bagi yang tidak biasa. Sesekali harus melintasi lereng bukit dengan kelandaian 45 derajat dengan kondisi licin. Apalagi malam sebelumnya turun hujan lebat. Lereng bertanah liat kuning itu makin licin. Ketiga siswa SD yakni Yuna (7), Anggi (7) dan Kurnia (8) itu sembari memegang sepatu di tangan, enteng saja melewati lereng tersebut. Sedangkan kami harus berpegangan pada akar pepohonan yang keluar dari tanah. Upaya ini untuk menahan tubuh agar tak merosot ke bawah karena pijakan di tanah liat membuat kaki mudah tergelincir.
Nafas kami tersengal-sengal mengimbangi kecepatan kaki-kaki kecil tersebut. Sejurus kemudian sebuah tantangan lain menunggu: melintasi anak sungai lewat batu-batu pegunungan yang menonjol keluar perut sungai. Batu tersebut berlumut dan licin karena dilalui aliran air terjun bertingkat hanya satu meter di belakang batu-batu itu. Air terjun bertingkat itu bernama air terjun Tembulun Kuning. Dinamakan seperti itu menurut penduduk lokal setempat, Suwandi, karena dulunya wilayah itu ada dusun yang didirikan oleh tetua kampung setempat bernama Datuk Tembulun Kuning.
Sekarang dusun itu tidak ada lagi. Hanya tinggal nama. Sedangkan wilayah itu telah jadi hutan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Melintasi batu licin karena lumut dan derasnya air cukup memicu adrenalin. Sedikit saja silap dan tergelincir batu cadas lainnya menunggu di bawah. Sebuah tantangan yang cukup berbahaya melintasinya. Lagi-lagi kami melihat ketiga bocah itu tak menemui kesulitan berarti melewati anak sungai berbatu yang dihiasi air terjun tersebut. Sementara kami merangkak memegangi ujung batu yang pecah agar tak tergelincir, anak-anak itu telah sampai di seberang. Mereka tak dapat menahan tawa melihat cara kami melintasi anak sungai berbatu tersebut.
Perjalanan dilanjutkan dan kembali masuk hutan. Sejenak suasana agak gelap karena pohon-pohon tinggi saling bertautan menghalangi sinar mentari mencapai tanah. Kami berhenti sejenak di sebuah gundukan tanah yang diberi batu di bagian depannya yang menghadap ke Utara. ”Ini makam Datuk Tembulun Kuning,” ujar Suwandi menjelaskan. Di sekitar pusaranya masih terdapat dua batang bambu yang terpacak bekas tempat lampu colok yang masih menyisakan abu di sumbunya. ”Orang-orang yang pernah tinggal di kampung ini masih kerap kemari ziarah,” ujar Suwandi lagi.
Kaki-kaki kecil tanpa alas itu kembali melangkah. Sejurus kemudian kami kembali menemukan anak sungai yang jernih dan dangkal. Dasar sungai itu penuh dengan pecahan kecil-kecil bebatuan pegunungan. Airnya yang dingin dan segar langsung menyergap kaki saat masuk ke dalamnya. Hanya selutut orang dewasa. Setelah itu perjalanan napak tilas itu berlanjut. Setelah sebuah turunan tajam kami berhadapan dengan rawa yang terkesan agak liar. Namun tidak bagi ketiga bocah itu.