JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Terdakwa kasus dugaan suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Pinangki Sirna Malasari tak kuasa menahan tangis saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di hadapan jaksa penuntut umum (JPU) dan majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Pinangki meminta kemurahan hati majelis hakim untuk memutus perkaranya secara adil.
"Pada kesempatan ini, saya mohon diberikan pengampunan dan mohon diberikan kesempatan untuk dapat segera kembali kepada keluarga dan menjalankan pekerjaan utama saya sebagai seorang ibu bagi anak saya Bimasena,’’ kata Pinangki membacakan pleidoi di PN Tipikor Jakarta, Rabu (20/1).
Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung meminta Hakim dapat memutusnya dengan adil. ’’Tiada kata yang bisa saya sampaikan lagi pada pledoi ini kecuali rasa penghormatan kepada Majelis hakim yang saya percaya bisa memutuskan yang seadil-adilnya,’’ ungkap Pinangki.
Pinangki meyakini, kasus yang menjeratnya dapat dilihat secara jernih oleh majelis hakim. Sehingga dapat mihat perkara yang menjeratnya itu sebagaimana yang didakwakan jaksa.
’’Saya yakin dan percaya bahwa persidangan yang mulia ini akan mengadili yang seadil-adilnya untuk memutuskan apakah perbuatan saya ini merupakan perbuatan yang tercela dan tidak pantas. Atau perbuatan pidana yang telah memenuhi unsur delik pidana sebagaimana yang didakwakan oleh JPU,’’ ujar Pinangki.
Sebelumnya, Pinangki dituntut pidana empat tahun penjara oleh JPU. Jaksa meyakini, Pinangki bersalah menerima suap dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
’’Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Pinangki Sirna Malasari dengan pidana penjara empat tahun penjara dikurangi masa tahanan,’’ kata Jaksa Yanuar Utomo membacakan surat tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (11/1).
Selain dituntut pidana penjara, mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung ini juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.
Jaksa menyatakan, Pinangki yang merupakan aparat penegak hukum tidak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kendati demikian, Pinangki menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya, serta mempunyai anak berusia empat tahun.
Jaksa meyakini, Pinangki menerima uang senilai 500 ribu dolar AS dari yang dijanjikan sebesar 1 juta dolar AS oleh Djoko Tjandra untuk mengurus fatwa di Mahkamah Agung (MA). Uang tersebut diyakini diterima Pinangki melalui mantan politikus Nasdem, Andi Irfan Jaya.(jpg)
Pinangki juga diyakini melakukan pencucian uang. Dia membelanjakan uang hasil suap itu untuk membeli satu unit mobil BMW X5 seharga Rp1.753.836.050; pembayaran apartemen di Amerika Serikat senilai Rp412.705.554 dan pembayaran dokter kecantikan di Amerika Serikat sejumlah Rp419.430.000.
Pinangki juga dinilai telah melakukan perbuatan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra dalam pengurusan fatwa MA. Jaksa meyakini, mereka menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Pinangki dituntut melanggar Pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, Pinangki juga dituntut melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Untuk pemufakatan jahat, Pinangki dituntut melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.(jpg)