Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Tidak Seperti Membalik Telapak Tangan

Senyumnya begitu lebar saat Riaupos.co datang menyambanginya akhir pekan lalu. ‘’Apa kabar,’’ sapanya sambil menyalami. Lama tak berjumpa tidak membuat Mus Mulyadi menjadi kaku. Putra asli Sakai yang telah banyak memberikan perubahan kepada anak muda Sakai ini tetap ramah. Tidak hanya memberikan perubahan kepada pola pikir tetapi juga bagaimana mengubah masyakarat Sakai dalam hal bercocok tanam.

Masyarakat Sakai yang dulu dikenal banyak menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, sekarang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitar tempat tinggal mereka.Sakai yang biasa mengandalkan hidup dari hutan dan sungai, bertani dengan cara berpindah kini bisa berkebun secara modern. Tidak hanya itu, banyak generasi muda Sakai menjadi pengusaha, semuanya itu bermula dari Mus Mulyadi.

Ya, menjadi pengusaha bagi warga Sakai yang identik dengan suku terpencil tidaklah gampang. Mus Mulyadi memulainya dari nol, ia berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI bertugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput.

Mus Mulyadi kemudian berkeinginan menjadi pengusaha. Awal 2000-an, PT CPI (sekarang PT Pertamina Hulu Rokan wilayah kerja Rokan) meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi perusahaan.

”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,’’ jelasnya.

Mus Mulyadi merupakan ketua pertama gabungan pengusaha suku Sakai (Gapensus) Duri, kemudian membuat kerja sama dengan PT CPI. Pada tahun 2006 ada 43 badan usaha milik Sakai yang tergabung dalam Gapensus.

Mus Mulyadi bercerita awal muda dirinya bisa bermitra dengan PT CPI. ‘’Awalnya dapat beasiswa sebagai anak asuh dari istri-istri pegawai PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) atau biasa disebut Persatuan Ibu-ibu Caltex Duri,’’ jelas Mus.

Dulunya hanya 3 orang anak Sakai yang mau sekolah yakni Mus Mulyadi, almarhum Syahril (mantan anggota DPRD Bengkalis) dan Darmi. Ketiganya lulus SD tahun 1984. ‘’Mulai kelas 3 SD mendapat bantuan dari istri-istri karyawan Caltex sebagai anak asuh. Bantuannya berupa baju sekolah, buku, tas, sepatu uang jajan Rp75 sebulan. Jika juara dapat hadiah sepeda. Dan sampai perguruan tinggi dibiayai sekolahnya,’’ kenang Mus.

Sejak kelas II STM, pola bantuan tidak lagi sebagai anak asuh tetapi berupa beasiswa dari Caltex. ‘’Sayangnya saya tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hanya Syahril yang kuliah. Saya berhenti karena tidak ada biaya, dimana beasiswa yang diberikan Caltex dulunya kita yang menalangi membayar uang kuliah lebih dulu nanti setelah terdaftar baru beasiswa diberikan sementara dana talangan ini yang tidak ada, makanya tidak kuliah,’’ katanya getir.

Tahun 1996, Mus Mulyadi memulai peruntungan bekerja di Tripatra (kontraktor PT CPI) selama enam bulan. Tahun 1997, Mus Mulyadi mulai usaha membuat palet kayu dan dimasukkan ke Chevron. Sejak itu mulai berusaha dan ikut padat karya tahun 1999 (membersihkan parit, potong rambut) tahun 2000 mulai buat CV dan mulai ikut tender-tender proyek. ‘’Saat itu saya diajari karyawan CPI bagaimana membuat tender proyek dengan tujuan agar kamis warga Sakai ini bisa juga jadi pengusaha, tidak lagi bekerja serabutan, tidak lagi bekerja pada orang lain. Alhamdulillah, usaha ini menghasilkan, bahkan banyak warga Sakai yang menjadi pengusaha,’’ katanya.

Baca Juga:  Membingkai Negeri dengan Semangat Pengabdian

Pada tahun 2006 ada 43 warga Sakai yang menjadi pengusaha dan seluruhnya bersaing ketat bersama perusahaan lain. ‘’Bahkan ada salah satu direktur perusahaan milik Sakai ini tidak bisa baca tulis, tapi keinginan yang kuat menjadi pengusaha perusahaan itu bisa eksis dan ikut lelang tender proyek,’’ kata Ketua Gapensus Bengkalis ini.

Dari 43 perusahaan itu, lanjut Mus, saat ini tinggal 38 badan usaha yang masih beroperasi. Bahkan setelah alihkelola dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) badan usaha milik warga Sakai ini diberi kesempatan untuk ikut tender. PHR sangat konsen dengan pengembangan warga Sakai.

‘’Saat Dirut PHR Jaffee Arizon Suardin datang mengunjungi kami, Pak Jaffee mengatakan Sakai itu tetap menjadi perhatian PHR untuk terus dikembangkan. Kearifan lokal Sakai dalam penerapan kehidupan yang terus dikembangkan dan dipertahankan,’’ sebut Direktur Utama PT Aka Mulia Sukses ini.

Sebagai bentuk kemampuan warga Sakai di bidang bisnis, PT Aka Mulia Sukses kini sedang mengerjakan proyek amdal dari PT PHR wilayah Kerja (WK) Rokan, pekerjaan penanaman pohon dan perawatan tanaman di area Hoou Bekasap.

Hutan Penyanggah Hidup Sakai

Sebagai suku terpencil di Provinsi Riau, Suku Sakai memiliki aturan-aturan yang bisa menjamin kelestarian hutan dan sungai yakni kearifan lokal mereka menjadi tolak ukur keberhasilan Suku Sakai dalam melestarikan hutan dan sungai.. Bila aturan-aturan yang diberlakukan Suku Sakai ini juga dijalankan suku-suku lain yang ada di Provinsi Riau maka permasalahan kerusakan hutan dan sungai bisa diminimalisir. Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi hutan dan perairan adalah dengan menerapkan zonifikasi lahan yang ketat.

Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian.

"Hutan itu sebagai penyanggah hidup masyarakat Sakai. Lestarikanlah,’’ ujar Ketua Adat Sakai Muhammad Nasir kepada Riau Pos.co.

Dalam membuka ladang, warga Sakai dari dulu hingga sekarang masih menggunakan teknologi sederhana. Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan lingkungan. Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada lingkungan. Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian. Dalam menanam bibit, masyarakat Sakai sangat jarang mengolah tanah.Ini dilakukan selain menghemat tenaga, waktu dan biaya. Kearifan lokal yang ada mempermudah masyarakat untuk melakukan penanaman dengan cara menungal (membuat lubang) di tanah. Di samping itu, pemanfaatan lahan tanpa pengolahan tanah bisa melestarikan lahan pada kondisi alaminya.

Baca Juga:  Makan Durian

Tokoh muda Sakai, Mus Mulyadi mulai usaha dari nol. Dia kini berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI dengan tugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput. Dia kemudian berkeinginan untuk menjadi pengusaha. Awal tahun 2000-an, PT CPI meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, yang bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi perusahaan.

”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,’’ jelas warga asli Sakai ini.

Pada 2012, Mus Mulyadi mulai merambah ke bidang pertanian terpadu. Dengan dukungan PT CPI, dia dan beberapa keluarga Sakai membuat peternakan ikan di kolam berukuran 10 m x 20 m. Mereka diberikan 10 ribu bibit ikan lele, pakan, pelatihan, hingga pendampingan agar usaha tersebut berkesinambungan. ”Saya dikirim ke berbagai daerah untuk belajar budidaya ikan ke Sukabumi, Garut, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Mus Mulyadi.

Awalnya, mereka memang lebih dulu dapat pembinaan PT Chevron Pacific Indonesia, tapi sejak alih kelola wilayah kerja Rokan atau Blok Rokan, warisan masyarakat berdaya ini jadi komitmen PHR untuk ditingkatkan supaya lebih berkembang.

Kelompok yang dia pimpin mengembangkan pertanian terpadu di atas lahan seluas 12 hektar. Perlahan tapi pasti, usaha mereka mulai berkembang. Mulai dari satu kolam, kemudian menjadi dua kolam, tiga kolam, hingga sekarang 16 kolam. Masing-masing kolam berisikan 20 ribu ekor lele, kecuali lele di keramba berukuran 5 x 10 meter yang berisi 10 ribu ekor. Saat ini, kelompoknya mengelola 24 keramba. Mereka menabur benih ikan setiap 10 hari sekali.

”Usaha ini sangat menjanjikan bagi saya maupun para keluarga Sakai yang ikut,” terangnya. Saat ini, kelompok taninya mampu memasok hampir 1 ton ikan lele per hari ke pasar-pasar di Duri, dan 500 Kg per minggu ke langganan di Dumai. Setelah budidaya ikan berkembang, kemudian Mus Mulyadi melihat peluang lain. Yakni, bertanam buah dan sayuran.” Pihak PT CPI menantang kami untuk membuktikan bahwa kami mampu melakukan apa yang kami inginkan. Kami menyambut tantangan itu dengan bekerja keras, mencangkuli tanah untuk membuat kebun,” kenang Mus Mulyadi.

Pada tahap awal, mereka menanam cabai, timun, dan kacang. Kemudian berkembang ke peternakan ayam, bebek, dan burung puyuh. Ada juga masyarakat Sakai yang menekuni peternakan dan penggemukan sapi.

”Saya senang karena kerja keras kami membuahkan hasil. Kini, masyarakat Sakai sudah mampu untuk membeli sepeda motor maupun keperluan lainnya. Bahkan juga ada yang membuat usaha budidaya ikan atau tanaman sendiri,” ceritanya.

Mus Mulyadi menegaskan, pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat harus dibarengi oleh kerja keras, keuletan, dan semangat pengembangan diri para penerima manfaat. Manfaatkan program-program itu untuk menjadikan diri kita lebih mandiri, berdiri di kaki sendiri untuk masa depan yang lebih baik.

 

Senyumnya begitu lebar saat Riaupos.co datang menyambanginya akhir pekan lalu. ‘’Apa kabar,’’ sapanya sambil menyalami. Lama tak berjumpa tidak membuat Mus Mulyadi menjadi kaku. Putra asli Sakai yang telah banyak memberikan perubahan kepada anak muda Sakai ini tetap ramah. Tidak hanya memberikan perubahan kepada pola pikir tetapi juga bagaimana mengubah masyakarat Sakai dalam hal bercocok tanam.

Masyarakat Sakai yang dulu dikenal banyak menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, sekarang lebih mampu beradaptasi dengan perubahan-perubahan di sekitar tempat tinggal mereka.Sakai yang biasa mengandalkan hidup dari hutan dan sungai, bertani dengan cara berpindah kini bisa berkebun secara modern. Tidak hanya itu, banyak generasi muda Sakai menjadi pengusaha, semuanya itu bermula dari Mus Mulyadi.

- Advertisement -

Ya, menjadi pengusaha bagi warga Sakai yang identik dengan suku terpencil tidaklah gampang. Mus Mulyadi memulainya dari nol, ia berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI bertugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput.

Mus Mulyadi kemudian berkeinginan menjadi pengusaha. Awal 2000-an, PT CPI (sekarang PT Pertamina Hulu Rokan wilayah kerja Rokan) meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi perusahaan.

- Advertisement -

”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,’’ jelasnya.

Mus Mulyadi merupakan ketua pertama gabungan pengusaha suku Sakai (Gapensus) Duri, kemudian membuat kerja sama dengan PT CPI. Pada tahun 2006 ada 43 badan usaha milik Sakai yang tergabung dalam Gapensus.

Mus Mulyadi bercerita awal muda dirinya bisa bermitra dengan PT CPI. ‘’Awalnya dapat beasiswa sebagai anak asuh dari istri-istri pegawai PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) atau biasa disebut Persatuan Ibu-ibu Caltex Duri,’’ jelas Mus.

Dulunya hanya 3 orang anak Sakai yang mau sekolah yakni Mus Mulyadi, almarhum Syahril (mantan anggota DPRD Bengkalis) dan Darmi. Ketiganya lulus SD tahun 1984. ‘’Mulai kelas 3 SD mendapat bantuan dari istri-istri karyawan Caltex sebagai anak asuh. Bantuannya berupa baju sekolah, buku, tas, sepatu uang jajan Rp75 sebulan. Jika juara dapat hadiah sepeda. Dan sampai perguruan tinggi dibiayai sekolahnya,’’ kenang Mus.

Sejak kelas II STM, pola bantuan tidak lagi sebagai anak asuh tetapi berupa beasiswa dari Caltex. ‘’Sayangnya saya tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hanya Syahril yang kuliah. Saya berhenti karena tidak ada biaya, dimana beasiswa yang diberikan Caltex dulunya kita yang menalangi membayar uang kuliah lebih dulu nanti setelah terdaftar baru beasiswa diberikan sementara dana talangan ini yang tidak ada, makanya tidak kuliah,’’ katanya getir.

Tahun 1996, Mus Mulyadi memulai peruntungan bekerja di Tripatra (kontraktor PT CPI) selama enam bulan. Tahun 1997, Mus Mulyadi mulai usaha membuat palet kayu dan dimasukkan ke Chevron. Sejak itu mulai berusaha dan ikut padat karya tahun 1999 (membersihkan parit, potong rambut) tahun 2000 mulai buat CV dan mulai ikut tender-tender proyek. ‘’Saat itu saya diajari karyawan CPI bagaimana membuat tender proyek dengan tujuan agar kamis warga Sakai ini bisa juga jadi pengusaha, tidak lagi bekerja serabutan, tidak lagi bekerja pada orang lain. Alhamdulillah, usaha ini menghasilkan, bahkan banyak warga Sakai yang menjadi pengusaha,’’ katanya.

Baca Juga:  Mau Tahu Beda Melahirkan dengan Bantuan Bidan dan Dokter Kandungan?

Pada tahun 2006 ada 43 warga Sakai yang menjadi pengusaha dan seluruhnya bersaing ketat bersama perusahaan lain. ‘’Bahkan ada salah satu direktur perusahaan milik Sakai ini tidak bisa baca tulis, tapi keinginan yang kuat menjadi pengusaha perusahaan itu bisa eksis dan ikut lelang tender proyek,’’ kata Ketua Gapensus Bengkalis ini.

Dari 43 perusahaan itu, lanjut Mus, saat ini tinggal 38 badan usaha yang masih beroperasi. Bahkan setelah alihkelola dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) badan usaha milik warga Sakai ini diberi kesempatan untuk ikut tender. PHR sangat konsen dengan pengembangan warga Sakai.

‘’Saat Dirut PHR Jaffee Arizon Suardin datang mengunjungi kami, Pak Jaffee mengatakan Sakai itu tetap menjadi perhatian PHR untuk terus dikembangkan. Kearifan lokal Sakai dalam penerapan kehidupan yang terus dikembangkan dan dipertahankan,’’ sebut Direktur Utama PT Aka Mulia Sukses ini.

Sebagai bentuk kemampuan warga Sakai di bidang bisnis, PT Aka Mulia Sukses kini sedang mengerjakan proyek amdal dari PT PHR wilayah Kerja (WK) Rokan, pekerjaan penanaman pohon dan perawatan tanaman di area Hoou Bekasap.

Hutan Penyanggah Hidup Sakai

Sebagai suku terpencil di Provinsi Riau, Suku Sakai memiliki aturan-aturan yang bisa menjamin kelestarian hutan dan sungai yakni kearifan lokal mereka menjadi tolak ukur keberhasilan Suku Sakai dalam melestarikan hutan dan sungai.. Bila aturan-aturan yang diberlakukan Suku Sakai ini juga dijalankan suku-suku lain yang ada di Provinsi Riau maka permasalahan kerusakan hutan dan sungai bisa diminimalisir. Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi hutan dan perairan adalah dengan menerapkan zonifikasi lahan yang ketat.

Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian.

"Hutan itu sebagai penyanggah hidup masyarakat Sakai. Lestarikanlah,’’ ujar Ketua Adat Sakai Muhammad Nasir kepada Riau Pos.co.

Dalam membuka ladang, warga Sakai dari dulu hingga sekarang masih menggunakan teknologi sederhana. Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan lingkungan. Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada lingkungan. Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak lingkungan. Kondisi alam asli bukan berubah dalam suatu rangkaian keadaan yang tidak mengejutkan. Itu sama halnya dengan kelestarian. Dalam menanam bibit, masyarakat Sakai sangat jarang mengolah tanah.Ini dilakukan selain menghemat tenaga, waktu dan biaya. Kearifan lokal yang ada mempermudah masyarakat untuk melakukan penanaman dengan cara menungal (membuat lubang) di tanah. Di samping itu, pemanfaatan lahan tanpa pengolahan tanah bisa melestarikan lahan pada kondisi alaminya.

Baca Juga:  Pemkab Salurkan Bantuan Korban Puting Beliung

Tokoh muda Sakai, Mus Mulyadi mulai usaha dari nol. Dia kini berhasil mandiri berkat kegigihan dan kemauan kerasnya untuk terus belajar. Pada 1999-2000, Mus Mulyadi mulai bekerja padat karya di lingkungan PT CPI dengan tugas menyapu, membersihkan parit, dan memotong rumput. Dia kemudian berkeinginan untuk menjadi pengusaha. Awal tahun 2000-an, PT CPI meluncurkan Program Local Business Development (LBD), atau program pengembangan usaha lokal, yang bertujuan mengembangkan kemampuan pengusaha-pengusaha kecil di sekitar wilayah operasi perusahaan.

”Selain bidang pendidikan, program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan PT CPI juga menyentuh bidang ekonomi kecil dan menengah,’’ jelas warga asli Sakai ini.

Pada 2012, Mus Mulyadi mulai merambah ke bidang pertanian terpadu. Dengan dukungan PT CPI, dia dan beberapa keluarga Sakai membuat peternakan ikan di kolam berukuran 10 m x 20 m. Mereka diberikan 10 ribu bibit ikan lele, pakan, pelatihan, hingga pendampingan agar usaha tersebut berkesinambungan. ”Saya dikirim ke berbagai daerah untuk belajar budidaya ikan ke Sukabumi, Garut, dan beberapa daerah lainnya,” ungkap Mus Mulyadi.

Awalnya, mereka memang lebih dulu dapat pembinaan PT Chevron Pacific Indonesia, tapi sejak alih kelola wilayah kerja Rokan atau Blok Rokan, warisan masyarakat berdaya ini jadi komitmen PHR untuk ditingkatkan supaya lebih berkembang.

Kelompok yang dia pimpin mengembangkan pertanian terpadu di atas lahan seluas 12 hektar. Perlahan tapi pasti, usaha mereka mulai berkembang. Mulai dari satu kolam, kemudian menjadi dua kolam, tiga kolam, hingga sekarang 16 kolam. Masing-masing kolam berisikan 20 ribu ekor lele, kecuali lele di keramba berukuran 5 x 10 meter yang berisi 10 ribu ekor. Saat ini, kelompoknya mengelola 24 keramba. Mereka menabur benih ikan setiap 10 hari sekali.

”Usaha ini sangat menjanjikan bagi saya maupun para keluarga Sakai yang ikut,” terangnya. Saat ini, kelompok taninya mampu memasok hampir 1 ton ikan lele per hari ke pasar-pasar di Duri, dan 500 Kg per minggu ke langganan di Dumai. Setelah budidaya ikan berkembang, kemudian Mus Mulyadi melihat peluang lain. Yakni, bertanam buah dan sayuran.” Pihak PT CPI menantang kami untuk membuktikan bahwa kami mampu melakukan apa yang kami inginkan. Kami menyambut tantangan itu dengan bekerja keras, mencangkuli tanah untuk membuat kebun,” kenang Mus Mulyadi.

Pada tahap awal, mereka menanam cabai, timun, dan kacang. Kemudian berkembang ke peternakan ayam, bebek, dan burung puyuh. Ada juga masyarakat Sakai yang menekuni peternakan dan penggemukan sapi.

”Saya senang karena kerja keras kami membuahkan hasil. Kini, masyarakat Sakai sudah mampu untuk membeli sepeda motor maupun keperluan lainnya. Bahkan juga ada yang membuat usaha budidaya ikan atau tanaman sendiri,” ceritanya.

Mus Mulyadi menegaskan, pelaksanaan program-program pengembangan masyarakat harus dibarengi oleh kerja keras, keuletan, dan semangat pengembangan diri para penerima manfaat. Manfaatkan program-program itu untuk menjadikan diri kita lebih mandiri, berdiri di kaki sendiri untuk masa depan yang lebih baik.

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari