Minggu, 28 September 2025
spot_img
spot_img

RUU KUHP, Gelandangan Bisa Dipidana

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Draft RUU KUHP masih menjadi polemik. Sebab, di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang dianggap kontroversi.

Salah satunya yakni pasal 432 yang berbunyi "setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana paling banyak kategori I". Ketentuan itu bertentangan dengan pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan, terkait pasal ini dimaksudkan agar negara lebih bertanggungjawab kepada gelandangan. Sehingga, para gelandangan ini akhirnya bisa diberi jaminan kehidupan yang layak.

"Maksudnya, ini UU mengharuskan yang namanya pemerintah melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara. Dilindungi oleh negara. Cara melindunginya gimana? Ya menjaga mereka supaya tidak jadi gelandangan," ujar Nasir di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (20/9).

Baca Juga:  Acer Book RS, Laptop Keren Kolaborasi Acer dan Porsche Design

Nasir menuturkan, bagi orang yang terpaksa jadi gelandangan, dengan pasal ini diharapkan negara bisa memikirkan solusinya. Dengan kata lain jangan hanya dipandang seorang gelandangan yang tak memiliki apa-apa, namun berakhir pidana.

Penerapan pasal tersebut, lanjutnya, juga bisa diiringi dengan Undang-undang lain. Seperti Undang-undang fakir miskin, Peraturan Daerah (Perda) dan sejenisnya. Sehingga penerapannya bisa terkontrol dengan jelas.

"Ini yang menurut saya kurang dipahami, seolah UU ini hanya ingin memidanakan orang, tapi tidak memikirkan orang yang dipidananya. Padahal ini kan tanggung jawab negara," imbuh Nasir.

Di sisi lain, politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) itu menyampaikan, aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan juga harus mampu menganalisa dengan baik ketika melakukan penegakkan hukum kepada gelandangan. Sehingga harus disimpulkan dengan baik seseorang menjadi gelandangan karena faktor kelalaian negara, atau kesengajaan.

Baca Juga:  KPK Bekuk Ketua DPRD dan eks Kadis Muara Enim

"Jadi memang sebenernya UU ini lebih banyak restorative justice daripada retributive. Banyak orang nggak paham," tegas Nasir.

Untuk itu, Nasir mengatakan, 2 tahun setelah Undang-undang ini disahkan, pemerintah diharuskan melakukan sosialisasi terkait aturan baru ini. Pemerintah juga diminta melakukan pelatihan dan pendidikan kepada aparat penegak hukum agar tidak menjadi pasal karet dalam penegakkannya.

JawaPos.com telah berusaha menghubungi pemerintah melalui Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita untuk meminta pandangan terkait draft RUU KUHP ini. Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Draft RUU KUHP masih menjadi polemik. Sebab, di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang dianggap kontroversi.

Salah satunya yakni pasal 432 yang berbunyi "setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana paling banyak kategori I". Ketentuan itu bertentangan dengan pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan, terkait pasal ini dimaksudkan agar negara lebih bertanggungjawab kepada gelandangan. Sehingga, para gelandangan ini akhirnya bisa diberi jaminan kehidupan yang layak.

"Maksudnya, ini UU mengharuskan yang namanya pemerintah melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara. Dilindungi oleh negara. Cara melindunginya gimana? Ya menjaga mereka supaya tidak jadi gelandangan," ujar Nasir di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (20/9).

Baca Juga:  KPK Bekuk Ketua DPRD dan eks Kadis Muara Enim

Nasir menuturkan, bagi orang yang terpaksa jadi gelandangan, dengan pasal ini diharapkan negara bisa memikirkan solusinya. Dengan kata lain jangan hanya dipandang seorang gelandangan yang tak memiliki apa-apa, namun berakhir pidana.

- Advertisement -

Penerapan pasal tersebut, lanjutnya, juga bisa diiringi dengan Undang-undang lain. Seperti Undang-undang fakir miskin, Peraturan Daerah (Perda) dan sejenisnya. Sehingga penerapannya bisa terkontrol dengan jelas.

"Ini yang menurut saya kurang dipahami, seolah UU ini hanya ingin memidanakan orang, tapi tidak memikirkan orang yang dipidananya. Padahal ini kan tanggung jawab negara," imbuh Nasir.

- Advertisement -

Di sisi lain, politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) itu menyampaikan, aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan juga harus mampu menganalisa dengan baik ketika melakukan penegakkan hukum kepada gelandangan. Sehingga harus disimpulkan dengan baik seseorang menjadi gelandangan karena faktor kelalaian negara, atau kesengajaan.

Baca Juga:  Driver Ojol Ikut Lomba Cerdas Cermat yang Digelar MPR, Begini Kata Bamsoet

"Jadi memang sebenernya UU ini lebih banyak restorative justice daripada retributive. Banyak orang nggak paham," tegas Nasir.

Untuk itu, Nasir mengatakan, 2 tahun setelah Undang-undang ini disahkan, pemerintah diharuskan melakukan sosialisasi terkait aturan baru ini. Pemerintah juga diminta melakukan pelatihan dan pendidikan kepada aparat penegak hukum agar tidak menjadi pasal karet dalam penegakkannya.

JawaPos.com telah berusaha menghubungi pemerintah melalui Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita untuk meminta pandangan terkait draft RUU KUHP ini. Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Draft RUU KUHP masih menjadi polemik. Sebab, di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang dianggap kontroversi.

Salah satunya yakni pasal 432 yang berbunyi "setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana paling banyak kategori I". Ketentuan itu bertentangan dengan pasal 34 UUD 1945, yang menyatakan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan, terkait pasal ini dimaksudkan agar negara lebih bertanggungjawab kepada gelandangan. Sehingga, para gelandangan ini akhirnya bisa diberi jaminan kehidupan yang layak.

"Maksudnya, ini UU mengharuskan yang namanya pemerintah melindungi supaya bagaimana gelandangan itu diberi insentif oleh negara. Dilindungi oleh negara. Cara melindunginya gimana? Ya menjaga mereka supaya tidak jadi gelandangan," ujar Nasir di kompleks DPR RI Senayan, Jakarta, Jumat (20/9).

Baca Juga:  Pajang Tersangka, Ini Penjelasan Ketua KPK

Nasir menuturkan, bagi orang yang terpaksa jadi gelandangan, dengan pasal ini diharapkan negara bisa memikirkan solusinya. Dengan kata lain jangan hanya dipandang seorang gelandangan yang tak memiliki apa-apa, namun berakhir pidana.

Penerapan pasal tersebut, lanjutnya, juga bisa diiringi dengan Undang-undang lain. Seperti Undang-undang fakir miskin, Peraturan Daerah (Perda) dan sejenisnya. Sehingga penerapannya bisa terkontrol dengan jelas.

"Ini yang menurut saya kurang dipahami, seolah UU ini hanya ingin memidanakan orang, tapi tidak memikirkan orang yang dipidananya. Padahal ini kan tanggung jawab negara," imbuh Nasir.

Di sisi lain, politisi Partai Keadilan Sosial (PKS) itu menyampaikan, aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan juga harus mampu menganalisa dengan baik ketika melakukan penegakkan hukum kepada gelandangan. Sehingga harus disimpulkan dengan baik seseorang menjadi gelandangan karena faktor kelalaian negara, atau kesengajaan.

Baca Juga:  8.199 Warga Terima Bansos Tunai

"Jadi memang sebenernya UU ini lebih banyak restorative justice daripada retributive. Banyak orang nggak paham," tegas Nasir.

Untuk itu, Nasir mengatakan, 2 tahun setelah Undang-undang ini disahkan, pemerintah diharuskan melakukan sosialisasi terkait aturan baru ini. Pemerintah juga diminta melakukan pelatihan dan pendidikan kepada aparat penegak hukum agar tidak menjadi pasal karet dalam penegakkannya.

JawaPos.com telah berusaha menghubungi pemerintah melalui Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita untuk meminta pandangan terkait draft RUU KUHP ini. Namun, sampai berita ini diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.

Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi

 

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari