Bangsa Indonesia sedang berduka. Khususnya dunia sastra. Maestro penyair Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Ahad (19/7) di usia 80 tahun.
Laporan: JPG (Tangerang Selatan)
TANGGERANG SELATAN (RIAUPOS.CO) — PEMAKAMAN Sapardi Djoko Damono di Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Kabupaten Bogor berlangsung khidmat. Di tengah penerapan protokol kesehatan, akses untuk mengikuti proses pemakaman dibatasi oleh pihak keluarga. Penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 itu meninggal setelah mejalani perawatan intensif di EKA Hospital BSD, Tangerang Selatan sejak 9 Juli lalu.
Sejumlah kolega dan para murid-murid Sapardi sudah memadati rumah duka di komplek dosen UI No. 133 Jl Ir H Djuanda, Ciputat, Tangerang Selatan selepas zuhur. Jenazah Sapardi tiba di rumah duka sekitar pukul 13.42 WIB. Di tengah pandemi Covid-19 penyemayaman jenazah di rumah duka berlangsung sederhana. Para pelayat bergantian masuk ke rumah untuk memberikan penghormatan terkahir kepada Sapardi. Sekitar pukul 15.00 WIB jenazah dilepas ke pemakaman.
Proses pelepasan jenazah dipimpin oleh Wakil Rektor Universitas Indonesia Bidang SDM dan Aset Muhammad Luthfi Zuhdi. Mewakili pimpinan serta keluarga besar UI, Luthfi menyampaikan ucapan terima kasih.
"Atas dedikasi yang telah diberikan Bapak Sapardi. Seluruh raga dan pemikirannya," katanya.
Sapardi tercatat sebagai dosen tetap Fakultas Sastra UI sejak 1974 lalu. Kemudian pada 1995 dia ditetapkan sebagai guru besar Fakultas Sastra UI. Menurut Luthfi, Pak Sapardi sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Dia berharap keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. Kemudian ilmu, karya, serta pemikiran Sapardi dicatat sebagai amal ibadah.
Lebih lanjut soal meninggalnya Sapardi diceritakan oleh Tatyana Soebianto. Perempuan yang akrab disapa Nana itu adalah generasi awal mahasiswa Sapardi di UI. "Bapak meninggal hari ini (kemarin, red), pagi pukul 09.17," kata Nana. Dia menceritakan Sapardi masuk ke UGD EKA Hospital BSD, Tangerang Selatan pada 8 Juli. Kemudian mulai dirawat di ruangan ICU pada 9 Juli.
Terkait penyebab kematiannya, dia hanya bisa menjelaskan Sapardi mengalami komplikasi. Terjadi campuran berbagai kegagalan organ. "Barangkali karena usia beliau sudah tua juga," tuturnya. Nana mengatakan dalam dua tahun belakangan ini Sapardi kerap menjalani perawatan di RS untuk transfusi darah.
Nana menuturkan tidak ada pesan khusus yang disampaikan sebelum meninggal. Sebagai generasi awal mahasiswa Sapardi di UI, dia bersama Ari Reda dan kawan-kawan dititipi pesan oleh Sapardi untuk mendukung Gerakan mempopulerkan sastra. Khususnya di kalangan pemuda dan anak-anak di sekolahan. Supaya para generasi mud aitu lebih mengenal puisi mealui cara yang ringan. Diantaranya adalah dengan muskalisasi puisi. "Saya dan Reda tetap menjalankan pesan bapak untuk menghidupkan sastra di kalangan pemuda. Melalui jalan kami. Melalui musikalisasi puisi. Di antaranya adalah dilakukan dengan menggubah puisi Hujan Bulan Juni menjadi lagu," paparnya.
Sejumlah tokoh menyampaikan rasa duka atas meninggalnya Sapardi. Diantaranya oleh mantan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, yang juga sering membuat serta membaca puisi di sejumlah forum.
"Mari kita semua mengenangnya dengan cara membaca dan merenungi kata-katanya," tuturnya.
Menurut Lukman, jasa almarhum begitu luar biasa bagi dunia sastra di Indonesia. Menurutnya Sapardi nyaris paripurna hidup dalam sastra. Sapardi tidak hanya mengaruhi dan menyelami dunia sastra. Tetapi juga menghirup dan menebarkan sastra menjadi nafas kehidupan di sekelilingnya.
Politikus PPP itu menyebut Sapardi tak hanya sebagai guru, dosen, dekan, dan guru besar di bidang sastra dengan jumlah anak didiknya yang tiada berbilang. Namun juga seorang master dan suhu di bidang kepenyairan. Dengan kecintaan para pengagumnya yang bukan alang kepalang.
"Karya-karya puisinya nyaris tak pernah luput mengisi berbagai acara pagelaran dan lomba, untuk memperingati beragam peristiwa yang dibuat orang," jelasnya.
Puisi cintanya tak hanya menjadi ungkapan wajib mereka yang kasmaran menunjukkan isi hati kepada sang pujaan. Tapi sampai dituliskan dalam undangan pernikahan. Ungkapan dukacita dan kehilangan juga dirasakan penulis skenario Titien Wattimena. Titien adalah penulis skenario film Hujan Bulan Juni yang dirilis pada 2017. Film yang dibintangi Velove Vexia dan Adipati Dolken itu merupakan adaptasi dari novel dan puisi karya Sapardi.
Selama masa pembuatan skenario, Titien memang menghabiskan waktu bersama Sapardi. "Ini kan dibuat dari karya beliau, jadi ya saya harus meminta arahan dan masukan dari pak Sapardi," ujar Titien saat dihubungi kemarin sore.
Selama pembuatan skenario, Titien menyebut bahwa Sapardi enggan ikut campur dalam proses kreatif. Seluruh proses diserahkan ke tangan Titien. Perempuan yang juga menulis naskah film Dilan 1991 itu diberi kebebasan menerjemahkan karyanya.
"Dia sangat percaya bahwa saya bisa mengadaptasi karyanya dengan baik," katanya.
Titien memberi contoh saat dia hendak menggambarkan karakter dan nasib Sarwono, tokoh utama yang diperankan Adipati. "Kata Pak Sapardi, 'Terserah kamu aja'. Kata beliau, karakter yang di film nggak ada hubungannya sama di buku," ujar penulis 44 tahun itu.
Sebagai penulis naskah film yang sering mengadaptasi dari karya tulis, Titien mengaku banyak belajar dari Sapardi. Apalagi, Sapardi juga menulis buku Alih Wahana. "Kata beliau, skenario film adalah titik pertemuan dan perpisahan antara film dan buku. Itu yang jadi pegangan saya dan saya ingat terus," ujarnya.
Titien sendiri cukup menggemari karya-karya Sapardi. Dia kagum betapa kesederhanaan kata-kata sang penulis bisa membuat hati merasa tentram dan damai. "Nggak usah berpikir keras untuk memahami karya beliau," ujar Titien, yang mengenang Sapardi sebagai sosok ramah dan suka bercanda.
Produser Chand Parwez Servia- yang ikut memproduseri Hujan Bulan Juni- juga merasa kehilangan. Produser Starvision itu mengenang sang penulis sebagai sosok bersahaja layaknya karya-karya puisi yang dia buat.
"Dia sosok guru yang sangat baik dan berdedikasi," ujar Parwez saat dihubungi kemarin.
Parwez pun merasa kehilangan sosok yang menemani masa mudanya. Dia mengaku sebagai pembaca karya-karya Sapardi. "Saya kan termasuk orang yang hidup dan besar dengan karya-karya beliau. Dedikasinya beliau terhadap sastra Indonesia sangat besar," ujar Parwez yang memilih Hujan Bulan Juni sebagai karya Sapardi favoritnya.(wan/len/jpg)