Saat Puncak Kemarau, Bisa Tak Mandi Selama Seminggu

Persoalan air memang menjadi masalah utama di sini, juga di hampir seluruh Pulau Sabu dan Raijua. Mereka memang perlu solusi kongrit agar bisa menikmati air bersih dan hidup yang lebih manusiawi di tanah berbatu karang yang tandus dan gersang ini.

Oleh Hary B Koriun

- Advertisement -

KAMI menuju rumah Yulius. Bukan melanjutkan jalan dari Tabah Turangga menuju atas, namun balik ke arah jalan ke sini tadi. Perjalanan tak sampai satu kilometer ke arah Ledeke, belok ke kanan. Tak jauh dari sana kami berhenti di sebuah rumah yang agak besar. Terlihat beberapa tangki besar penuh air di dekat halaman rumah itu. Di tepi jalan tepatnya.

 “Kalau musim kemarau dan kami benar-benar tak punya air, kami membeli di sini,” ujar Yulius.

- Advertisement -

Oh. Ternyata ini bukan rumahnya.

 “Abang kira ini rumah keluarga saya?” tanya dia sambil tersenyum seperti tahu keterkejutan saya.

Nando juga berpikir seperti apa yang saya pikirkan. Dia tersenyum sebelum memarkirkan motor. Yulius kemudian memanggil yang punya rumah. Dari dalam terdengar suara seorang perempuan. Mereka bicara dalam bahasa Sabu. Intinya, kata Yulius, dia menitipkan motor yang kami bawa.

Kami kemudian jalan kaki keluar dari halaman rumah itu, menyeberangi jalan, masuk ke area pertanian. Ada bekas tanaman kacang-kacangan yang mulai kering bercampur dengan rumput-rumput liar yang juga mulai menguning.

 “Jadi kalau malam, motor dititipkan di rumah tadi?” tanya Nando ke Yulius. Pertanyaan yang sama yang sebenarnya ada dalam pikiran saya.

Yulius mengiyakan. “Tak mungkin motor bisa melalu jalan yang seperti ini,” katanya sambil tertawa. Ada rasa ngilu saya mendengar tertawa Yulius itu.

“Jangankan motor, sepeda pun tak bisa,” tambah Yulius lagi.

Selah melewati jalanan bekas tanaman kacang-kacangan itu, kami sampai ke jalan setapak di atas tanah yang banyak berbatu. Lalu menuruni jalan sempit di antara batu-batu besar. Tak lama setelah itu sampailan kami di rumah Yulius. Ternyata kami tadi melalui jalan memotong. Kalau jalan yang sebenarnya agak jauh, mengikuti jalan setapak tadi.

Ada bekas kebakaran di dekat rumah Yulius. Katanya itu dapur mereka yang terbakar beberapa waktu lalu. Untung apinya tidak merembet ke rumah utama, katanya, karena sama-sama berbahan kayu dan atap daun lontar. Iya, rumah keluarga Yulius masih rumah panggung tradisional dari kayu dengan atap daun lontar. Lantai panggungnya terbuat dari papan. Rumah ini tak besar, sekitar 7 x 5 meter. Kamar-kamarnya disekat dengan kayu juga. Ada dua kamar di rumah itu yang tertutup, lalu ada ruangan terbuka yang agak lebar dibanding kamar-kamar tersebut.

Saat kami sampai, suasana sepi. Hanya ada terlihat beberapa ayam yang sedang mencari makanan di sekitaran rumah. Istri dan anak-anak Yulius ternyata sedang beristirahat di dalam. Juga ayahnya, Benjamin Boni Geti. Ibunya, Analisa Kore, sudah lama meninggal. Yulius punya dua anak. Elischa Hiyama Frans, perempuan, 8 tahun. Sudah kelas 4 SD. Sang adik, Benlich Lifent Boni Geti (4 tahun) belum sekolah. Istrinya, Yorli Ch Frans (29 tahun), sedang mengandung anak ketiga mereka. Yorli baru saja lulus ujian jadi calon PNS sebagai guru SD di Ledeunu, beberapa bulan lalu. Keluarga ini sedang berbahagia dengan kabar itu. Mereka menunggu sudah lama. Sudah lebih dua tahun Yorli menjadi guru honor di sana.

“Inilah rumah kami, Bang. Saya tak menceritakan detilnya dari awal supaya Abang bisa melihat sendiri…” kata Yulius kemudian sambil mempersilahkan kami –saya dan Nando— duduk di ruangan terbuka itu.

“Di rumah inilah saya dan adik saya, Parmenas Boni Geti, lahir, tumbuh. Di lain waktu nanti saya ceritakan detail bagaimana kami hidup,” tambahnya lagi dengan suara yang datar.

Yorli kemudian turun dari rumah menuju dapur yang letaknya di bawah, terpisah dari bangunan utama. Mau bikin kopi katanya. Yulius kemudian bilang kalau saya sedang puasa. Akhirnya dia mengambil air putih untuk Nando. Tapi –mungkin segan dengan saya–  Nando juga tak meminum air itu, padahal saya bilang padanya tak apa-apa. Nando hanya tersenyum.

Beberapa saat kemudian saya turun dari rumah panggung itu menuju belakang rumah, di bekas tanaman sorgum yang sudah mengering. Pohon-pohon lontar yang menjulang tinggi juga terlihat asri dengan langit yang membiru di atasnya. Sorgum dan pohon lontar ini, kata Yulius, adalah sumber pendapatan utama keluarganya. Dari sini pemandangan terlihat indah di kejauhan. Bukit-bukit karang dan pohon lontar terlihat rapi di sejauh mata memandang.          

Persoalan air memang menjadi masalah utama di sini, juga di hampir seluruh Pulau Sabu dan Raijua. Mereka memang perlu solusi kongrit agar bisa menikmati air bersih dan hidup yang lebih manusiawi di tanah berbatu karang yang tandus dan gersang ini.

Oleh Hary B Koriun

KAMI menuju rumah Yulius. Bukan melanjutkan jalan dari Tabah Turangga menuju atas, namun balik ke arah jalan ke sini tadi. Perjalanan tak sampai satu kilometer ke arah Ledeke, belok ke kanan. Tak jauh dari sana kami berhenti di sebuah rumah yang agak besar. Terlihat beberapa tangki besar penuh air di dekat halaman rumah itu. Di tepi jalan tepatnya.

 “Kalau musim kemarau dan kami benar-benar tak punya air, kami membeli di sini,” ujar Yulius.

Oh. Ternyata ini bukan rumahnya.

 “Abang kira ini rumah keluarga saya?” tanya dia sambil tersenyum seperti tahu keterkejutan saya.

Nando juga berpikir seperti apa yang saya pikirkan. Dia tersenyum sebelum memarkirkan motor. Yulius kemudian memanggil yang punya rumah. Dari dalam terdengar suara seorang perempuan. Mereka bicara dalam bahasa Sabu. Intinya, kata Yulius, dia menitipkan motor yang kami bawa.

Kami kemudian jalan kaki keluar dari halaman rumah itu, menyeberangi jalan, masuk ke area pertanian. Ada bekas tanaman kacang-kacangan yang mulai kering bercampur dengan rumput-rumput liar yang juga mulai menguning.

 “Jadi kalau malam, motor dititipkan di rumah tadi?” tanya Nando ke Yulius. Pertanyaan yang sama yang sebenarnya ada dalam pikiran saya.

Yulius mengiyakan. “Tak mungkin motor bisa melalu jalan yang seperti ini,” katanya sambil tertawa. Ada rasa ngilu saya mendengar tertawa Yulius itu.

“Jangankan motor, sepeda pun tak bisa,” tambah Yulius lagi.

Selah melewati jalanan bekas tanaman kacang-kacangan itu, kami sampai ke jalan setapak di atas tanah yang banyak berbatu. Lalu menuruni jalan sempit di antara batu-batu besar. Tak lama setelah itu sampailan kami di rumah Yulius. Ternyata kami tadi melalui jalan memotong. Kalau jalan yang sebenarnya agak jauh, mengikuti jalan setapak tadi.

Ada bekas kebakaran di dekat rumah Yulius. Katanya itu dapur mereka yang terbakar beberapa waktu lalu. Untung apinya tidak merembet ke rumah utama, katanya, karena sama-sama berbahan kayu dan atap daun lontar. Iya, rumah keluarga Yulius masih rumah panggung tradisional dari kayu dengan atap daun lontar. Lantai panggungnya terbuat dari papan. Rumah ini tak besar, sekitar 7 x 5 meter. Kamar-kamarnya disekat dengan kayu juga. Ada dua kamar di rumah itu yang tertutup, lalu ada ruangan terbuka yang agak lebar dibanding kamar-kamar tersebut.

Saat kami sampai, suasana sepi. Hanya ada terlihat beberapa ayam yang sedang mencari makanan di sekitaran rumah. Istri dan anak-anak Yulius ternyata sedang beristirahat di dalam. Juga ayahnya, Benjamin Boni Geti. Ibunya, Analisa Kore, sudah lama meninggal. Yulius punya dua anak. Elischa Hiyama Frans, perempuan, 8 tahun. Sudah kelas 4 SD. Sang adik, Benlich Lifent Boni Geti (4 tahun) belum sekolah. Istrinya, Yorli Ch Frans (29 tahun), sedang mengandung anak ketiga mereka. Yorli baru saja lulus ujian jadi calon PNS sebagai guru SD di Ledeunu, beberapa bulan lalu. Keluarga ini sedang berbahagia dengan kabar itu. Mereka menunggu sudah lama. Sudah lebih dua tahun Yorli menjadi guru honor di sana.

“Inilah rumah kami, Bang. Saya tak menceritakan detilnya dari awal supaya Abang bisa melihat sendiri…” kata Yulius kemudian sambil mempersilahkan kami –saya dan Nando— duduk di ruangan terbuka itu.

“Di rumah inilah saya dan adik saya, Parmenas Boni Geti, lahir, tumbuh. Di lain waktu nanti saya ceritakan detail bagaimana kami hidup,” tambahnya lagi dengan suara yang datar.

Yorli kemudian turun dari rumah menuju dapur yang letaknya di bawah, terpisah dari bangunan utama. Mau bikin kopi katanya. Yulius kemudian bilang kalau saya sedang puasa. Akhirnya dia mengambil air putih untuk Nando. Tapi –mungkin segan dengan saya–  Nando juga tak meminum air itu, padahal saya bilang padanya tak apa-apa. Nando hanya tersenyum.

Beberapa saat kemudian saya turun dari rumah panggung itu menuju belakang rumah, di bekas tanaman sorgum yang sudah mengering. Pohon-pohon lontar yang menjulang tinggi juga terlihat asri dengan langit yang membiru di atasnya. Sorgum dan pohon lontar ini, kata Yulius, adalah sumber pendapatan utama keluarganya. Dari sini pemandangan terlihat indah di kejauhan. Bukit-bukit karang dan pohon lontar terlihat rapi di sejauh mata memandang.          

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya