Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Puasa; Batu atau Daun Talas

PERINTAH puasa diawali dengan kata "hai orang-orang yang beriman…". Sungguh panggilan istimewa dari Allah pada hamba-Nya. Tatkala ibadah lain acapkali Allah menggunakan kalimat "tijarah" pada manusia dengan perkalian derajat atau fadhilah yang dilipatgandakan, namun untuk puasa Allah langsung yang akan menggandakannya. Hal ini sesuai hadis qudsi, bahwa dari Abu Hurairah raberkata, Rasulullah SAW bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya (manusia) kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Panggilan istimewa dari Allah agar manusia berpuasa seyogyanya dijawab oleh hamba dengan jawaban "aku tergolong orang yang bertakwa". Jawaban ini tertera pada akhir ayat QS. al-Baqarah 183. Namun, apakah panggilan Allah telah mampu dijawab atau belum sama sekali dijawab oleh hamba-Nya. Bila puasa ibaratkan air dan aktivitas puasa yang dijalankan oleh hamba bagai media (batu dan daun talas), maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh hamba atas panggilan Allah tersebut, antara lain: Pertama, menjawab panggilan Allah dengan pendekatan syariat. Yaitu melaksanakan puasa sesuai tuntunan fiqih. Panggilan Allah yang dijawab dengan ibadah lahir. Hal ini baik, namun tak mampu menyentuh wilayah batin. Eksistensinya bagai siraman air di daun talas. Daun talas menjadi basah selama air menyirami daunnya. Namun, tatkala hujan berhenti, mentari bersinar memanaskan bumi, air di daun talas pun seiring kering tanpa bekas. Seakan hujan tak pernah jatuh di daunnya. Begitu pula perumpamaan ini pada puasa secara lahir. Memang keindahan dan aktivitas puasa akan terlihat begitu meriah selama bulan Ramadan. Namun, tatkala Ramadan berlalu berganti bulan-bulan setelahnya, aktivitas ramadhan tak terlihat membekas pada batin yang memerintahkan lahiriah beraktivitas yang mencerminkan Ramadan. Seakan, Ramadan hadir hanya membasahi sisi kemanusiaan, namun tak mampu membekas pada sisi kehambaan. Akibatmya, Ramadan hanya mampir sebentar dalam sisi kehidupan, namun nilai-nilainya hanyut tanpa bekas dari tontonan praktik komunikasi vertikal dan horizontal seirama bergantinya bulan.

Baca Juga:  Indonesia Bidik Pasar Ekspor Minyak Goreng ke Pakistan

Kedua, menjawab panggilan dengan pendekatan batin secara personal, namun alpa sisi lahir (sosial). Kenikmatan Ramadan hanya keindahan yang dirasakan secara individual, namun bentuk kesalehan sosial tak mampu terlihat karena keasyikan personal yang lebih dituju. Jawaban panggilan semacam ini bukan pilihan bijak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, "Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga" (HR. Tirmidzi).

Ketiga, menjawab panggilan Allah dengan mensinergikan lahir dan batinnya.  Lahir menyesuaikan syariat, sedangkan batin merasakan nilai-nilai Ramadan untuk diukir dalam hatinya dengan ukiran seluruh nilai Ramadan. Ramadan baginya adalah tetesan air cinta Allah yang menyiram lahir dan batin. Tak ingin melepas Ramadan kecuali dengan membekaskan Ramadan pada diri, bagai tetesan air yang mampu membuat batu yang keras berlubang (peristiwa Ibnu Hajar). Dengan Ramadan yang membekas pada sisi rohani, memberikan perintah pada jasad untuk beraktivitas sebagai orang yang bertakwa, sekaligus menjawab panggilan Allah dengan iman, amal, dan akhlak terpuji. Hal ini maksud kenapa Allah mengkhususkan ibadah puasa antara hamba dan Allah, sebab puasa yang bersinergi lahir dan batin akan terhindar dari penyakit riya’ dan memamerkan ibadah. Untuk itu, Allah sandarkan puasa kepada diri-Nya.

Baca Juga:  Polisi Sebut Dua Tentara Korban Ledakan Granat Asap di Monas Jadi Saksi Kunci

Sungguh, dari ketiga jenis jawaban atas panggilan Allah pada perintah puasa di atas, maka pertanyaan selanjutnya pada posisi manakah kita? Apakah puasa bagai air yang menetes di daun talas yang lunak, tapi tanpa bekas atau air yang menetes pada bongkahan batu yang keras tapi mampu melubanginya. Hanya kita yang mampu menjawabnya secara jujur. Semoga Ramadan tahun ini merupakan Ramadan terbaik kita persembahkan sebagai hamba pada Sang Pencipta. Munajat dan pinta pada Allah, semoga Ramadan tahun ini mampu membekas ihsan pada batin dan menampilkan akhlak pada lahir. Mungkin Ramadan tahun ini merupakan kesempatan terakhir bagi kita memeluk Ramadan dengan iman. Sangat beruntung hamba yang mampu menjawab panggilan Allah dengan iman, Islam, dan ikhsan yang memancar akhlak mulia pasca Ramadan. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. Wa allahua’lam bi al-shawwab.***

 

PERINTAH puasa diawali dengan kata "hai orang-orang yang beriman…". Sungguh panggilan istimewa dari Allah pada hamba-Nya. Tatkala ibadah lain acapkali Allah menggunakan kalimat "tijarah" pada manusia dengan perkalian derajat atau fadhilah yang dilipatgandakan, namun untuk puasa Allah langsung yang akan menggandakannya. Hal ini sesuai hadis qudsi, bahwa dari Abu Hurairah raberkata, Rasulullah SAW bersabda, "Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya (manusia) kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Panggilan istimewa dari Allah agar manusia berpuasa seyogyanya dijawab oleh hamba dengan jawaban "aku tergolong orang yang bertakwa". Jawaban ini tertera pada akhir ayat QS. al-Baqarah 183. Namun, apakah panggilan Allah telah mampu dijawab atau belum sama sekali dijawab oleh hamba-Nya. Bila puasa ibaratkan air dan aktivitas puasa yang dijalankan oleh hamba bagai media (batu dan daun talas), maka ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh hamba atas panggilan Allah tersebut, antara lain: Pertama, menjawab panggilan Allah dengan pendekatan syariat. Yaitu melaksanakan puasa sesuai tuntunan fiqih. Panggilan Allah yang dijawab dengan ibadah lahir. Hal ini baik, namun tak mampu menyentuh wilayah batin. Eksistensinya bagai siraman air di daun talas. Daun talas menjadi basah selama air menyirami daunnya. Namun, tatkala hujan berhenti, mentari bersinar memanaskan bumi, air di daun talas pun seiring kering tanpa bekas. Seakan hujan tak pernah jatuh di daunnya. Begitu pula perumpamaan ini pada puasa secara lahir. Memang keindahan dan aktivitas puasa akan terlihat begitu meriah selama bulan Ramadan. Namun, tatkala Ramadan berlalu berganti bulan-bulan setelahnya, aktivitas ramadhan tak terlihat membekas pada batin yang memerintahkan lahiriah beraktivitas yang mencerminkan Ramadan. Seakan, Ramadan hadir hanya membasahi sisi kemanusiaan, namun tak mampu membekas pada sisi kehambaan. Akibatmya, Ramadan hanya mampir sebentar dalam sisi kehidupan, namun nilai-nilainya hanyut tanpa bekas dari tontonan praktik komunikasi vertikal dan horizontal seirama bergantinya bulan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Polisi Sebut Dua Tentara Korban Ledakan Granat Asap di Monas Jadi Saksi Kunci

Kedua, menjawab panggilan dengan pendekatan batin secara personal, namun alpa sisi lahir (sosial). Kenikmatan Ramadan hanya keindahan yang dirasakan secara individual, namun bentuk kesalehan sosial tak mampu terlihat karena keasyikan personal yang lebih dituju. Jawaban panggilan semacam ini bukan pilihan bijak. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah, "Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga" (HR. Tirmidzi).

Ketiga, menjawab panggilan Allah dengan mensinergikan lahir dan batinnya.  Lahir menyesuaikan syariat, sedangkan batin merasakan nilai-nilai Ramadan untuk diukir dalam hatinya dengan ukiran seluruh nilai Ramadan. Ramadan baginya adalah tetesan air cinta Allah yang menyiram lahir dan batin. Tak ingin melepas Ramadan kecuali dengan membekaskan Ramadan pada diri, bagai tetesan air yang mampu membuat batu yang keras berlubang (peristiwa Ibnu Hajar). Dengan Ramadan yang membekas pada sisi rohani, memberikan perintah pada jasad untuk beraktivitas sebagai orang yang bertakwa, sekaligus menjawab panggilan Allah dengan iman, amal, dan akhlak terpuji. Hal ini maksud kenapa Allah mengkhususkan ibadah puasa antara hamba dan Allah, sebab puasa yang bersinergi lahir dan batin akan terhindar dari penyakit riya’ dan memamerkan ibadah. Untuk itu, Allah sandarkan puasa kepada diri-Nya.

- Advertisement -
Baca Juga:  Seminar Gizi dan Protein Hewani Sampena HATN 2019

Sungguh, dari ketiga jenis jawaban atas panggilan Allah pada perintah puasa di atas, maka pertanyaan selanjutnya pada posisi manakah kita? Apakah puasa bagai air yang menetes di daun talas yang lunak, tapi tanpa bekas atau air yang menetes pada bongkahan batu yang keras tapi mampu melubanginya. Hanya kita yang mampu menjawabnya secara jujur. Semoga Ramadan tahun ini merupakan Ramadan terbaik kita persembahkan sebagai hamba pada Sang Pencipta. Munajat dan pinta pada Allah, semoga Ramadan tahun ini mampu membekas ihsan pada batin dan menampilkan akhlak pada lahir. Mungkin Ramadan tahun ini merupakan kesempatan terakhir bagi kita memeluk Ramadan dengan iman. Sangat beruntung hamba yang mampu menjawab panggilan Allah dengan iman, Islam, dan ikhsan yang memancar akhlak mulia pasca Ramadan. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin. Wa allahua’lam bi al-shawwab.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari