JAKARTA (RIAUPOS.CO) – UU KPK hasil revisi telah berlaku mulai kemarin (17/10). Pasal-pasal yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut mau tidak mau tetap dijalankan pimpinan KPK. Karena itu, satu per satu kewenangan mereka dilucuti sendiri.
Sebagai langkah awal, pimpinan KPK membikin peraturan baru yang salah satunya mengatur kewenangan mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik).
”Yang tanda tangan (persetujuan) sprindik nanti deputi penindakan,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sebelum UU KPK hasil revisi berlaku, persetujuan sprindik ditandatangani pimpinan. Baru kemudian turun ke deputi penindakan dan direktur penyidikan.
Agus mengungkapkan, peraturan komisi tersebut belum ditandatangani. Karena itu, lembaga komisi antirasuah belum menerapkan rencana antisipasi tersebut. ”Di KPK masih bekerja seperti biasa,” terangnya.
Agus kembali memastikan bahwa aktivitas di KPK kemarin masih sama dengan hari-hari sebelum UU KPK berlaku. Operasi tangkap tangan (OTT) juga masih bisa dilakukan bila ada penyelidikan yang dianggap memenuhi syarat. ”Misalkan ada penyelidikan yang sudah matang, perlu ada OTT, ya harus dilakukan OTT,” paparnya. Hal itu bisa dilakukan karena hingga kemarin belum terbentuk dewan pengawas. UU KPK hasil revisi memang menyebutkan bahwa sebelum dewan pengawas terbentuk, aktivitas hukum masih mengacu pada UU yang lama atau sebelum direvisi.
Meski demikian, Agus menegaskan bahwa pihaknya tetap berharap Presiden Joko Widodo bersedia mengeluarkan perppu untuk mengatasi kerancuan UU KPK hasil revisi. ”Kami masih memohon mudah-mudahan Bapak Presiden setelah dilantik bersedia mengeluarkan perppu yang sangat diharapkan oleh KPK dan orang banyak,” imbuh dia.
Sementara itu, sorotan terhadap UU KPK hasil revisi masih santer. Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman bahkan menyebut revisi UU KPK tidak sah lantaran pembetulan kesalahan penulisan tidak melalui rapat paripurna DPR. Boyamin menjelaskan, kesalahan penulisan terkait persyaratan usia pimpinan KPK terdapat pada pasal 29 ayat e yang ditulis 50 tahun, tapi di dalam kurung ditulis empat puluh tahun.
”Permasalahan ini menjadi substansi karena bisa menimbulkan sengketa terkait frasa mana yang sebenarnya berlaku. Apakah angka 50 atau huruf empat puluh?” kata Boyamin. Walau sepele, kesalahan itu seharusnya diselesaikan lewat mekanisme yang benar.
Menurut Boyamin, cara yang dipakai DPR tidak tepat. Sebab, pembetulan kesalahan penulisan dalam UU harus melalui rapat paripurna DPR. ”Produk rapat paripurna hanya diubah dengan rapat paripurna,” tegasnya. Atas dasar itu, dia menyebut UU KPK hasil revisi tidak sah dan batal demi hukum. Dia mencontohkan kesalahan penulisan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas perkara Yayasan Supersemar. Dalam putusan tersebut tertulis Rp 139 juta. Padahal, semestinya Rp 139 miliar. ”Butuh upaya peninjauan kembali untuk membetulkan kesalahan penulisan itu,” terang Boyamin.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman