PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) – Sidang lanjutan dugaan korupsi dengan terdakwa mantan Kepada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (17/6). Seperti sebelum-sebelumnya, sidang dipimpin Hakim Ketua Lilin Herlina.
Dalam sidang itu, penasihat hukum terdakwa Deni Azani SH MH dan kawan-kawan menghadirkan tiga saksi ahli. Yakni Dr Azharuddin M Amin, SP, MSc (saksi fakta/tenaga ahli perencana), Ferdiansyah SH MH (ahli administrasi negara), dan Mexsasai Indra (ahli hukum pidana).
Saksi ahli Mexsasai Indra menjelaskan, apakah jaksa penuntut umum (JPU) memiliki kewenangan meminta Inspektorat Kota Pekanbaru melakukan audit dalam perkara ini. Menurutnya, kalau hanya sebatas meminta melakukan audit silakan saja. Namun, kalau hasil audit yang telah dilakukan Inspektorat Kota Pekanbaru tersebut dijadikan sebagai barang bukti pokok adanya terjadi kerugian negara, tentu itu tidak sah.
Jaksa mempunyai payung hukum untuk melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam peraturan Jaksa Agung.
"Artinya ketika melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi jelas adanya dasar dari laporan masyarakat dan adanya audit dari BPK RI," terangnya.
Ketika berbicara soal kerugian negara berarti sudah ada kerugian yang nyata atau jumlah yang pasti tentu dari hasil audit yang telah dilakukan oleh BPK RI. Atau dilakukan oleh badan yang berwenang (KPK) sendiri dalam menghitung kerugian negara tersebut. "Maka hasil audit tersebut bisa dijadikan sebagai bahan bukti pokok (dalam perkara ini) sebagai barang bukti yang sudah diumumkan," sebutnya.
Sebagaimana yang dikatakan penasihat hukum terdakwa Deni Azani bahwa Inspektorat Kota Pekanbaru tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk audit kerugian negara pada Bapedda Siak. Menurutnya, sebagaimana diketahui Kabupaten Siak tidak berada di bawah Kota Pekanbaru. Itu bertentangan dengan peraturan Wali Kota Pekanbaru No 9 Tahun 2016.
Sementara saksi ahli fakta Azharuddin M Amin menyebutkan, setiap tahun ada penilaian perencanaan pembangunan daerah kabupaten se-Indonesia yang dilakukan Bappenas, dan Siak menjadi terbaik. Menurutnya, terdakwa adalah seorang yang mampu mengambil keputusan yang cepat dan tepat dan bertanggung jawab sehingga perencanaan pembangunan daerah di Siak berjalan dengan baik.
"Tentunya perencanaan pembangunan daerah harus ada dalam anggaran. Kalau tidak, maka tidak bisa dikerjakan atau dilaksanakan," terangnya.
Ketika ditanya JPU Himawan Syahputra terkait soal pemotongan uang perjalanan dinas, pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan makan minum sesuai dengan yang disangkakan kepada terdakwa. Azharuddin tidak mengetahui hal tersebut. Ketika ditanya hakim ketua Lilin Herlina, apakah saksi mengetahui apakah ada kegiatan yang dilaksanakan Bappeda Siak namun tidak dianggarkan, Azharuddin menyebutkan mengetahui hal tersebut. Salah satunya adalah kegiatan perekrutan honorer. Dan faktanya perekrutan honorer itu ada, namun perekrutannya tidak dianggarkan.
Selanjutnya, saksi ahli administrasi negara Ferdiansyah mengatakan, inspektorat di suatu daerah atau kabupaten/kota tidak boleh melakukan audit di daerah yang bukan menjadi kewenangan. Dia tidak boleh memperluas kewenangan atau di luar daerah yang bukan menjadi kewenangan daerahnya.
Seperti sebagai contoh Inspektorat di Kota Pekanbaru melakukan audit di Kabupaten Siak. Karena itu bukan daerah yang menjadi kewenangannya. Hakim Ketua Lilin Herlina yang memimpin sidang memutuskan sidang digelar pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli yang akan dihadirkan penasihat hukum terdakwa. "Sidang akan kembali digelar pekan depan dalam agenda masih mendengarkan keterangan saksi ahli," ucapnya.
Untuk diketahui dalam dakwaan oleh JPU Himawan dkk mengungkap sejumlah nama yang bersama-sama dengan Yan Prana melakukan atau turut serta melakukan perbuatan melawan hukum dalam perkara dugaan korupsi anggaran rutin di Bappeda Siak tahun anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017.
Terdakwa Yan Prana disebut melakukan atau turut serta melakukan perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa. Sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut melawan hukum yaitu menggunakan anggaran perjalanan dinas pada Bapedda Siak TA 2013-TA 2017. Kemudian, mengelola anggaran atas kegiatan pengadaan alat tulis kantor (ATK) pada Bapedda Siak TA 2015 sampai TA 2017. Selanjutnya melakukan pengelolaan makan minum pada Bapedda Siak TA 2013 sampai TA 2017 yang tidak sesuai dengan ketentuan. Sehingga Yan Prana dinilai telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37 (sekitar Rp2,8 miliar).
"Terdakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Sehingga telah merugikan keuangan negara atau merugikan perekonomian negara sebanyak Rp2.896.349.844,37," ujar JPU.
Atas perjalanan anggaran dinas 2013-2017, terdakwa disebut melakukan pemotongan anggaran sebesar 10 persen. Realisasi anggaran 2013 sebesar Rp2.757.426.500, anggaran 2014 sebesar Rp4.860.007.800, anggaran 2015 Rp3.518.677.750, anggaran 2016 Rp1.958.718.000, dan anggaran 2017 Rp2.473.280.300.
Di mana terdakwa secara bersama sama Donna Fitria, Ade Kusendang dan Erita Diduga melakukan mark-up pada anggaran perjalanan dinas pada Bappeda Kabupaten Siak Tahun Anggaran (TA) 2013 sampai dengan TA 2017. Besaran pemotongan berdasarkan total penerimaan yang terdapat di dalam Surat Pertanggungjawaban (SPJ) perjalanan dinas dipotong sebesar 10 persen uang yang diterima pelaksana kegiatan tidak sesuai dengan tanda terima biaya perjalanan dinas yang ditandatangani oleh masing-masing pelaksana yang melakukan perjalanan dinas.
Mekanisme pemotongan anggaran perjalanan dinas tersebut adalah setiap pencairan SPPD dilakukan pemotongan 10 persen. Uang itu dikumpulkan dan disimpan Donna Fitria. Setelah dicatat, uang diserahkan kepada Yan Prana secara bertahap sesuai dengan permintaannya.
Atas perbuatannya, Yan Prana dijerat dengan pasal berlapis sebagaimana tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yakni, Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 10 huruf (b), Pasal 12 huruf (e), Pasal 12 huruf (f), UU Tipikor, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta rupiah dan paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 10 berisikan ancaman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000 dan paling banyak Rp 350.000.000. Sementara di pasal 12 berisikan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.(dof)