(RIAUPOS.CO) — HAMPIR di setiap daerah, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) memicu kegaduhan. Penyebabnya adalah sistem zonasi yang membuat siswa tidak leluasa lagi memilih sekolah. Parlemen menyebutkan sistem zonasi yang digulirkan Kemendikbud dijalankan secara bertahap.
Anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan Ferdiansyah menilai sistem zonasi wajar memicu kegaduhan. Khususnya terkait dengan kuota zonasi yang dipatok minimal 90 persen.
’’Seharusnya implementasi sistem zonasi ini ada peta jalannya (roadmap, red). Dilakukan secara bertahap,’’ jelasnya di Kompleks Gedung DPR, Senin (17/6).
Dia mengatakan pada tahap awal Kemendikbud seharusnya cukup menyebutkan bahwa kuota PPDB berbasis zonasi, prestasi, dan lainnya. Sementara untuk angka atau persentasenya dibuat fleksibel dan diputuskan oleh pemerintah daerah masing-masing. Ferdiansyah menegaskan bahwa pendidikan itu adalah bagian dari otonomi daerah.
’’Atau paling tidak dibuat rentang. Misalnya kuota zonasi dibuat rentang 70 sampai 90 persen. Tidak kaku seperti sekarang yang 90 persen,’’ katanya.
Dengan demikian masing-masing pemda bisa leluasa mengatur kuota disesuaikan dengan kondisi keragaman masyarakat setempat.
Selain itu dia menuturkan Kemendikbud seharusnya tidak langsung menetapkan kuota zonasi PPDB. Tetapi melakukan penyebaran atau pemerataan guru-guru yang berkualitas. Misalnya guru dengan nilai uji kompetensi guru (UKG) tinggi disebar supaya tidak berkumpul di sekolah tertentu.
Dengan adanya penyebaran guru yang berkualitas tersebut, diharapkan kualitas sekolah menjadi seragam. Sehingga orangtua memiliki keyakinan bahwa sekolah di manapun sama saja kualitasnya. Termasuk dengan sarana dan prasarana (sarpras), menurut Ferdiansyah juga harus disamaratakan dulu kualitasnya. Namun yang terjadi saat ini tidak demikian. Ferdiansyah menyebutkan Kemendikbud secara kaku menetapkan bahwa kuota PPDB berbasis zonasi minimal 90 persen. Sisanya kuota siswa berprestasi dan non zonasi masing-masing lima persen.
Akibatnya banyak orangtua yang keberatan atau memprotes aturan PPDB berbasis zonasi itu. Menurut Ferdiansyah wajar jika ada orangtua ingin memasukkan anaknya ke sekolah negeri favorit. Walaupun sekolah itu berada jauh dari tempat tinggalnya. Kondisi ini tidak terjadi jika kualitas sekolah disamaratakan terlebih dahulu, baru kemudian sistem zonasi diterapkan.
Jajaran Kemendikbud belum bisa dimintai komentar terkait masukan supaya PPDB zonasi dilakukan secara bertahap. Sebelumnya Mendikbud Muhadjir Effendy menuturkan bahwa zonasi tidak hanya untuk PPDB saja. Tetapi juga untuk segala aspek pendidikan. Mulai dari identifikasi masalah, evaluasi kinerja, dan pelatihan guru serta rotasi guru. Dengan demikian PPDB berbasis zonasi ke depan juga digunakan untuk acuan dalam rotasi guru. Sehingga guru tidak hanya mengajar di satu sekolah sejak diterima jadi PNS sampai pensiun.
Kepala Biro Pembinaan Anggota Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Mansur menjelaskan sebaiknya orangtua tidak memanfaatkan segala macam celah agar anaknya diterima di sekolah favorit. Sebaliknya orangtua diharapkan bisa mengarahkan anaknya untuk memasuki sekolah terdekat dengan rumahnya.
’’Dan selalu memberi motivasi dan semangat untuk berprestasi kepada anaknya,’’ kata guru SMAN 1 Gunungsari, Lombok Barat itu. Menurut Mansur kondisi kualitas sekolah saat ini memang beragam. Namun dengan adanya sistem zonasi ini, dua sampai tiga tahun mendatang kualitas sekolah bisa lebih merata. (wan/ted)
Laporan JPG, Jakarta