Di pulau karang Raijua, Roni Pau Djema, Jefrison Haryanto Fernando, Yulius Boni Geti dan anak-anak muda lainnya mendirikan taman bacaan masyarakat. Mereka tak ingin anak-anak di pulau terpencil itu hidup dalam kebodohan.
Oleh Hary B Koriun
TAK sempat istirahat lama, Yulius datang ke penginapan, mengajak jalan. Hari sudah menjelang sore, sekitar pukul 14.30 Wita. Perjalanan memang harus dilakukan hari ini karena besok pagi sudah harus berangkat kembali ke Sabu. Saya membonceng di motor Nando yang bertukar motor dengan Yulius. Motor Yulius masih terlihat baru. Baru berumur sekitar 6 bulan. Makanya dianggap layak untuk kami berdua menembus “medan perang” –istilah Nando.
Mereka mengajak saya ke Sumur Maja. Jaraknya sekitar 10 menit dari penginapan. Orang menganggapnya sebagai sumur keramat, karena sekering apa pun musim kemarau, sumur ini tetap berair. Ini berbeda dengan sumur-sumur lainnya milik warga. Sebelum sampai, saya membayangkan sumur ini –yang sempat diceritakan juga oleh Dr Sastri Sunarti– terawat dengan baik karena menjadi salah satu daya tarik wisata yang “dijual” di luar Raijua. Tetapi, semua jauh dari espektasi saya.
Setelah memarkirkan kendaraan, tak terlihat ada tanda-tanda kalau daerah ini adalah tempat yang dibangun untuk tujuan wisata. Kecuali plang nama bertuliskan “Sumur Maja”, tak terlihat tanda-tanda lainnya.
“Beginilah kondisinya. Padahal dulu Dinas Pariwisata mengeluarkan uang banyak untuk melakukan revitalisasi lokasi ini,” sungut Nando, lelaki yang pernah ditempatkan di sebagai pegawai di Dinas Pariwisata Sabu Raijua itu.
Menuju lokasi sumur yang jaraknya hanya sekitar 50 meter, terlihat ternak babi, sapi, atau kambing berkeliaran di sana. Padahal ada beberapa bangunan dangau dengan atap daun lontar yang dibuat di sekitar sumur. Tujuan dibangun dangau itu jelas, untuk tempat berteduh para wisatawan ketika datang ke sini. Namun kini kondisinya sangat buruk. Selain banyak kotoran ternak di sana-sini, bangunan itu juga sudah tak terurus. Sebagaian atapnya sudah terburai.
Saya mendekat ke dekat sumur. Kondisinya juga begitu. Tumbuhan perdu tumbuh di sekitar sumur. Sekali lagi, terlihat tak terawat. Di dalam sumur, terlihat masih ada air. Meski tidak banyak.
“Dulu, bahkan di puncak musim kemarau, sekitar Agustus hingga Oktober, sumur ini tetap berair. Tapi sekarang, baru bulan Mei, airnya tinggal sedikit. Saya tidak tahu apa penyebabnya,” ujar Yulius.
Seperti halnya Nando, Yulius juga menggerutu karena pemerintah hanya bisa membangun dengan biaya tinggi untuk bangunan yang tak seberapa ini. Namun tak dianggarkan bagaimana merawatnya agar tetap tujuan wisata yang layak.
“Abang bayangkan sendiri, berapa dana yang dikeluarkan untuk membangun dangau ini, juga pagar ini. Tapi kemudian dibiarkan tanpa perawatan,” kata Yulius.
Sayang memang. Saya mendengar tentang Sumur Maja ini dari Dr Sastri Sunarti ketika kami masih di Jakarta. Dan tak terbayangkan kalau kondisinya seperti ini. Padahal, konon, mitos dan cerita yang berkembang, sumur ini punya hubungan dengan tokoh bernama Maja, yang kelak ketika dia merantau ke Jawa, menjadi panglima perang hebat dalam sejarah Majapahit, yakni Patih Gajah Mada. Masyarakat Sabu Raijua percaya bahwa Gajah Mada lahir di tanah ini dengan nama Maja. Ketika dia merantau hingga ke tanah Jawa, dia mengubah namanya menjadi Maja. Konon juga, nama Majapahit itu juga nama pilihannya, yang sebagian berasal dari nama aslinya.
“Cerita itu, kita antara percaya atau tidak saja. Keyakinan masyarakat di sini memang begitu. Termasuk salah satu peninggalannya adalah Jubah Maja, letaknya di atas bukit,” kata Nando.
Tentang Jubah Maja itu, cerita Nando, sangat berhubungan dengan mistis. Jubah itu hanya dikeluarkan dan diperlihatkan ke kalayak ramai dalam setahun sekali saat upacara adat. Untuk membawanya dari tempat dia disimpan, harus ada upacara penyembelihan hewan, yakni babi. Kasarnya, darah babi itu menjadi persembahan tahunan. Ketika saya mengatakan ingin melihat jubah itu, Nando bilang tidak bisa. Panjang prosesnya. Harus ada upacara-upacara panjang, termasuk menyembelih babi itu. Itu pun kalau diperbolehkan oleh tetua adat.
Dulu, kata Nando, menurut cerita masyarakat, untuk bisa melihat Jubah Maja itu, harus dipersembahkan darah seorang gadis. Ada kekuatan mistis yang membuat jubah itu bisa memilih sendiri gadis mana yang dipesembahkan. Itu terjadi ratusan tahun dulu yang tingkat kebenarannya juga harus diteliti kembali. Belakangan, darah gadis itu pada prosesnya bisa “ditawar” oleh para pemangku adat untuk diganti dengan darah hewan. Yakni darah babi tersebut. Begitulah cerita dari mulut ke mulut yang memanjang sejak dulu hingga kini. Jubah Maja ini kini disimpan di Desa Ballu.