Minggu, 7 Juli 2024

Dubes Uni Eropa Cek Isu Sawit Tak Ramah Lingkungan

KANDIS (RiauPos.co) – Laporan tentang sawit Indonesia yang tidak ramah lingkungan mendapatkan respons dari Uni Eropa. Bahkan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket langsung mengecek kebenaran informasi yang berkembang di berbagai negara di Eropa itu. 

Vincent datang ke petani kelapa sawit di Desa Belutu, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Selasa (16/11). Dia menempuh jalan menembus perkebunan sawit tanpa jalan aspal sekitar satu jam. 

- Advertisement -

"Tentu saja kami tidak percaya sepenuhnya laporan itu. Makanya kami cek langsung ke mari," ujar Vincent kepada Riau Pos usai kunjungan ke kebun masyarakat. 

Yang dikunjungi memang kebun masyarakat anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Siak. Bukan kebun petani besar apalagi perusahaan. Vincent bahkan sempat berdialog cukup panjang, sekitar 2,5 jam, dengan para petani sawit se-Kabupaten Siak. Selain pengurus SPKS Siak dan Riau, hadir juga pengurus dan anggota SPKS Kabupaten Rohul.  

Vincent mengakui bahwa dia tidaklah pihak yang ahli dalam menentukan apakah perkebunan sawit sudah memenuhi standar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hanya saja dari kunjungannya ke Belutu ini dan mendapatkan langsung cerita dari petani sawit, dia mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang proses pengembangan perkebunan sawit. 

- Advertisement -
Baca Juga:  Polri Sebut CCTV Sedang Diproses Forensik, Kasus Brigadir J Bakal Terang Benderang

Jika pun ada isu lingkungan yang terjadi pada sawit Riau, dia ingin melihat ke depan. Uni Eropa, ujarnya, tidak henti-hentinya mengkampanyekan pembangunan perkebunan sawit yang ramah lingkungan dan memperhatikan hak asasi manusia. Di antaranya adalah tidak merusak hutan, melakukan deforestasi, mencemari lingkungan dan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. 

"Makin hari standar Uni Eropa semakin meningkat. Tentu saja kami harapkan petani bisa memenuhinya," ujar Vincent. 

Dia juga menyebutkan bahwa masyarakat Uni Eropa memerlukan minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia. Banyak industri yang memerlukan minyak sawit, misalnya biofuel. Makanya Uni Eropa tetap mengharapkan minyak sawit dari Indonesia. Hanya saja tentu dengan standar tertentu.

"Tidak hanya minyak sawit yang kami harapkan demikian, tapi juga yang lainnya seperti minyak zaitun, bunga matahari, rotan, karet, dan lainnya," ujarnya.

Kunjungan Dubes Uni Eropa ini menarik perhatian para petani sawit. Beberapa masukan muncul dari petani sawit di Siak dan juga dari Rohul yang datang jauh-jauh dari Tambusai Utara.  

Mardoni dari SPKS Rohul menyebut, pihaknya sudah berusaha untuk membuat pertanian dalam binaan mereka sesuai standar lingkungan. Di antaranya menuju sertifikasi RSPO (roundtable on sustainable palm oil) dan ISPO (Indonesia sustainable palm oil). Hanya saja biaya mengurus keduanya relatif mahal. Bagi perkebunan besar tentu tidak masalah. Tapi akan bermasalah pada petani kecil seperti mereka.

Baca Juga:  Dua Bulan Mendekam di Sel, Akhirnya Diserahkan ke Jaksa

"Tapi kami tetap berusaha meraih keduanya. Begitulah niat kami agar sawit kami tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan," ujar Mardoni.

Hal senada disampaikan Ketua SPKS Siak, Ridwan. Sebenarnya, pihak petani sudah terus berusaha agar pertanian sawit ini dilakukan ramah lingkungan dan memperhatikan hak asasi manusia. Pihaknya tidak melakukan pembakaran lahan, juga tidak mengajak anak-anak bekerja di kebun sawit.

"Memang kadang anak masih diajak ke kebun untuk memperkenalkan lahan dan cara kerja orang tuanya," ujarnya.

Diskusi dalam pertemuan itu berkembang dinamis. Bahkan banyak usulan yang keluar konteks. Merespon itu, Vincent menyebut, bahwa yang tepat menjawab berbagai keluhan para petani adalah Pemerintah Republik Indonesia. Namun pihaknya akan menyampaikan hal ini kepada pemerintah.

"Masukan dan harapan Bapak-Bapak semua juga akan saya sampaikan kepada pimpinan negara Uni Eropa," sebut Vincent.(muh) 

KANDIS (RiauPos.co) – Laporan tentang sawit Indonesia yang tidak ramah lingkungan mendapatkan respons dari Uni Eropa. Bahkan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Vincent Piket langsung mengecek kebenaran informasi yang berkembang di berbagai negara di Eropa itu. 

Vincent datang ke petani kelapa sawit di Desa Belutu, Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Selasa (16/11). Dia menempuh jalan menembus perkebunan sawit tanpa jalan aspal sekitar satu jam. 

"Tentu saja kami tidak percaya sepenuhnya laporan itu. Makanya kami cek langsung ke mari," ujar Vincent kepada Riau Pos usai kunjungan ke kebun masyarakat. 

Yang dikunjungi memang kebun masyarakat anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Siak. Bukan kebun petani besar apalagi perusahaan. Vincent bahkan sempat berdialog cukup panjang, sekitar 2,5 jam, dengan para petani sawit se-Kabupaten Siak. Selain pengurus SPKS Siak dan Riau, hadir juga pengurus dan anggota SPKS Kabupaten Rohul.  

Vincent mengakui bahwa dia tidaklah pihak yang ahli dalam menentukan apakah perkebunan sawit sudah memenuhi standar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Hanya saja dari kunjungannya ke Belutu ini dan mendapatkan langsung cerita dari petani sawit, dia mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang proses pengembangan perkebunan sawit. 

Baca Juga:  Polri Sebut CCTV Sedang Diproses Forensik, Kasus Brigadir J Bakal Terang Benderang

Jika pun ada isu lingkungan yang terjadi pada sawit Riau, dia ingin melihat ke depan. Uni Eropa, ujarnya, tidak henti-hentinya mengkampanyekan pembangunan perkebunan sawit yang ramah lingkungan dan memperhatikan hak asasi manusia. Di antaranya adalah tidak merusak hutan, melakukan deforestasi, mencemari lingkungan dan mempekerjakan anak-anak di bawah umur. 

"Makin hari standar Uni Eropa semakin meningkat. Tentu saja kami harapkan petani bisa memenuhinya," ujar Vincent. 

Dia juga menyebutkan bahwa masyarakat Uni Eropa memerlukan minyak sawit asal Indonesia dan Malaysia. Banyak industri yang memerlukan minyak sawit, misalnya biofuel. Makanya Uni Eropa tetap mengharapkan minyak sawit dari Indonesia. Hanya saja tentu dengan standar tertentu.

"Tidak hanya minyak sawit yang kami harapkan demikian, tapi juga yang lainnya seperti minyak zaitun, bunga matahari, rotan, karet, dan lainnya," ujarnya.

Kunjungan Dubes Uni Eropa ini menarik perhatian para petani sawit. Beberapa masukan muncul dari petani sawit di Siak dan juga dari Rohul yang datang jauh-jauh dari Tambusai Utara.  

Mardoni dari SPKS Rohul menyebut, pihaknya sudah berusaha untuk membuat pertanian dalam binaan mereka sesuai standar lingkungan. Di antaranya menuju sertifikasi RSPO (roundtable on sustainable palm oil) dan ISPO (Indonesia sustainable palm oil). Hanya saja biaya mengurus keduanya relatif mahal. Bagi perkebunan besar tentu tidak masalah. Tapi akan bermasalah pada petani kecil seperti mereka.

Baca Juga:  Sebanyak 2.082 Orang Positif Korona di DKI, 142 Orang Telah Sembuh

"Tapi kami tetap berusaha meraih keduanya. Begitulah niat kami agar sawit kami tetap berkelanjutan dan ramah lingkungan," ujar Mardoni.

Hal senada disampaikan Ketua SPKS Siak, Ridwan. Sebenarnya, pihak petani sudah terus berusaha agar pertanian sawit ini dilakukan ramah lingkungan dan memperhatikan hak asasi manusia. Pihaknya tidak melakukan pembakaran lahan, juga tidak mengajak anak-anak bekerja di kebun sawit.

"Memang kadang anak masih diajak ke kebun untuk memperkenalkan lahan dan cara kerja orang tuanya," ujarnya.

Diskusi dalam pertemuan itu berkembang dinamis. Bahkan banyak usulan yang keluar konteks. Merespon itu, Vincent menyebut, bahwa yang tepat menjawab berbagai keluhan para petani adalah Pemerintah Republik Indonesia. Namun pihaknya akan menyampaikan hal ini kepada pemerintah.

"Masukan dan harapan Bapak-Bapak semua juga akan saya sampaikan kepada pimpinan negara Uni Eropa," sebut Vincent.(muh) 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari