JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Kementerian Kesehatan telah menyusun buku petunjuk teknis vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Meski demikian belum ada kepastian terkait berapa orang yang termasuk program pemerintah dan mandiri. Di sisi lain, ahli meminta pemerintah berhati-hati dalam vaksinasi virus baru ini.
Juru Bicara Kemenkes untuk program vaksinasi Siti Nadia Tarmizi menyatakan bahwa belum ada pembahasan skema pemberian vaksin Covid-19. "Masih dalam pembahasan," katanya kemarin(15/12) ketika dihubungi Jawa Pos (JPG).
Sebelumnya Menteri Koordinator PMK Muhadjir Effendy menyatakan bahwa akan ada pertambahan jumlah penerima vaksin. Mulanya hanya 107 juta orang yang terdiri dari rentan usia 18 hingga 59 tahun. Namun ada wacana akan ditambah menjadi 182 juta orang. Skemanya pun akan diwacanakan tak lagi 30 persen ikut progra pemerintah atau gratis dan 70 persen mandiri. Muhadjir memaparkan bahwa ada wacana 50:50. Artinya separuh mendapatkan vaksin gratis, sisanya akan ikut program berbayar.
Menanggapi ini, Nadia menjelaskan bahwa rencana tersebut belum final. Masih ada pembicaraan antar pimpinan untuk memutuskan skema apa yang akan dilakukan.
Meski demikian dalam buku petunjuk teknis, sudah dijelaskan perencanaan vaksinasi Covid-19. Menurut roadmap badan kesehatan dunia (WHO) Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE) vaksin yang tersedia tidak akan cukup untuk diberikan ke seluruh orang. Maka ada prioritas yang diberikan.
Prioritas yang akan diimunisasi pada awal adalah petugas kesehatan, orang dengan komorbid, dan pekerja yang tidak dapat melakukan jaga jarak secara efektif, misalnya petugas publik.
Menurut juknis yang dikeluarkan oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes itu jumlah target sasaran vaksinasi adalah 107.206.544 orang atau 67 persen dari total penduduk Indonesia yang berusia 18 hingga 59 tahun. Maka kebutuhan vaksin yang ada adalah 246.575.051 dosis. Ini termasuk wastage rate vaksin sebesar 15 persen.
Pelaksanaan vaksinasi akan dilakukan bertahap. Pertama pada 2020 dan tahap selanjutnya 2021. Pendataan dan verifikasi kelompok sasaran dilakukan melalui Sistem Informasi Satu Data Vaksinasi Covid-19. Menurut buku juknis tersebut, jumlah sasaran per kelompik penduduk akan dilakukan melalui rekomendasi KPC-PEN. Hasil pendataan ini yang menjadi dasar perencanaan kebutuhan vaksin dan logistik vaksinasi.
Sementara itu, penambahan cakupan prioritas vaksinasi awal dari 107 juta menjadi 182 juta jiwa diduga dilakukan atas alasan mendukung pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy tidak merinci pertimbangan penambahan jumlah cakupan vaksinasi ini.
Yang jelas, pada vaksinasi awal, tidak seluruhnya perlu divaksin Covid-19. Angka yang dikejar adalah pemenuhan untuk herd immunity. Itupun bisa jadi tidak menggunakan hitungan WHO mengingat persebaran kasus di Indonesia tidak merata. "182 juta kan tidak semua. Itu sekitar 67 persen dari total penduduk Indonesia," ujarnya melalui pesan singkat kemarin.
Disinggung soal detil skema pembagian 50:50 bagi target vaksinasi tersebut, Muhadjir tidak merespon banyak. Dia hanya mengatakan, untuk vaksin mandiri akan ditangani oleh menteri BUMN. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) ini juga menekankan bahwa seluruh skema masih diterus dipertajam. Termasuk soal distribusi vaksin baik untuk yang ditanggung pemerintah ataupun mandiri.
"Masih terus dipertajam dan terus di up-date mengikuti perkembangan," ungkapnya.
Terpisah, Vaksinolog Dirga Sakti Rambe mengungkapkan, bahwa semenjak kedatangan vaksin ke Indonesia, banyak kecenderungan orang berspekulasi, menebak-nebak tentang vaksin Covid-19 ini. Padahal, menurut dia tak perlu seperti itu. Sebab, hingga saat ini BPOM juga masih melakukan kajian-kajian menyangkut keamanan dan efekivitas vaksin tersebut.
"Bukan berarti ini langsung mulai. Tidak akan ada vaksinasi apapun sebelum izin dari BPOM keluar," tegasnya. Jika izin sudah ada, maka memang sudah dipastikan vaksin aman dan efektif. "Ini upaya pemerintah untuk memastikan vaksin aman dan efektif," sambungnya.
Mengenai siapa saja yang menjadi prioritas vaksinasi awal, dokter spesialis penyakit dalam tersebut mengaku setiap negara punya kebijakan berbeda-beda. Tergantung kelompok penduduk mana yang dinilai berisiko tinggi. Di Indonesia sendiri yang jadi target pertama kali adalah tenaga kesehatan. Lalu, masyarakat usia 18-59 tahun. "Meski begitu, semua bisa mendapat vaksin pada kesempatan selanjutnya," ungkapnya.
Lalu, bagaimana dengan penyintas? Dirga mengatakan bahwa, sejatinya vaksin diberikan pada orang sehat sebagai bentuk pencegahan. Sehingga, dalam konteks pandemi ini, bagi yang pernah terinveksi tidak jadi prioritas vaksinasi karena dianggap sudah memiliki kekebalan. "Vaksin diberikan pada orang yang belum pernah terpapar covid-19," katanya.
Begitu juga anak-anak. Pada kasus anak ini, lanjut dia, belum akan ada vaksin Covid-19 dalam waktu dekat. Sebab, uji klinisnya baru akan dilaksanakan. "Makanya kita sadari, tidak semua orang bisa divaksinasi. Diharapkan mereka bisa mendapat manfaat dari orang-orang yang bisa divaksinasi sebagai konsep herd immunity," jelas Dirga. Nah, konsep ini bisa diterapkan jika dua pertiga atau sekitar 60 sampai 70 persen penduduk Indonesia telah divaksinasi.
Meski program vaksinasi telah dipersiapkan, Dirga tetap mewanti-wanti masyarakat agar tetap disiplin menjalankan protokol kesehatan. Upaya pencegahan melalui 3M (pakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak) harus terus dikerjakan. "Ingat jika nanti vaksinnya sudah tiba, kita tetap harus menjalankan protokol kesehatan karena setiap upaya pencegahan tidak ada yang sempurna. Kita harus lakukan semuanya, agar kita terhindar dari Covid-19," ujarnya.
Dalam kesempatan berbeda, Duta Besar Indonesia untuk Uni Emirat Arab (UEA) Husin Bagis mengungkapkan bahwa dirinya sudah mendapat vaksin Covid-19 di UEA. Vaksin ini merupakan program vaksinasi dari pemerintah UEA yang ditujukan bagi warganya dan warga negara lain yang tinggal dan beraktivitas di UEA.