Rabu, 18 September 2024

Nyanyian Satire dari Ceruk Riau

Satire! Itulah kesan yang tertangkap saat menyaksikan karya inovasi, Nyanyian Hutan karya SPN Iwan Irawan Permadi. Karya tari itu mengisahkan penderitaan masyarakat Suku Sakai yang tak pernah usai hingga saat ini.

(RIAUPOS.CO) – DUA orang anak jati Suku Sakai berconggok di bawah Mahligai Sembilan Telingkat. Salah seorang (M Darus) Kumantan Suku Sakai Kampung Mandi Angin-Minas, menandungkan nyanyian dari hutan. Terdengar menyayat hati dan memilukan. Perlahan namun pasti, ia bangkit dan meliuk-liuk dengan lincah.

Satu persatu, orang-orang memakai kostum serupa kayu torok bergerak kesana-kemari, menggambarkan suasana kaum Sakai yang tak lagi berdaya di atas tanah sendiri.

Hutan rimba hanya kenangan. Tinggal semak-samun dan satu dua tunggul kayu. Kondisi kekinian diceruk-ceruk negeri Riau itu disimbolkan lewat ranting-ranting kayu yang digantung terbalik dan bergerak turun-naik. Membuat suasana menjadi tegang. Iwan Irawan Permadi (Sang Koreografer) yang menjadi penari utama, memperlihatkan gerak-gerak perlawanan, meski berujung patah.

- Advertisement -

Nyanyian Hutan karya tari inovasi Iwan Irawan alias Iwan Cobel itu adalah ironi bahkan terkesan satire. Karya berdurasi 40-an menit berhasil menyedot perhatian ratusan apresiator yang menyaksikan karya itu secara langsung di Anjung Seni Idrus Tintin (kompleks Bandar Serai), Sabtu (7/11) lalu.

“Hutan sudah punah-ranah. Sungai tercemar limbah perusahaan yang tak pernah peduli pada pemilik sah tanah itu, Suku Sakai. Pihak perusahaan, kaum kapitalis hanya mengeruk keuntungan belaka. Bentang alam kaum adat salah satu suku anak dalam di Riau itu, kini hanya tinggal kenangan,” ulas Iwan usai pertunjukan.

- Advertisement -

Meski sekejap, seseorang yang bernyanyi seriosa mengenakan jas warna gelap keluar dari arah penonton menuju panggung menjadi simbol yang kuat untuk menunjukkan begitu angkuhnya para kapitalis. Kesan itu cukup menghentak siapa saja yang mampu merasakan penderitaan M Darus dan masyarakat Suku Sakai.

Baca Juga:  Pembajak Film "Keluarga Cemara" Diadili di Jambi

Karya Iwan Cobel ini semakin mengukuhkan bahwa negeri yang kaya raya, tidak otomatis memberi kemakmuran bagi masyarakat yang hidup di atasnya. Kekayaan itu justru menjadi malapetaka yang memporak-porandakan hampir seluruh sisi kehidupan mereka.

Rimba raya yang dulu menjadi penopang kehidupan mereka -kini- tinggal kenangan semata. Bahkan kenangan itu, pun mulai pudar dalam ‘ingatan kolektif’ mereka yang tak sudah-sudah dihunjam kemalangan demi kemalangan. Hutan tergadai, sungai tercemar limbah mematikan, pelanduk, tapir, dan kicau burung-burung, hilang ditelan kecongkakan manusia-manusia tak berhati perut.

Tinggallah kaum Suku Sakai di bekas laman rumah tak bermaya. Mereka tersadai tak berdaya dan ditinggalkan seorang diri tanpa bekal, tanpa pengetahuan memadai menghadapi fenomena miris yang menghimpit hidup dan kehidupan. Modernitas menjadi hantu-hantu jahat yang terus menggerogoti jiwa dan tubuh-tubuh kaum Sakai.

Paling tidak, ilustrasi di atas menjadi dialog puncak yang dikisahkan lewat gerak para penari dalam suguhan “Nyanyian Hutan”. Dalam karya produksi PLT Laksemana itu, sang koreografer ingin menyampaikan pada publik, bahwa jauh di ceruk negeri ini, masyarakat pedalaman memerlukan langkah kongkrit semua pihak terbabit untuk memberi pertolongan.

Roda kehidupan semakin tak menentu. Apa pun yang dilakukan seperti tak berarti. Bahkan semakin mereka melawan, semakin mereka memperlihatkan kerapuhan di depan cermin dunia.

Baca Juga:  Lebih Seru dan Banyak Hadiah

Ditambah lagi, bunyi-bunyi yang ditawarkan komposer Anggara Syatria nyaris bertolakbelakang dengan kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Pemutarbalikan itu tentu saja bukan tanpa alasan, sebab koreografer pun juga membalikkan keadaan sebenarnya. Jika boleh dikatakan, tanah Sakai hari ini, tinggal tunggul-tunggul, karena hutan hanyalah dongeng belaka.

“Kami menghadirkan ‘Mahligai Sembilan Telingkat’ sebagai simbol kekuatan Suku Sakai. Mahligai itu syarat utama yang harus dipenuhi para pasien kepada para Bomo/ Dukun untuk memanggil Putri Tujuh yang bisa menunjukkan obat bagi si sakit. Kami pun mengharapkan, karya ini menjadi perenungan bagi semua orang untuk mencarikan solusi atau jalan keluar atas kondisi memprihatinkan yang dialami Suku Sakai.”

Ia menambahkan, pihak-pihak yang menghancurkan semua sendi kehidupan Suku Sakai, seperti perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi di sana tidak pernah merasa bersalah. Bahkan pihak pemerintah seakan menutup mata dan telinga dan membiarkan kondisi itu berlangsung hingga ratusan tahun. Mereka (pemerintah dan pengusaha) yang mengeruk kekayaan tanah anak jati Melayu Riau, bahkan semakin menggila.

“Kepada siapa lagi kaum Suku Sakai mengadu? Siapa yang mau mendengar keluh-kesah mereka? Terus, kita (orang-orang) yang tinggal diperkotaan hanya diam dan tak memberi kontribusi untuk meringankan penderitaan mereka. Kita semua seolah-olah orang asing di depan saudara sendiri,” ujarnya meyakinkan.

Pergelaran Karya Tari Inovatif “Nyanyian Hutan” didukung program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2020. Selain itu, Bang Iwan berterimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam membantu penyelenggaraan gelar karyanya tersebut.(*)

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 

Satire! Itulah kesan yang tertangkap saat menyaksikan karya inovasi, Nyanyian Hutan karya SPN Iwan Irawan Permadi. Karya tari itu mengisahkan penderitaan masyarakat Suku Sakai yang tak pernah usai hingga saat ini.

(RIAUPOS.CO) – DUA orang anak jati Suku Sakai berconggok di bawah Mahligai Sembilan Telingkat. Salah seorang (M Darus) Kumantan Suku Sakai Kampung Mandi Angin-Minas, menandungkan nyanyian dari hutan. Terdengar menyayat hati dan memilukan. Perlahan namun pasti, ia bangkit dan meliuk-liuk dengan lincah.

Satu persatu, orang-orang memakai kostum serupa kayu torok bergerak kesana-kemari, menggambarkan suasana kaum Sakai yang tak lagi berdaya di atas tanah sendiri.

Hutan rimba hanya kenangan. Tinggal semak-samun dan satu dua tunggul kayu. Kondisi kekinian diceruk-ceruk negeri Riau itu disimbolkan lewat ranting-ranting kayu yang digantung terbalik dan bergerak turun-naik. Membuat suasana menjadi tegang. Iwan Irawan Permadi (Sang Koreografer) yang menjadi penari utama, memperlihatkan gerak-gerak perlawanan, meski berujung patah.

Nyanyian Hutan karya tari inovasi Iwan Irawan alias Iwan Cobel itu adalah ironi bahkan terkesan satire. Karya berdurasi 40-an menit berhasil menyedot perhatian ratusan apresiator yang menyaksikan karya itu secara langsung di Anjung Seni Idrus Tintin (kompleks Bandar Serai), Sabtu (7/11) lalu.

“Hutan sudah punah-ranah. Sungai tercemar limbah perusahaan yang tak pernah peduli pada pemilik sah tanah itu, Suku Sakai. Pihak perusahaan, kaum kapitalis hanya mengeruk keuntungan belaka. Bentang alam kaum adat salah satu suku anak dalam di Riau itu, kini hanya tinggal kenangan,” ulas Iwan usai pertunjukan.

Meski sekejap, seseorang yang bernyanyi seriosa mengenakan jas warna gelap keluar dari arah penonton menuju panggung menjadi simbol yang kuat untuk menunjukkan begitu angkuhnya para kapitalis. Kesan itu cukup menghentak siapa saja yang mampu merasakan penderitaan M Darus dan masyarakat Suku Sakai.

Baca Juga:  Bunuh Penduduk Ukraina, Tentara Rusia Hadapi Sidang Kejahatan Perang

Karya Iwan Cobel ini semakin mengukuhkan bahwa negeri yang kaya raya, tidak otomatis memberi kemakmuran bagi masyarakat yang hidup di atasnya. Kekayaan itu justru menjadi malapetaka yang memporak-porandakan hampir seluruh sisi kehidupan mereka.

Rimba raya yang dulu menjadi penopang kehidupan mereka -kini- tinggal kenangan semata. Bahkan kenangan itu, pun mulai pudar dalam ‘ingatan kolektif’ mereka yang tak sudah-sudah dihunjam kemalangan demi kemalangan. Hutan tergadai, sungai tercemar limbah mematikan, pelanduk, tapir, dan kicau burung-burung, hilang ditelan kecongkakan manusia-manusia tak berhati perut.

Tinggallah kaum Suku Sakai di bekas laman rumah tak bermaya. Mereka tersadai tak berdaya dan ditinggalkan seorang diri tanpa bekal, tanpa pengetahuan memadai menghadapi fenomena miris yang menghimpit hidup dan kehidupan. Modernitas menjadi hantu-hantu jahat yang terus menggerogoti jiwa dan tubuh-tubuh kaum Sakai.

Paling tidak, ilustrasi di atas menjadi dialog puncak yang dikisahkan lewat gerak para penari dalam suguhan “Nyanyian Hutan”. Dalam karya produksi PLT Laksemana itu, sang koreografer ingin menyampaikan pada publik, bahwa jauh di ceruk negeri ini, masyarakat pedalaman memerlukan langkah kongkrit semua pihak terbabit untuk memberi pertolongan.

Roda kehidupan semakin tak menentu. Apa pun yang dilakukan seperti tak berarti. Bahkan semakin mereka melawan, semakin mereka memperlihatkan kerapuhan di depan cermin dunia.

Baca Juga:  Pembajak Film "Keluarga Cemara" Diadili di Jambi

Ditambah lagi, bunyi-bunyi yang ditawarkan komposer Anggara Syatria nyaris bertolakbelakang dengan kondisi yang dialami masyarakat Sakai. Pemutarbalikan itu tentu saja bukan tanpa alasan, sebab koreografer pun juga membalikkan keadaan sebenarnya. Jika boleh dikatakan, tanah Sakai hari ini, tinggal tunggul-tunggul, karena hutan hanyalah dongeng belaka.

“Kami menghadirkan ‘Mahligai Sembilan Telingkat’ sebagai simbol kekuatan Suku Sakai. Mahligai itu syarat utama yang harus dipenuhi para pasien kepada para Bomo/ Dukun untuk memanggil Putri Tujuh yang bisa menunjukkan obat bagi si sakit. Kami pun mengharapkan, karya ini menjadi perenungan bagi semua orang untuk mencarikan solusi atau jalan keluar atas kondisi memprihatinkan yang dialami Suku Sakai.”

Ia menambahkan, pihak-pihak yang menghancurkan semua sendi kehidupan Suku Sakai, seperti perusahaan-perusahaan raksasa yang beroperasi di sana tidak pernah merasa bersalah. Bahkan pihak pemerintah seakan menutup mata dan telinga dan membiarkan kondisi itu berlangsung hingga ratusan tahun. Mereka (pemerintah dan pengusaha) yang mengeruk kekayaan tanah anak jati Melayu Riau, bahkan semakin menggila.

“Kepada siapa lagi kaum Suku Sakai mengadu? Siapa yang mau mendengar keluh-kesah mereka? Terus, kita (orang-orang) yang tinggal diperkotaan hanya diam dan tak memberi kontribusi untuk meringankan penderitaan mereka. Kita semua seolah-olah orang asing di depan saudara sendiri,” ujarnya meyakinkan.

Pergelaran Karya Tari Inovatif “Nyanyian Hutan” didukung program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI 2020. Selain itu, Bang Iwan berterimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam membantu penyelenggaraan gelar karyanya tersebut.(*)

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari