Kawasan Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai) ini dulunya lokasi Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tahun 1994. Sampai sekarang pun masih ada orang yang menyebut Purna MTQ untuk kawasan ini. Layak kiranya seni khat (kaligrafi) menjadi seni penanda di kawasan seni ini. Cebisan pemikiran tersebut sempat terlontar pada Diskusi Kaligrafi Melintas Batas yang ditaja oleh Galeri Hang Nadim (GHN) pekan lalu.
(RIAUPOS.CO) — Salah satu sudut lantai dasar anjungan Kampar yang berada di kompleks Bandar Serai sore itu, Ahad (9/2/2020) nampak ramai. Beberapa meja dan kursi yang disusun setengah melingkar menghadap dua orang yang duduk sebagai pemantik diskusi.
Junaidi Syam dan M Rafles yang didapuk oleh GHN bergantian menyampaikan paparan tentang seni khat (kaligrafi). “Kaidah penulisan huruf Arab Melayu (Jawi) yang cair dan terbuka, angat memungkinkan untuk membuka ruang ditemukannya kaidah-kaidah baru dalam teknik penulisan oleh para al-khattath atau oleh siapa saja. Belum ada kaidah-kaidah baku yang menjadi kesepakatan bersama dalam penulisan Arab Melayu. Jadi ini peluang bagi kreativitas manusia untuk menemukan bentuk-bentuk baru dalam penulisannya. Ini yang dimaksud dengan diksi “melintas batas” dari tajuk diskusi ini,” papar Junaidi Syam yang akrab disapa Jon Kobet memulai diskusi.
Sedangkan kaligrafi Arab, terutama penulisan ayat-ayat Alquran harus benar penulisannya. “Karena Alquran sumber tuntunan umat Islam yang kebenarannya dijamin Allah,” kata pemateri kedua diskusi M Rafles.
Jadi, lanjut Ketua Perkumpulan Kaligrafi dan Zukhrufa (Perkazi) Riau ini, kreativitas bentuk penulisan pada aspek estetikanya. “Bukan berarti tak ada kaidah baru dari tujuh khat standar yang sudah dikenal luas. Khat Al-Maghribi dan Raihani termasuk bentuk baru,” sambungnya.
Mengenai peluang eksplorasi bentuk-bentuk baru kaligrafi yang melintas batas, kedua pemantik sepakat penulisan pada Arab Melayu sangat terbuka. Hal ini karena yang ditulis bukan ayat-ayat Alquran, tetapi penulisan bahasa sehari-hari yang menggunakan huruf Arab.
“Bangsa Melayu diwarisi huruf yang digunakan dalam Alquran. Kitab yang menjadi pedoman hidup orang Islam. Kitab yang dibaca dengan adab yang baik, sehingga juga ditulis dengan adab yang baik dan ditulis untuk kebaikan. Otomatis ini akan menjaga kreativitas yang melintas batas tersebut, hanya kreativitas untuk kebaikan,” papar Jon Kobet menjawab kekhawatiran seorang peserta diskusi bahwa melintas batas tersebut bisa saja menjadi “melewat batas-batas”, jika tak memahami batasan-batasan yang ada.
Kekhawatiran yang lain juga disampaikan seorang peserta diskusi apabila menjadikan seni kaligrafi sebagai mata pencarian. Menjawab pertanyaan ini, Rafles mengatakan bahwa kaligrafi bisa difungsikan sebagai seni, sebagai filsafat, sebagai pendidikan dan sebagai mata pencarian. “Hendaklah kamu memperindah tulisan, hal itu akan membuka pintu rezeki,” jawab Rafles mengutip pernyataan Ali RA, seorang sahabat Nabi.
Diskusi makin menarik ketika Eko, seorang peserta diskusi melontarkan autokritik bahwa semestinya seni khat (kaligrafi Arab) menjadi salah satu seni penanda di kawasan Bandar Serai. “Kawasan ini dulunya kan tempat pelaksanaan MTQ tahun 1994. Setelah peruntukannya berubah menjadi kawasan seni, mestinya seni kaligrafi berkembang di sini,” ujar Eko.
Kritik Eko diamini oleh peserta dikusi yang hadir dan juga oleh kedua pemantik diskusi. “Bukan hanya penanda kawasan Bandar Serai, lebih luas lagi seni kaligrafi berpeluang menjadi keunikan Riau. Keunikan seni rupa Melayu. Karena masih begitu terbuka luas ruang eksplorasinya,” tanggap Jon Kobet.
“Riau salah satu daerah yang diperhitungkan dalam setiap lomba kaligrafi nasional semisal ajang MTQ,” tutup Rafles yang sehari-hari seorang kaligrafer dan pengajar kaligrafi.
Diskusi yang berlangsung hingga pukul 18.00 WIB tersebut sepakat untuk diadakan kembali oleh GHN dengan tema yang dipertajam seputar eksplorasi seni kaligrafi.(kun)
Laporan Furqon Elwe, Pekanbaru