ORANG tanpa gejala (OTG) merupakan istilah yang digunakan tim medis dalam menangani wabah Covid-19, di samping istilah ODP dan PDP. Pakar Covid-19 mengatakan OTG lebih berbahaya. Bahkan bagi yang telah terkonfimasi positif Covid-19 sekalipun. OTG sering juga disebut silent killer. Ia tidak memiliki gejala, seperti flu yang mengakibatkan demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan dan sakit kepala.
Gejala dapat hilang dan sembuh atau malah memberat. Penderita dengan gejala yang berat bisa mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut muncul ketika tubuh bereaksi melawan virus corona. Meskipun orang yang terkonfirmasi virus corona dengan segala gejalanya sangat berbahaya, namun yang tidak menunjukkan gejala tentunya jauh lebih berbahaya. Tanpa disadari ia tetap beraktivitas seperti biasa. Tidak mengisolasi diri. Akhirnya menjadi carier dan menyebarkannya ke banyak orang.
Di satu sisi, kondisi OTG sama ibarat konsep istidraj dalam Islam. Yaitu azab yang Allah SWT berikan kepada seseorang tanpa gejala. Secara umum dipahami bahwa seseorang yang taat kepada Allah, namun mengalami gangguan keamanan, kekurangan pangan, kesulitan ekonomi (QS, al-Baqarah[2]; 155) dan berbagai kejadian yang tidak menyenangkan lainnya, dianggap gejala dan tanda bahwa Allah SWT sayang dan sedang mengujinya. Tujuannya agar ia naik kelas menjadi manusia cluster mulia dan terbaik.
Sebaliknya, ada orang yang dianugerahkan Allah kesenangan dan nikmat, meskipun jauh dari-Nya. Kualitas ibadahnya semakin buruk, semakin tidak ikhlas dan berkurang kuantitasnya. Sementara maksiat semakin banyak. Baik kepada Allah ataupun manusia. Namun rezekinya tetap melimpah ruah. Kesenangan hidup begitu mudah didapatkan. Ia tidak pernah sakit, celaka dan panjang umur. Bahkan Allah berikan keluarbiasaan pada kekuatan tubuhnya. Maka berhati-hatilah, bisa jadi ini adalah istidraj baginya. Secara berangsur Allah menariknya dalam kebinasaan. Bisa jadi itu menjadi azab baginya apakah dia bertobat atau semakin jauh. Ali Bin Abi Thalib RA berkata : "Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepada-Nya."
Seseorang yang melakukan kesalahan kemudian ditegur oleh Allah dengan suatu musibah, seperti sakit maka itu lebih baik. Allah SWT mengirimkan sakit tersebut sebagai signal agar ia segera bertobat kepada Allah SW: "Tidaklah seorang Muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan menggugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya". (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis Rasulullah tersebut secara implisit memberikan pemahaman bahwa sakit sebagai media penghapus dosa-dosa. Allah SWT turunkan sakit sebagai signal atau gejala alarm bahwa yang bersangkutan berdosa dan segera bertobat. Bisakah manusia membedakan bahwa kesenangan dan kenikmatan yang diperoleh itu karunia Allah, ujian ataukah istidraj? Rasulullah Muhammad SAW menjawab: “Bila kamu melihat Allah memberi seseorang kenikmatan dunia yang diinginkannya, padahal ia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, itulah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad)
Allah SWT memberikan kenikmatan kepada seseorang di dunia untuk menyempurnakan kenikmatan kepada orang-orang yang jauh dari-Nya. Namun ketika di akhirat hapus nikmat tersebut dan menggantikan dengan azab yang pedih.
"Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan." (QS. Ali ‘Imran[3]: 178)
Istidraj ibarat virus yang sangat berbahaya, karena Allah SWT menghapus rasa sensitivitas tafakur dan syukur dalam dirinya. Saatnya mengintrospeksi diri sendiri. Tidak terlena dengan nikmat yang dianugerahkan Allah SWT. Seseorang yang mendapat pangkat tinggi menganggap telah mendapatkan anugerah dan nikmat dari Allah SWT. Padahal boleh jadi kedudukan itu, seperti kata Umar bin Abdul Aziz, petaka atau musibah bila yang bersangkutan tidak mengembannya dengan baik. Bisa jadi seorang pejabat yang memiliki kedudukan tinggi dan penghasilan yang tinggi masih saja mengkorupsi uang rakyatnya dengan berbagai alasan untuk membenarkan keserakahannya.
Demikian pula orang kaya yang tidak memiliki filantropi Islam dalam bentuk zakat, infaq dan sedekah (ZIS). Idealnya, semakin banyak jumlah harta yang dimiliki, semakin tinggi pula rasa kedermawanannya. Kebanyakan orang merasa harta yang didapat adalah miliknya seorang diri. Ia merasa terlalu sayang jika hartanya harus dibagi dengan orang lain walaupun dalam bentuk sedekah atau zakat sekalipun. Namun ternyata Allah SWT masih bermurah hati menganugerahkan harta untuknya.
Seseorang yang diuji Allah SWT dengan kesulitan hidup dan sesuatu yang tidak mengenakkan, namun tetap taat dan semakin dekat dengan-Nya, merupakan mukmin yang disayang Allah SWT, karena telah mengirim signal dan gejala baik pada dirinya. Sebaliknya, kenikmatan yang selalu dan tetap dianugerahkan Allah SWT, tidak ada ujian untuknya, padahal ia semakin jauh dari-Nya, agaknya ini pertanda Allah SWT sedang menetapkan suatu yang buruk baginya. Istidraj sama seperti penyakit tanpa gejala. Lebih berbahaya dan mengerikan.. Walluhu A’lam.***