LIMAPULUH KOTA (RIAUPOS.CO) — Selain dilanda banjir dan longsor, fenomena tanah bergerak juga terjadi di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Tepatnya di Nagari Kotalam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, yang pada zaman kolonial Jepang dijuluki sebagai Sakido Mura (Desa Khatulistiwa) karena berada persis di garis khatulistiwa. Seperti apa fenomena tanah bergerak ini?
Bustamam (56), pernah diserang stroke. Untuk berjalan, warga Jorong Simpangtiga, Nagari Kotoalam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat ini, harus menghela kakinya.
Dalam keterbatasan fisik, Bustamam yang hidup sebatang kara di rumahnya, menyelamatkan diri dari fenomena tanah bergerak yang tiba-tiba terjadi pada Rabu malam lalu (9/12/2019). Fenomena tersebut, membuat posisi rumah papan yang dihuni Bustamam, menjadi miring ke belakang.
"Kini, saya harus mengungsi. Hidup menumpang-numpang. Makan pun dimana orang memberi," kata Bustamam kepada Padang Ekspres (Riau Pos Group/RPG) di depan rumahnya yang terletak di pinggir jalan Sumbar-Riau, Jumat (13/12) siang.
Bustamam tidak mengungsi sendiri. Empat keluarga lain yang tinggal di kiri-kanan rumahnya juga harus mengungsi ke rumah kerabat. Di antaranya adalah keluarga Edwar, keluarga Cede-Nisas, dan keluarga Syamsir.
"Memang, ada 5 KK di nagari kita ini yang terpaksa mengungsi akibat fenomena tanah bergerak atau pergeseran tanah. Sedangkan total rumah yang mengalami kerusakan akibat fenomena ini ada 6 unit," kata Wali Nagari Kotoalam H Abdul Malik kepada (RPG) di kantornya.
Mantan anggota DPRD Limapuluh Kota ini belum bisa memastikan, penyebab fenomena tanah bergerak yang terjadi di kampungnya. "Faktor cuaca, tentu sudah pasti. Karena memang cuaca hujan. Selain cuaca, fondasi rumah ada juga yang dulu diberi tanah timbunan. Kalau faktor lain, seperti tambang batu, saya belum bisa pastikan, karena perlu penelitian dan jaraknya juga jauh dari lokasi," kata Abdul Malik.
Pantauan RPG, rumah-rumah warga Kotoalam yang terdampak fenomena tanah bergerak, tidak bisa dihuni lagi. Baik rumah yang masih terbuat dari papan. Maupun rumah yang sudah dibangunan permanen. Bahkan, tiang-tiang rumah yang sudah dicor dengan kokoh sekalipun, terlihat terbelah dua.
"Kalau malam hari, kami benar-benar tidak berani lagi menghuni rumah kami. Kalau siang, masih bisa kami lihat-lihat," kata Edwar (61), yang tinggal di samping rumah Bustamam.
Edwar menceritakan, sebelum fenomena tanah bergerak terjadi, hujan memang turun di Nagari Kotoalam. "Sebelum kejadian ini, saya pada Rabu malam itu, mendengar bunyi berdetak-detak. Tak lama setelah itu, tanah terlihat retak," kata Edwar yang hidup berdua dengan anaknya.
Hingga kemarin, fenomena tanah bergerak, masih terjadi di tempat tersebut. Bahkan, skala keretakan tanah itu terlihat semakin besar dan panjang. Tidak hanya di permukiman warga, namun sampai ke lahan perkebunan yang di antaranya ditanami cabai dan tanaman tua.
Untuk memastikan pergerakan tanah masih terjadi, warga sempat menyandarkan sebilah bambu ke dinding salah satu rumah yang terdampak. Ujung bambu yang semula sejarar dengan ujung atap rumah, lambat-laun makin naik ke atas. "Ini tandanya, tanah masih terus bergerak," kata sejumlah warga.
Terpaut ratusan meter dari rumah retak dan rusak itu, tepatnya di Penurunan Tujuah Baleh yang masih masuk dalam wilayah Jorong Simpangtigo, Nagari Kotoalam, RPG menyaksikan badan jalan Sumbar-Riau retak. Badan jalan yang retak itu mencapai 100 meter.
Posisi jalan yang retak berada persis di antara tebing dan ngarai. Dinding tebingnya mirip dengan dinding tebing di Lembah Harau. Di bawah tebing hingga ke badan jalan, kawanan kera terlihat menanti makanan yang dilempar pengemudi.
Susniwati (65), pedagang minuman yang berjualan di pinggir jalan tersebut mengatakan, jalan mengalami keretakan seminggu lalu. "Kalau tidak salah, 6 Desember. Tidak tahu, apa penyebabnya, jalan ini tiba-tiba retak saja. Tapi, tadi sudah ada orang yang datang. Katanya mau memperbaiki jalan ini," kata Susniwati.
Kuat dugaan, jalan Sumbar-Riau tersebut juga retak karena fenomenan pergerakan tanah. Namun, Kepala Satker Jalan Nasional Wilayah I, Albert, belum berhasil dikonfirmasi. Dihubungi malam tadi, Albert tidak menyahut. Sebelumnya, Albert sempat mengakui, jalan Sumbar-Riau masih rawan longsor.