JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Kementerian Perdagangan tengah mengantisipasi fluktuasi berbagai harga pokok saat Ramadan. Di samping beras yang harganya sedang tinggi, komoditas minyak goreng (migor) juga sedang mendapat perhatian. Salah satu faktor yang membuat harga migor berpotensi terkerek adalah menurunnya pasokan domestic market obligation (DMO) dari para produsen.
Direktur Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting Kemendag Bambang Wisnubroto membeberkan, fluktuasi harga migor curah dan MinyaKita akan dipengaruhi realisasi DMO. Pada bulan lalu, hanya di level 123.536 ton atau 41,2 persen dari target bulanan yang ditetapkan sebanyak 300.000 ton. ”Realisasi DMO ini menjadi yang terendah sejak Juni 2022. Sebenarnya, kami sudah wanti-wanti produsen sejak Desember 2023,” ujar Bambang, Rabu (13/3).
Menurut Bambang, rendahnya realisasi DMO minyak goreng tersebut berkaitan dengan turunnya ekspor crude palm oil (CPO). Kemendag mencatat, masih ada hak pengiriman ke luar negeri yang belum digunakan produsen hingga 5,58 juta ton atau setara kebutuhan 2,5 bulan ke depan.
Rendahnya ekspor dominan dipengaruhi faktor eksternal. Melandainya harga kedelai ditengarai kuat telah memukul harga CPO dunia hingga ikut menurunkan ekspor RI. ’’Harga soybean turun di negara importir CPO, minyak kedelai menjadi substitusi,’’ ujarnya.
Selain itu, ada penurunan permintaan CPO dari Cina dan India yang selama ini menjadi importir terbesar minyak sawit Indonesia. Rendahnya permintaan dari luar negeri berimbas pada kinerja ekspor. Bambang juga menyatakan, kebijakan Rusia yang membuka ekspor biji bunga matahari juga berpengaruh. ’’Rencana penetapan EUDR di Uni Eropa juga memberikan sentimen negatif terhadap ekspor kita,’’ urainya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menilai bahwa realisasi DMO tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri. Domestic market obligation minim karena pelemahan ekspor CPO dalam beberapa waktu terakhir. ’’DMO ada hubungannya dengan ekspor, artinya kalau realisasi turun karena ekspor juga turun,” ujarnya.
Penurunan ekspor CPO disebabkan adanya permintaan global yang melandai. Di sisi lain, menurut Eddy, seharusnya harga minyak goreng dalam negeri saat ini lebih stabil di tengah harga CPO yang tidak terlalu tinggi. ’’Seharusnya, kebijakan DMO diberlakukan hanya saat harga CPO di level tinggi hingga mengancam pasokan dalam negeri,” tuturnya.
Menurut Eddy, kebijakan DMO telah menambah beban biaya rata-rata sebesar 20 dolar AS per ton. Cost tersebut menjadi beban para produsen hingga berimbas pada harga tandan buah segar (TBS) petani yang sedikit tertekan. ”Kalau sawit Indonesia lebih mahal, pembeli akan beli dari tempat lain, kecuali memang stok minyak nabati dunia menurun dan permintaan naik,” ujarnya.(agf/c12/dio/jpg)