JAKARTA (RIAUPOS.CO) – DPD RI menggelar diskusi nasional bekerjasama dengan UIN Sunan Ampel Surabaya bertajuk "Urgensi Amandemen UUD 1945 Dalam Rangka Menuju Indonesia Maju", Senin (13/12/2021) di Nusantara IV, Komplek Parlemen.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti dalam sambutannya mengatakan bahwa saat ini partai politik menjadi satu-satunya instrumen yang dapat mengusung calon pemimpin bangsa. Partai politik melalui fraksi di DPR juga menjadi satu-satunya yang dapat memutuskan undang-undang yang mengikat seluruh warga negara.
"Sebaliknya DPD RI sebagai wakil dari daerah. Wakil dari golongan-golongan. Wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak memiliki ruang dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini," ucap LaNyalla, Senin (13/12/2021).
Hadir dalam diskusi tersebut Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Masdar Hilmy, Staf Ahli Jaksa Agung, Jan S Maringka, dan pakar hukum tata negara Refly Harun.
Dalam diskusi tersebut, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Masdar Hilmy mengatakan, bahwa amendemen bukanlah sebuah aib. Karena selama tercatat sudah 4 kali terjadi amendemen. Masdar memaknai proses amandemen sebagai sebuah proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Dirinya pun mendukung adanya amendemen yang diwacanakan oleh DPD RI karena untuk kepentingan bangsa dan negara.
"Dalam konteks agama, sesungguhnya dalam konteks Islam, kita mengenal kemashalatan umum yang mendorong untuk selalu terjadinya perubahan-perubahan untuk menuju yang lebih baik. Termasuk dalam pelaksanaan amendemen, adanya perubahan, bukan sebagai sesuatu yang aib," ucap Masdar.
Staf Ahli Jaksa Agung, Jan S Maringka juga mengatakan bahwa Kejaksaan sendiri telah menyerukan adanya amendemen konstitusi yang dapat mengatur posisi dan kedudukan dari lembaganya. Dirinya berharap, melalui amendemen, akan menghasilkan pengaturan yang lebih jelas mengenai Kejaksanaan dalam konstitusi, seperti yang adanya ketentuan mengenai lembaga-lembaga peradilan dan hukum lainnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Refly Harun menegaskan bahwa presidential treshold harus dihapuskan. Menurutnya, keberadaan presidential threshold yang saat ini di angka 20 persen, merupakan upaya dari oligarki dalam mempertahankan kekuasaannya di sistem perpolitikan di Indonesia. Menurutnya, presidential threshold juga cara elite-elite politik untuk mendapatkan rente dari politik dengan cara menyewakan perahu kandidasi.
“Ini adalah demokrasi kriminal, demokrasi yang dikuasai oleh para cukong, demokrasi yang berbiaya mahal. Ini yang membuat demokrasi kita demokrasi kriminal. Kita harus mengakhiri hal ini dengan mengajukan agar presidential threshold dinolkan, demikian juga di daerah,” pungkasnya.
Laporan: Yusnir (Jakarta)
Editor: E Sulaiman