JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Teka-teki tentang Muhtamar Nadhlatul Ulama [NU] terjawab sudah, yaitu tanggal 23-25 desember 2021 di Lampung. Sebelumnya memang menimbulkan polemik yang cukup panas dan mencuat di masyarakat dengan derasnya arus informasi di media sosial akibat kebijakan baru dari pemerintah yaitu pemberlakuan PPKM level-3. Keputusan ini berdampak kepada pelaksanaan muhtamar apakah dimajukan atau dimundurkan. Persoalan ini pun menjadi rumit, saat ketua tanfidziyah menginginkan untuk dimundurkan setelah PPKM, sedangkan syuriah menginginkan untuk dimajukan. Perbedaan cara pandang tersebut, tentu bagi sebagian orang atau kelompok melihat ini sesuatu yang terkesan aneh dan syarat kepentingan politik dengan segala definisinya. Tapi, saat presepsi negatif muncul, keduanya (baik tanfidziyah dan syuriah) pun duduk bareng, senyum dan menghasilkan kesepakatan berdasarkan musyawarah dan mufakat.
Memang organisasi NU merupakan organisasi keagamaan yang sangat unik yang tidak bisa tenang sebagaimana saudara tuanya yaitu Muhamadiyah. NU lahir dari tradisi pesantren merupakan wujud sub-kultural sebagai tradisi kemandirian para ulama, Kyai dan santri yang membangun, mengelola lembaga pesantren berasal dari pengorbanan mereka dengan iuran dan gotong-royong mengharap ridha Allah SWT. Itu sebabnya, ribuan pesantren terus berkembang disebabkan tradisi para alumni pesantren meneruskan tradisi para ulama yaitu menyebarkan agama Islam dan membuat asrama berdasarkan iuran dari pengasuh dan wali santrinya.
Kelebihan ini justru menjadi kelemahan NU ketika berhadapan dengan persoalan yang bersifat formal struktural. Ketika NU mendapatkan kesempatan menjadi presiden melalui Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak bisa berbuat banyak. Hal ini disebabkan tradisi sub-kultural tadi yang bergerak di luar pemerintahan, sedangkan social capital dalam struktural nyaris masih kosong. Tentu hal ini pun bisa dimaklumi akibat kebijakan Orde Baru meminggirkan NU selama 32 tahun. Suatu masa yang tidak sebentar.
Kini social capital NU sudah cukup mumpuni dan sudah masuk di berbagai struktural politik dan pemerintahan. Pendidikan juga sudah sangat beragam bukan hanya dari pendidikan pesantren, namun sudah merambah pendidikan Timur Tengah seperti Al-Azhar, Asia dan Barat seperti Harvard University, Sorbonne University, University of Wollongong dan lain-lain. Keberagaman latarbelakang pendidikan ini tentu saja mewarnai cara pandang keislaman baik dalam tararan hukum Islam, sosial, politik, budaya dan hak-hak asasi manusia serta pemberdayaan kepada masyarakat. Keberagaman tersebut bisa melahirkan gesekan yang dalam tradisi NU "geger" yang sering berujung "ger-ger-an" (bergurau). Jadi tidak ada permusuhan abadi, yang ada adalah persaudaraan yang abadi.
Dalam menghadapi muhtamar ke-34, NU menghadapi sumber daya manusia yang melimpah, namun ormas yang didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari ini masih perlu perbaikan dalam pemberdayaan di bidang ekonomi. Apalagi NU memasuki umur satu abad, yang berarti generasi nya sudah banyak yang tidak mengenal para pendiri NU. Sehingga persoalan pemberdayaan warga ekonomi Nahdhiyin isu yang menarik dalam mencari format ideal, yaitu modern tanpa meninggalkan tradisi pesantren.
Menjadi persoalan adalah apakah pemberdayaan ekonomi warganya akan mengikuti pola Gus Dur dengan menjaga jarak dengan pemerintah atau pola setelahnya dengan menjadi mitra pemerintah dan tetap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro-masyarakat, atau gabungan keduanya.
Semua tetap mempunyai implikasi plus-minusnya. Dan pola ini akan kembali berkumandang pada Muhtamar NU ke-34 nanti, apakah kembali ke khitah 1928 dengan tetap sebagai pengayom seluruh masyarakat atau bersinggungan dengan politik praktis. Tafsir-tafsir yang berbeda dalam muhtamar ini yang menyebabkan percikan-percikan "geger" akan tetap ada, dan tentu harapan ditutup dengan "ger-ger-an" , sebagai tradisi model pesantren. Jika tradisi ini ada, berarti keberagaman intelektualitas warga nahdiyin yang beragam latar pendidikan tidak menjadikan ke-NU-an nya hilang. Namun jika "geger" tidak berkesudahan, dan tidak juga "ger-ger-an", itu pertanda ruh NU yang diwariskan para pendirinya mulai luntur. Wallahu a’lam.***