JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Industri rokok terkejut dengan keputusan pemerintah mengerek tarif cukai rokok 23 persen dan harga jual eceran rokok 35 persen. Salah satu keberatan disampaikan oleh perusahaan rokok yang juga emiten bursa, PT HM Sampoerna Tbk.
Direktur Sampoerna Troy Modlin mengungkapkan, perseroan sampai saat ini belum mendapatkan rincian aturan kebijakan cukai tersebut. “Akan tetapi, kami menilai kenaikan ini mengejutkan dan akan mengganggu ekosistem industri hasil tembakau nasional,” katanya dalam keterangan tertulis diterima JawaPos.com, Jumat (13/9).
Troy mengatakan, jika pemerintah bermaksud untuk memberlakukan kebijakan cukai yang dapat mendukung kelangsungan penyerapan tenaga, maka Sampoerna merekomendasikan agar pemerintah menutup celah cukai pada sigaret buatan mesin sesegera mungkin.
Caranya yakni dengan menggabungkan volume produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi tiga miliar batang pertahun. Di sisi lain, memastikan tarif cukai SKM/SPM lebih tinggi secara signifikan dari tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT).
“Selain itu, kami juga meminta pemerintah tetap mempertahankan batasan produksi untuk SKT golongan 2 sebesar maksimal dua miliar batang pertahun,” kata Troy.
Menurut Troy, jika rekomendasi tersebut dilaksanakan, maka pemerintah akan mencapai tujuan kebijakan cukai, sekaligus menciptakan lingkungan persaingan yang adil bagi para pelaku industri.
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menuturkan, dalam rapat kabinet terbatas siang ini Jumat (13/9), pemerintah sepakat untuk menaikkan tarif cukai rokok dan harga jual eceran rokok. Keputusan ini akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan berlaku mulai 1 Januari 2020.
“Kami semua akhirnya memutuskan untuk kenaikan cukai rokok ditetapkan sebesar 23 persen. Dan kenaikan harga jual eceran menjadi 35 persen,” kata Ani, sapaan Sri Mulyani.
Ani menjelaskan, kebijakan cukai ditujukan untuk tiga hal, yakni mengurangi konsumsi, mengatur industri, serta penerimaan negara. Dari sisi konsumsi, prevalensi mereka yang mengisap rokok meningkat.
Prevalensi anak-anak dan remaja yang mengisap rokok meningkat dari tujuh persen menjadi sembilan persen. Sementara prevalensi perempuan pengisap rokok naik dari hanya 2,5 persen menjadi 4,8 persen.
“Oleh karena itu, kita perlu perhatikan bagaimana menggunakan cukai ini dalam rangka untuk mengurangi tren kenaikan rokok tersebut,” jelas Ani.
Dari sisi industri, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan pemerintah telah menghitung angka kenaikan yang layak. Pertimbangannya yaitu, apabila terlalu tinggi, maka dikhawatirkan akan membuat peredaran rokok ilegal makin marak.
Selain itu, kenaikan sebesar 23 persen juga telah mempertimbangkan kondisi industri rokok. Sehingga, diharapkan tidak akan memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap tenaga kerja dan petani tembakau.
Terakhir, dari sisi penerimaan, Ani menyebut dengan adanya kenaikan tarif cukai rokok ini, maka penerimaan cukai tahun depan mencapai sekitar Rp 173 triliun.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal